Abdullah Wong
Penulis Kolom

Aktor, menulis naskah drama, esai, juga mengaji tasawuf. Selain itu aktif di Lesbumi

Juri Agama dan Agama Juri

Kepercayaan dan keyakinan begitu misteri. Ia sama gaibnya dengan keberadaan surga dan neraka. Tak dapat buktikan secara akal, tidak bisa diverifikasi oleh ilmu fisika atau apapun. Bahkan, keimanan tak cukup jika hanya dibuktikan dengan perbuatan. Selain laku (af’al) dan ungkapan (lisan), iman juga mesti diteguhkan dalam hati (qalb). Sementara hati (qalb) begitu sirr, penuh misteri. Sekali lagi, qalb bukan akal.

Menakar dan mengukur keimanan pakai akal terhadap agama sama saja menjadikan agama hanya sebatas ideologi atau sebuah isme. Kepintaran seorang dalam mengartikulasikan tema-tema keagamaan bukan jaminan bagi kesalihan dan keberimanannya.

Jika ukuran keimanan adalah kepiawaian menjelaskan tema-tema agama, maka mesin-mesin artifisial semacam Google sangat piawai melakukannya. Menalar dan berpikir memang diperintahkan Alquran, tapi pertanyaannya, perangkat apa yang digunakan untuk berpikir?

Dalam Alquran, jika kita cermati dengan seksama begitu banyak ayat yang menganjurkan untuk berpikir, merenung, menggunakan akal, bertadabur, hingga berhening. Semua diksi akal disajikan dalam bentuk kata kerja sebanyak 49 kali. Tapi Alquran sama sekali tidak pernah menghadirkan kata aql dalam kata benda. Bersamaan Alquran tidak pernah menyebut aqal dalam bentuk kata benda, Alquran justru menghadirkan qalb dalam bentuk kata benda dengan segala tingkatan nya sekaligus kata kerjanya. Alquran menyebut 167 kali diksi qalb; yakni 138 kali dalam bentuk kata benda, dan 29 kali dalam bentuk kata kerja. Dari sini kita dapat menemukan bahwa silakan siapa pun menalar. Silakan kita merenung atau berpikir. Tapi perangkat apa yang digunakan, itulah yang mestinya mendapat perhatian.

Akal (‘aql) secara generik bermakna mengikat. Maka ketika kita mengerahkan akal, yang terjadi adalah melakukan pengikatan, batasan (had), membingkai (framing), melakukan kategorisasi yang berpijak pada asumsi subyektif. Hal demikian tidak terjadi dengan qalb. Qalb tidak bekerja sebagaimana akal. Sementara Qalb inilah yang menjadi persemayaman Wahyu.

Baca juga:  Memahami Istilah Ulama

Di wilayah qalb inilah Nabi mengunduh Wahyu dari-Nya. Qalb begitu suci tak terkotori konsep apalagi asumsi. Bahkan dalam hadits Qudsi disebutkan, “qalbun mu’min baitullah.” Qalb Mukmin adalah Rumah Allah.

Bayangkan bila wahana pengunduhan Wahyu yang berada dalam qalb, bahkan sisi terdalam qalb seperti Fuad, Lubb, Latif, hingga Sirr yang begitu dalam dan rahasia, tapi oleh kita dengan sembarangan diunggah kepada publik secara reduktif bahkan diobrak-abrik oleh akal yang terbatas dan subyektif.

Salah satu sistem operasi akal adalah kategorisasi. Jika ini berlangsung, maka mudah ditebak akan muncul pilahan antara suka-benci. Hitam-putih. Iman-Kafir. Surga-Neraka. Tapi jika qalb yang disentuh dan dibiarkan bekerja, maka prinsip Allah yang Mutlak dimana KuasaNya tak bisa dibatasi oleh apa dan siapa pun, akan semakin nyata dan meluas tiada terbatas.

Akal bisa saja bicara tauhid. Yakni dengan mudah menegaskan bahwa siapa pun yang menyembah selain Allah dihukumi sebagai musyrik, syirik, dan kafir. Di situ akal akan memerintahkan kepada seluruh kaum dalam tubuhnya untuk membantah, meminggirkan, membenci hingga merendahkan siapa pun yang berbeda. Di sini biasanya ilmu Kalam beroperasi.

