Meski huruf ‘ba’ mengawali basmalah, ia tak sepenuhnya disebut sebagai awal. Huruf ‘ba’ dalam basmalah hanyalah yang tampil secara lahiriah. Bahkan titik ‘ba’ yang konon disebut sebagai asal usul dari basmalah, juga bukan yang awal.
Bagaimana mungkin ada titik di bawah ‘ba’, tanpa ada yang membubuhkan titik itu. Drama dalam basmalah ini seperti hendak menyatakan bahwa asal-usul dari rangkaian basmalah, fatihah, bahkan seluruh huruf-huruf yang terangkai dalam Alquran adalah kegaiban. Adalah Entah yang menitikkan ‘ba’ itu.
Tentu saja kegaiban yang dimaksud bukan kenihilan. Bukan kekosongan. Bukan pula ketiadaan. Bagaimana mungkin menjelma seluruh rangkaian huruf-huruf yang begitu beraneka ragam jika sebelumnya tak ada potensi penuh dan menyeluruh yang meliputi seluruh huruf-huruf yang ditampilkan itu? Maka kegaiban bukanlah ketiadaan. Justru kegaiban itu adalah kepenuhan – kemenyeluruhan yang kemudian bermanifes kepada seluruh huruf-huruf-Nya.
Manifestasi atau tajalli merupakan proses Sang Mutlak (al-Haqq) menggelar penjelmaan diriNya dalam bentuk yang semakin konkrit. Manifestasi tidak lain adalah kehadiran Sang Mutlak ke dalam determinasi-diri-Nya. Determinasi (delimitasi) dalam hal ini disebut sebagai ta’ayyun (menjadikan sesuatu entitas partikular dan individual).
Dari determinasi-diri ini, kemudian terbentuk sejumlah tingkat dan tahap. Secara esensial yang disebut tahap disini bukanlah tahap dari urutan waktu (temporal), namun pada saat sama ia masuk dalam urutan waktu dan memberi urutan ontologis padanya. Faktanya, manifestasi ini memiliki struktur ganda. Satu sisi ia fenomena yang transhistoris dan transtemporal, di sisi lain ia juga peristiwa temporal.
Masih merujuk kepada drama basmalah, sebelum ba’ senantiasa ghaib. Kalau pun kegaiban itu tampil, Dia tak mungkin tampil dengan seluruh Ketakterbatasan-Nya. Seakan Dia yang tak terbatas itu, berkenan memecah pada huruf-huruf yang tersebar di seluruh penjuru ayat-ayat-Nya.
Dan huruf-huruf itu, selengkap dan seindah apapun, hanya akan menjadi kumpulan penjelmaan tinta yang sia-sia, bila tak “terbaca”. Tak terbaca zaman dan tak terbaca oleh manusia dan kemanusiaan.
Begitu pula puisi. Puisi hanya akan menjadi onggokan tinta yang fana tiada makna, bila tak “terbaca”. Lalu siapa yang membaca puisi? Masihkah ada manusia di jaman gersang ini yang semakin material memandang realitas berkenan meluangkan waktu untuk membaca puisi? Sementara puisi adalah deretan huruf yang lahir dari barzakh dan kesunyian pengarangnya? Apakah sebaris puisi dapat melampaui deposito, kesibukan pasar saham, hingga uang-uang digital?
Puisi, makin hari mungkin makin ringkih dan makin tak laku dibaca. Karena era digital saat ini, telah menyedot hampir separuh sisi kemanusiaan kita dalam melihat realitas. Di era ini, segala sisi yang dapat memuaskan kehendak dan kesenangan manusia, telah dijawab oleh mesin. Bahkan kemurnian cinta, telah diganti oleh mesin-mesin yang diinstal kecerdasan oleh manusia sendiri demi menjadi sosok-sosok yang cerdas secara semu (Artificial Intelligence). Pantas saja jika manusia kini, begitu bergantung—bahkan telah menuhankan—kepada mesin-mesin cerdas itu.
Tapi selama masih ada penyair yang merangkai makna dalam balutan kata-kata, dunia mesin tak akan mampu menembus prinsip sejati dari manusia dan kemanusiaan, yakni ruhaniah. Mesin-mesin cerdas itu boleh saja memberi solusi algoritma, fisika, integral hingga kedokteran. Bahkan meski mesin-mesin itu dapat memuaskan libido manusia, tapi mesin-mesin itu tak akan pernah mampu memberikan solusi ruhaniah pada manusia. Kalau pun mereka menyebut mampu, pastilah ruhaniah palsu.
Lalu ada apa dengan puisi? Apakah puisi itu semacam software yang dapat menjadi virus bagi setiap mesin yang merusak kemanusiaan? Apakah puisi mampu melawan mesin-mesin cerdas itu? Tidak. Kepentingan puisi bukan untuk menjadi terminator bagi robot-robot cerdas yang diciptakan manusia itu. Puisi akan selalu berada di makam intuisi yang tak bisa ditembus oleh mesin-mesin cerdas itu. Kepentingan puisi hanya untuk menjaga agar manusia tetap menjadi manusia. Dan para penyair tak akan pusing bila nama-nama mereka tak menjelma atau setenar mesin-mesin di sekitar manusia. Atau setenar para pencipta mesin-mesin yang dipuja-puja manusia. Karena penyair, bagaikan kumpulan tinta yang selalu ghaib “tersembunyi” sebelum titik ba’ diguratkan.
Selamat untuk para santri yang bersedia sembunyi di jalan sunyi kepenyairan. Karena yang ghaib biarlah tetap jadi misteri dalam keghaiban. Puisi hanya secuil ikhtiar untuk menghayati yang ghaib. Semoga dengan Puisi, kita istiqomah menjadi manusia, selalu._
Kelapa Dua Wetan,
16 desember 2018