Abdullah Alawi
Penulis Kolom

Wartawan, tinggal di Jakarta

Kisah Kiai Memed Mendirikan Pesantren di Lokalisasi Saritem (1/3)

Salah satu gang di jalan Gardujati, Kota Bandung itu tak ada bedanya dengan gang mana pun di dunia ini. Di sekitar mulutnya ada warung kecil menjual rokok, makanan ringan, dan warung-warung makan yang mekar tiap menjelang malam. Masuk ke gang, berderet rumah-rumah penduduk. Jika lewat gang itu menjelang Isya, akan bertemu dengan beberapa orang tua yang berkumpul di beranda rumah.

“Bos, parkir di sini. Bos, parkir di sini,” ajak di antara mereka sembari tetap duduk seraya tangan melambai. Kata “parkir” yang keluar dari mulutnya semakna dengan yang tertera pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun memiliki makna sampingan yang tiada di tempat-tempat lain. Karena sudah masuk kawasan Saritem!

Jika berselancar di Google dengan kata kunci Saritem, akan ditemukan link dengan judul, “Cari Pekerjaan, ABG 14 Tahun Malah Dijual Kegadisannya”, “Separuh dari Tarif Kencan PSK di Saritem Disetor ke ‘Mami’”. Atau akan diarahkan kepada gambar juga video berkaitan dengan dunia “perlendiran”. Ya, Saritem sudah ratusan tahun berkelindan dengan dunia itu.

Menurut Sekretaris RW 7, Asep Belek, nama Saritem sudah muncul sejak zaman penjajahan Belanda. Sebagaimana asal-usul nama sebuah kampung kecil, hampir tidak diketahui tanggal dan tahun persisnya.

Asep mengaku mendapat cerita dari neneknya. Alkisah, di gang tersebut ada penjual jamu keliling bernama Sari. Ia tidak menyebut asal-usulnya, tapi sebab kulitnya hitam, perempuan itu sering disapa Sari Item.

Salah seorang Belanda, suatu hari, menyarankan satu hal kepadanya. Daripada Sari capek keliling menjual jamu, mending ”melayani” teman-temannya, para “hidung belang”. Karena Sari mengamini, berkembanglah praktik-praktik “melayani”.

Baca juga:  Pertanu, Laku Selawat Lewat Tari

Kemudian “melayani” menjadi bisnis yang mengundang pihak-pihak lain untuk mengambil keuntungan dari usaha itu. Terkait nama, orang tak melupkan asal-usulnya, disebut dengan mapan hingga kini, Saritem. Satu “i” disatukan kala diucapakan, tanpa spasi saat dituliskan.

Penyanyi Doel Sumbang, pada lagu berjudul Genah Merenah Tuma’ninah, meyingnggung nama Saritem. Di lagu itu, asal-usul Saritem sama sebangun dengan cerita Asep Belek. Cuma lain istilah dengan makna persis.

Ia menyebut Nyi Sari Item bermata pencaharian sebagai pedagang “daging”. Langganannya banyak, mulai dari duda sampai mahasiswa.

Dalam lagu tersebut Pemerintah Kota Bandung pernah melakukan “pembersihan”. Tapi mereka pindah ke tempat-tempat lain semisal di alun-alun. Pelanggannya malah beragam, mulai orang yang berseragam sampai tukang becak dan tukang parkir.

Memang pada tahun 2007, Pemkot Bandung pernah menutupnya. Selama tiga bulan, Saritem dijaga petugas keamanan. Cuma mampu tiga bulan. Kemudian tanpa jelas ujungnya, mereka pergi. Padahal selama penjagaan, menurut Asep Belek, praktik itu tetap berjalan dengan strategi kucing-kucingan. Gagal sudah kerja pemerintah dengan pendekatan semacam itu.

Menurut Asep Belek, dua RW yang masuk wilayah Kelurahan Kebon Tangkil tersebut bercampur-baur penduduk Tionghoa, Sunda, dan berbagai etnis lain. Kini di sekitar mereka terdapat 200 penjaja cinta atau disebut Pekerja Seks Komersial (PSK).

Beberapa tahun sebelumnya bisa mencapai 700-an lebih. Ia juga menyebut calo praktik itu sekitar 400 orang. Sementara mucikari dan tempatnya, ia tak bilang. Penduduk setempat merasa tak rugi malah kecipratan rezeki hasil menjajakan makanan dan minuman. (Tulisan ini pertama kali dipublikasikan oleh Kementerian Agama dalam buku berjudul Mengabdi Tanpa Pamri, 2015)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top