Abdullah Alawi
Penulis Kolom

Wartawan, tinggal di Jakarta

Muammar ZA, Suara yang Tak Pernah Tua

Jika menjelang Magrib, toa di hajatan tetangga pada medio tahun 1990-an, akan menyesuaikan diri. Jika tak memutar lagu Nasida Ria, maka suara emas Muammar ZA.
Suaranya memang emas. Emas hingga kini. Umur boleh tua, tapi suaranya tidak. Memang, tarikan napasnya pasti berkurang.

Bacaan Al-Qur’annya kadang aneh. Misalnya “kufuwan” menjadi “kuffa”. Tapi tak pernah disalahkan oleh kyai-kyai di kampung saya. Bahkan mereka menikmatinya.

Dalam beberapa bacaan aneh tertentu, ajengan di kampung saya menjelaskan bacaan Muammar dengan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Belakangan saya tahu, konon Muammar memperkenalkan “qiraah sab’ah” dan memelopori duet. Pasangan terkenalnya adalah H Chumaedi, qari terkenal asal Banten itu.

Sejak kecil saya tak pernah kepikiran untuk menyaingi suaranya. Saya sadar diri sampai ada belut berbulu dan ular bersayap pun, tak akan menyamainya apalagi mengunggulinya.

Namun, saya sering bertanya, ZA di belakangnya itu apa? Pertanyaan ini berlaku juga kepada KH Zainuddin. MZ-nya itu apa? Apakah semacam pangkat?

Ah, sudahlah, ZA dan MZ adalah sesuatu yang tak bisa dijangkau. Nama yang ada Z-nya adalah sesuatu yang menasional, setengah dewa. Tak mungkin saya bisa bertemu langsung ngobrol dengannya.

Namun, ternyata Muammar adalah manusia juga. Orang yang bisa ditemui oleh siapa pun. Termasuk saya.

Baca juga:  Qiraah Sab'ah 2: Kisah Sahabat Nabi Menyikapi Perbedaan Bacaan Al-Qur'an

Pada 27 Maret 2014, saya bisa bertamu ke rumahnya saat menjadi kurir untuk mengirimkan surat pemberitahuan bahwa dia mendapat anugerah Hadiah Asrul Sani dari PBNU pada kategori Tokoh Legendaris. Saya bersama salah seorang teman, berhasil menemuinya.

Suara yang Pernah Tua
H Muammar ZA lahir di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, 14 Juni 1954. Setamat sekolah dasar Muammar nyantri di Kaiiwungu, Kendal, Jawa Tengah. Ia kemudian belajar di Pendidikan Guru Agama (PGA) di Yogyakarta. Ia juga sempat kuliah di IAIN Sunan Kalijaga. Selama kuliah, ia menggeluti dunia qira’ah.

Ia mengikuti MTQ Tingkat Provinsi DIY pada 1987. Ia berhasil menyabet juara pertama tingkat remaja. Setelah itu, ia selalu menjadi anggota kontingen DIY di MTQ Nasional. Dari Yogyakarta, Muammar pindah ke Jakarta dan melanjutkan kuliah di PTIQ.

Pada tahun 1980-an dan 1990-an suara merdunya lazim menghiasi masjid-masjid di Indonesia sebelum maghrib, menjelang subuh, atau menjelang shalat Jumat, melalui kaset yang diputar dengan tape recorder. Kaset-kasetnya juga diputar pada acara-acara keagamaan seperti Maulid Nabi.

Hingga saat ini, setidaknya sampai 2015, suara emasnya masih dikagumi umat Islam sehingga ia masih kerap diundang untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Pada tahun itu, PBNU mengundangnya untuk tampil pada pembukaan Munas Alim Ulama NU dan menyambut bulan suci Ramadan 1436 H.

Baca juga:  Tentang Kitab Suci Berbahasa Minang

Waktu itu, H. Muammar ZA memimpin pembacaan shalawat badar pada Istighotsah Menyambut Ramadhan 1436 H dan Pembukaan Munas Alim Ulama di Masjid Istiqlal, Jakarta, Ahad (14/6/2015). Muammar memandu pembacaan shalawat khas NU itu selepas melantunkan ayat suci Al-Qur’an.

Suara Muammar yang melengking disambut antusias puluhan hadirin yang memadati Masjid Istiqlal. Umur boleh bertambah, tapi suaranya seperti tak menua.

Selamat ulang tahun ke-66, kiai…semoga panjang umur dan sehat selalu…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top