Tapi bagaimana qalb merasakan Tauhid? Bagi qalb, tauhid bukan semata menghindar berhala atau patung. Patung dan berhala hanya simbol terbatas. Qalb akan lebih menukik tajam dalam mengendus perilaku diri kita dalam kubangan kemusyrikan. Ketika hati kita begitu cinta kepada sesuatu selain Allah, kepada harta misalnya, jabatan, atribut kesalihan, bahkan kecintaan dan kebanggan berlebihan kepada amal, jelas menimbulkan kemusyrikan. Kenapa amal dapat mengantar kemusyrikan?

Karena amal hanyalah makhluk, sementara makhluk itu bukan untuk sandaran. Hanya Allah semata yang menjadi sandaran.

Ketika kita merasa bahwa kesalihan kita itu berasal dari kepintaran dan kekuatan kita, maka kita telah menggeser prinsip laa haula wala quwwata illa billah. Kita lupa bahwa saat kita bekerja bahkan ibadah, sebenarnya anugerah Allah semata. Maka bagaimana bisa kita bangga menepuk dada bahwa kesalihan kita akan mengantarkan kepada keselamatan kita. Qalb tentu akan menyadari bahwa keselamatan, hidayah pengampunan, bahkan segalanya hanya karena Rahmat Allah. Hal demikian pernah ditegaskan Rasulullah, bahkan mengenai keselamatan dirinya.

Baca juga:  Manajemen Zakat, Infak, dan Sedekah di Tengah Pandemi Covid-19

Lalu apa untungnya menjadi juri agama terhadap agama lain?

Merendahkan agama lain hanya menjadi olok-olok tanpa hikmah. Hanya semakin menegaskan betapa Tuhan yang kita sembah begitu dangkal dan remeh. Kita lupa jika Allah adalah Rabbul ‘Alamin. Bukan Rabbul Muslimin, bukan Rabbul Indonesia apalagi Rabbu Nahdlatil Ulama. Karena Allah adalah pengayom (Rabb) seluruh alam, maka Allah lah yang mengayomi, mengatur, menjaga, seluruh umat manusia, termasuk mereka yang berbeda dengan kita.

Jika Allah saja berkenan mengayomi mereka, kenapa kita berani menghina mereka lantaran mereka beda?

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ ﴿٩٩﴾وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan andai Rabb-mu menghendaki, tentu telah beriman semua diri di muka bumi seluruhnya, apakah kamu hendak memaksa manusia agar mereka menjadi beriman? Dan tidak ada seorang pun dapat beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak merenung.” (Yunus: 99-100)

Kita bisa saja mendaku sebagai mukmin, tapi kenapa dalam al-smaul Husna ada al-Mu’min? Siapa sebenarnya yang Memberikan keimanan? Hanya karena kita telah beriman, kita sama sekali tak punya hak untuk menghina dan melecehkan siapapun. Terlebih jika yang kita hina adalah simbol-simbol keyakinan orang lain. Alquran menegaskan:

Baca juga:  Khilafah Memang Ajaran Islam, tapi..

“Dan Janganlah kamu mencela sesembahan yang mereka sembah selain Allah, mereka nanti akan balik mencela Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am: 108).

Ibnu Arabi dalam Dzakha’ir al-A‘laq fi syarhi Tarjuman al-Asywaq menyebut bahwa agama dari sang Muhammad adalah agama Cinta. Agama Cinta melampaui kebenaran agama-agama apapun. Sebagai agama Cinta, Islam sama sekali tidak punya agenda menebarkan kebencian atas nama apapun dengan dalil apapun.

Ibnu Arabi mengingatkan kita dengan merujuk Firman Allah, “Katakanlah Wahai Muhammad, jika kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikuti aku, niscaya Allah mencintai kalian.” Ukuran cinta kepada Allah adalah sedalam apa kita mengikuti Kanjeng Nabi. Sampai di sini kita tahu, Nabi sebagai uswah atau teladan kita, tidak pernah menghina atau mencaci siapa pun, meski kepada musuh-musuh Nabi yang jelas-jelas memusuhi Nabi.

Jika Sang Nabi saja begitu santun dan lembut, bagaimana mungkin kita berani menjadi pencaci? Bila demikian, menjadi juri agama atau agama juri, keduanya sama sekali bukan wilayah kehamban. Wilayah demikian hanya Mutlak Milik-Nya. Wallahua’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)
  • Wa qul jaaa al haqqu wa zahaqal baathil ….dst

    Nabi saw pada periode Makkah sebelum hijrah juga dibenci , dimusuhi bahkan akan dibunuh oleh orang2 kafir qurais lantaran menurut persepsi kafir qurais Nabi saw melecehkan dan menghina patung2 dan berhala yang mereka tuhankan …

Komentari

Scroll To Top