Zaman Orde Baru, muslim Indonesia terpolarisasi menjadi tiga kelompok, NU, Muhammadiyah, dan selain keduanya. Tapi peta gerakan Islam, pasca runtuhnya rezim militer 1998, berubah drastis. Golongan islam tumbuh bak jamur di musim hujan. Menarik diamati.
Sekarang ini, kita banyak menyaksikan muncul golongan muslim baru. Anehnya, meski baru hadi di bumi pertiwi, gerakan baru ini mempertanyakan dasar negara Indonesia: kenapa Indonesia memilih Pancasila padahal muslim menjadi pemeluk mayoritas di negeri ini? Itulah retorikanya, “mayoritas”. Mereka lalu berkampanye “mimpi-mimpi”: Khilafah Islamiyah atau NKRI bersyari’ah. Narasinya mulai dari ide penyatuan politik hingga obsesi kehidupan pribadi yang islami: parfume halal, pengobatan dan cara berpakaian Nabi, dan lain sebagainya. Bagi anak-anak yang terlahir tahun 1990an, baru balig sekitar awal tahun 2000an, ide-ide tersebut cukup mendapat sambut. Bahkan, mereka memang menarget anak-anak yang baru lahir kemarin sore, dengan mengajari anak-anak balita teriak “kami muslim, mereka kafir”.
Bagi orang yang sudah dewasa, terlebih mengikuti dinamika keislaman dan perpolitikan negeri ini, ide negara Islam bukanlah hal bari. Ide negara Islam sudah selesai “dihentikan” dengan Pancasila. Kita bisa melihat dalam sejarah bahwa tokoh-tokoh bangsa yang tergabung dalam BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara dan undang undang dasar negara, kemudian dilanjutkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Tim 9 piagam Jakarta (tokoh Islam diwakili oleh KH Wahid Hasyim (NU), KH Agus Salim (Muhammadiyah) dan Kahar Muzakkar (DI)) berdiskusi alot tentang penerimaan pancasila dan redaksi sila pertama yang semula berbunyi:
“Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bukan Allah yang Maha Esa, (Nur Khalik:2010).
Munculnya Darul Islam (DI) dengan Tentara Islam Indonesia (TII) berawal dari ketidakpuasan S.M. Kartosuwiryo dan Kahar Muzakkar atas dasar negara Indonesia Pancasila dan penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta sehingga pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya Jawa Barat mendeklarasikan Darul Islam (DI) bersama Tentara Islam Indonesia (TII) dengan cita-cita menerapkan syariat Islam, DI/TII mendapatkan pengaruh dan melakukan pembrontakan di berbagai daerah di Indonesia seperti Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan, pada akhirnya setelah 13 tahun membrontak tahun 1962 Darul Islam dapat dipadamkan.
Darul Islam (DI) mempertanyakan kedudukan presiden Indonesia dengan segala keputusannya apakah sah secara agama Islam, atas dasar itu NU mengambil peran strategis dengan memberikan gelar kepada Presiden Sukarno dengan sebutan “Waliyul amri ad-dhoruri bi syaukah” yang berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat. Gelar itu membuat kebijakan-kebijakan Bung Karno, sebagai pemimpin pemerintahan di masa darurat, mengikat secara sah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Gelar tersebut disahkan dalam Muktamar NU Tahun 1954 di Surabaya.
Dalam perjalanannya ketika Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal negara tahun 1985, NU kembali memberikan keputusan penting sebagai organisasi sosial kemasyarakatan pertama yang menerima asa tunggal pancasila, ini dipelopori oleh KH Ahmad Siddiq Jember jauh sebelum diformalkan dalam Munas NU 1983 di Situbondo.
Pendiri bangsa bukan dengan cara sembarangan telah menetapkan Pancasila, Pancasila sudah melewati perjalanan dan perenungan panjang, Pancasila merupakan kesepakatan bersama (kalimatun sawa) dan jalan tengah yang menyatukan perbedaan suku, ras, agama dan golongan, pemilihan Pancasila sebagai dasar Negara sudah final dan bersifat frozen, kenapa memilih Pancasila? karena Pancasila tidak bertentangan dengan 5 hal yakni Al-Qur’an, Alhadist, Piagam Madinah masa Rasulullah, Piagam najran era Khalifah Syaidina Abu Bakar As-Siddiq dan Piagam Aeliya pada zaman Khalifah Umar bin khatab.
Menurut Gus Dur Pancasila adalah sebagai perekat bangsa, secara teoritis tata negara yang dianut Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni Imam Al-mawardi, Ibnu Khaldun, Imam Syafii dsb. Beliau berpendapat bahwa agama saja tidak cukup untuk membentuk Negara.
Pembentukan Negara disamping mazhab atau paham, keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah (rasa keterikatan). Tujuannya untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Karena alasan berdirinya Negara adalah adanya perasaan kebangsaan.