Terkait kitab-kitab berbahasa Arab “gundul”, metode resmi yang digunakan adalah terjemah “gandul” atau “utawi-iku”. Metode ini tidak hanya digunakan pesantren-pesantren di Jawa, tetapi juga Sunda dan Madura.
Metode terjemah ini memiliki dua ciri utama: pertama, bahasa target (Jawa, Sunda, Madura) langsung dituliskan secara menggantung (gandul) dibawah bahasa sumber (Arab). Umumnya menggunakan tulisan Arab Pegon. Kedua, teknik penerjemahannya tidak hanya menyebutkan makna kata, tetapi juga penyematan posisi gramatikal (baca: Nahwu-Shorof).
Intinya, unsur yang diterjemahkan tidak hanya makna leksikal, tetapi juga makna fugsional. Bahkan lebih dari itu, konotasi makna dan penafsiran juga dimasukkan.
Demikian, menterjemah “gandul” (baca: maknani) sering dijadikan ukuran dalam menilai kemampuan (ilmu) seorang santri. Di sini, penguasaan kosa kata, gramatika, dan pemahaman seorang santri terhadap kitab-kitab berbahasa Arab dipertaruhkan.
Untuk mencapai itu semua, seorang santri harus menempa diri melalui dua cara: Pertama Bandongan, kiyai (guru) membaca dan menerjemahkan kitab, lalu santri menyimak dan mencatat. Kedua Sorogan, santri membaca dan menerjemahkan, lalu kiyai menyimak dan mengoreksi.
Hanya saja, ada perberbedaan ukuran dalam praktiknya. Sebagian kalangan mengukur kemampuan seorang santri dari catatan terjemah (makna) yang tertoreh di atas kitabnya. Semakin kosong catatannya, maka semakin diakui kemampuannya. Sebaliknya, kalangan tertentu menganggap bahwa upaya mengosongi catatan, terutama saat Bandongan, adalah sebuah kesombongan. Bagi kalangan ini, penuhnya catatan adalah sebuah tanda ketekunan, kerendahan hati, dan Barokah.
Teringat suatu saat di Kediri, penulis mengikuti Bandongan bulan Ramadlan. Seperti umumnya banyak santri Sarang, membiarkan (tidak mencatatkan makna) kata-kata yang sudah dimengerti adalah hal biasa, bahkan dianjurkan sebagai pembelajaran. Namun di luar kesadaran penulis, prilakunya mendapat lirikan sinis dari kanan-kirinya. Hingga pada hari ketiga, penulis disadarkan beberapa kawan. Bahwa kebiasaan baiknya berbeda dengan kebaikan menurut mereka.
Kejadian ini bertolak belakang dengan kisah yang disampaikan mbah Moen baru-baru ini. Dalam acara pernikahan antara Sarang dan Lirboyo, mbah Moen sempat menceritakan saat-saat beliau ngaji Bandongan dengan mbah Manab. Di mata beliau, mbah Manab adalah sosok luar biasa terkait kitab gundul. Begitu kagumnya, saat mbah Manab mbalah kitab (membaca & menterjemahkannya), beliau sempat mengintip dari belakang. Ternyata, kitabnya bersih, gundul, tidak ada catatan maknanya.
Kisah semacam ini bukan lantas menggarisbawahi, bahwa terkait kitab-kitab Arab gundul, santri Sarang lebih mumpuni dibanding yang lain. Bisa jadi, gundulnya kitab seorang santri hanyalah sebuah kemalasan dan kebanggaan belaka. Sebaliknya, lebatnya kitab seorang santri adalah sikap rendah hati untuk menampung sebanyak-banyaknya ilmu dari sang kiyai.
Yang penting dipahami, mampu membaca-terjemahkan kitab-kitab Arab gundul adalah harapan bagi rata-rata santri (semisal) Sarang. Sebab, demikianlah gerbang menjadi seorang ulama. Dan, Inilah yang mendorong semangat mengosongi catatan makna. Tujuan idealnya adalah berlatih agar, sedikit demi sedikit, terbebas dari catatan, kemudian mampu membaca Arab gundul secara mandiri
Jadi, upaya mengosongi makna itu hanyalah sebuah metode, bukan nilai. Jika harus diperlawankan dengan tanda ketekunan dan kerendahan hati dalam menerima ilmu, apalagi barokah, itu hanyalah persoalan slogan.
Biar selaras, sebaiknya upaya memenuhi makna juga dianggap sebagai sebuah metode. Lebih tepatnya adalah metode menyerap makna dan keterangan dari sang kiyai. Dengan demikian, dua metode bisa dijalankan seiring sejalan: upaya memenuhi makna sebagai metode menggali (Bandongan), dan upaya mengosongi makna sebagai metode melatih diri (Sorogan).