Sedang Membaca
Humor sebagai Alat Menyebarkan Islam Ra(h)mah
Abdus Salam
Penulis Kolom

Mahasiswa STAI Sunan Pandanaran Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Humor sebagai Alat Menyebarkan Islam Ra(h)mah

Fgpbkiqviaajmwb

Bicara Gus Dur memang tidak ada habisnya. Apalagi berbicara tentang pemikiran-pemikirannya. Kepergian Gus Dur beberapa tahun silam justru membuat para muhibbin-nya, secara khusus, dan rakyat Indonesia, umumnya, merasa kehilangan. Kalaulah boleh penulis membahasakannya, sebab sosok Gus Dur adalah manusia yang melampaui zamannya dengan berbagai ide berliannya.

Betapa tidak, beliau sering melontarkan hal-hal yang “dianggap” kontroversi. Padahal, kitanya saja yang terlalu dini untuk menerima hal-hal yang “dianggap” nyeleneh dan kontroversi. Tentu pemikiran Gus Dur cukuplah banyak. Setidaknya ada 9 nilai dasar yang dirumuskan dari gagasan seorang Gus Dur, yakni: ketauhidan, kemanusiaan, pembebasan, persamaan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, dan kearifan tradisi.

Masih ingat dengan ide pribumisasi Islam Gus Dur yang mana menurut penulis terwakili oleh quote yang cukup terkenal yakni, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Singkatnya, menurut penulis, Gus Dur ingin berkata bahwa apa-apa yang baik dari budaya kita dipertahakan tanpa harus tergerus oleh budaya Arab. Cukup ajarannnya saja yang kita ambil jangan budaya.

Akan tetapi, penulis lebih tertarik kepada cara Gus Dur dalam hal menyebarkan Islam Ra(h)mah. Tentu tidak yang njilimet-njelimet. Maksudnya gimana? Begini, yang dimaksud cara dalam menyebarkan Islam ra(h)mah Gus Dur adalah lebih kepada implmentasi Gus Dur dalam berdakwah, yakni; HUMOR.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama

Gus Dur dan Humor

 Kalau ditanya sejak kapan humor itu ada, maka penulis akan menjawab sejak zaman Nabi Muhammad. Atau bahkan jauh sebelum Nabi Muhammad. Masih ingatkan dengan humor Nabi dengan seorang nenek tua yang, menurut Nabi, tidak ada nenek di dalam surga.

Suatu hari, ada seorang nenek mendatangi Nabi dan berkata, “Wahai Nabi, berdo’alah kepada Allah agar memasukkan aku ke surga-Nya.” pintanya kepada Rasulullah.

Kemudian Rasulullah menyahuti, “Wahai nenek tua, di surga itu tidak ada orang tua renta.”

Seketika mendengar jawaban Nabi ia pun menangis dan berpaling dari Nabi. Kemudian Nabi berkata, “Sampaikanlah kepada nenek tersebut sesungguhnya ia tidak akan masuk surge dalam keadaan tua renta.”

Cerita di atas, sering kali kita dengar dari para ulama-ulama kita sebagai dalil bahwa Nabi seorang yang sangat humoris. Kalaulah para pendahulu kita, Walisongo, dalam berdakwah menggunakan strategi kebudayaan, maka Gus Dur menggunakan strategi humor-humor cerdasnya. Ini sebenarnya yang tak banyak diketahui orang, humor Gus Dur tidak hanya anekdot, kritik dan ketawa-ketawa saja, lebih dari itu, humor Gus Dur, menurut penulis, adalah sarana dalam  menyebarkan Islam ra(h)mah.

Humor sebagai Sarana Dakwah Menyebarkan Islam ra(h)mah

Kok bisa humor sebagai sarana dakwah? Bisa dong. Begini, Gus Dur adalah putra dari K.H. Wahid Hasyim dan cucu dari K.H. Hasyim As’ary, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Sudah barang tentu ia lahir dan besar di lingkungan pesantren. Di dalamnya banyak kesempatan, pesantren tidak hanya identik denga kitab kuning saja. Lebih dari itu, pesantren menyimpan banyak humor-humor segar untuk memecahkan suasana.

Baca juga:  Sesekali, Mari Membincangkan Ayam yang Kita Makan

Humor Gus Dur yang cukup teringat dalam ingatan penulis adalah ketika Gus Dur kunjungan ke Arab Saudi. Setelah obrolan mengenai kunjungan kenegaraan, Gus Dur memulai humornya dengan berakata bahwa banyak orang Indonesia yang pandai menggunakan bahasa Arab. Tapi, menurut Gus Dur, bahasa arab yang digunakan oleh orang Indonesia adalah bahasa Arab dalam kitab-kitab kuning, sehingga terkadang agak berbeda dalam memaknainya.

Gus Dur pun mulai bercerita kepada sang raja, “Suatu hari, ada seorang jamaah haji dari Indonesia yang datang ke Makkah. Kemudian ia menemukan sebuah tulisan dalam bahasa Arab di depan sebuah ruangan yang dibaca sebagai “Mamnu’uddukhul” (berarti dilarang masuk). Karena dalam bahasa dhukhul sering diartikan bersetubuh, ia pun mengartikannya tulisan tersebut dengan kalimat “dilarang bersebutuh.”

Gus Dur kemudian melanjutkan, “Jamaah haji dari Indonesia tersebut berkomentar, masa orang Arab melakukan begituan di tempat umum.” Lantas kemudian sang raja ketawa terpingkal-pingkal.

Humor di atas tentu tidak hanya humor belaka. Menurut penulis begitulah wajah Islam yang notabenenya diwakili oleh seorang Gus Dur. Ya, seorang presiden cum Kiai. Melalui humornya Gus Dur seakan berkata bahwa beginilah wajah Islam kami di Indonesia. Tidak saklek, tapi sebaliknya ia bersifat ramah terhadap siapapun. Hari-hari ini, cara-cara dakwah dengan humor ini dilanjutkan oleh Gus Baha yang selalu membawakan humor dalam setiap dakwahnya. Sehingga orang yang hadir dalam pengajian tersebut tidak boring dan spaneng akan tetapi merasa nyaman, tenang, dan tentunya mau terus belajar tentang Islam. Wallahu’alam bish-shawab. 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top