Sejak dari awal kerasulan, Allah Swt telah menyampaikan kepada Baginda Rasululullah saw, bahwa ada kesuksesan dan kebahagiaan di balik kesulitan. Allah Swt seringkali menyembunyikan banyak kemudahan di balik musibah yang menimpa seseorang.
“Fainna ma’al ‘usri yusran. Inna ma’al ‘usri yusran.” Sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan terdapat kemudahan. Sungguh, bersamaan dengan kesulitan terdapat kemudahan.
Pelaksanaan pesan ini tampak jelas terbaca dalam sirah Rasulullah saw, hal yang membuatnya tak pernah putus asa dalam setiap menghadapi kesulitan hidup dan dakwah. Bahkan, tampak jelas optimisme Rasul saat menghadapinya.
Rasul tidak menatap pada kesulitannya, akan tetapi fokus pada kesuksesan dan raihan-raihan yang akan dia capai di baliknya.
Sulitnya hidup dan dakwah di Mekkah pasca ditinggalkan oleh pamannya, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah, tak membuat Baginda Rasul kendor berdakwah.
Juni tahun 619 Masehi, beliau melangkahkan kaki menuju Thaif, kota kedua terpenting setelah Mekkah. Beliau berjalan kaki menuju ke sana, dengan jarak kira-kira 87 km dengan medan yang sulit.
Sebagian bahkan mengatakan, Rasul menuju Thaif melalui jalur Seil, dengan jarak tempuh 120-130an km. Pendapat ini memiliki kedekatan dengan penjelasan buku Nuzhatul Musytaq karya al-Idrisy, bahwa jarak antara Mekkah dan Thaif adalah 60 mil. Jika 1 mil sama dengan 1848 meter, maka 60 mil berarti sekitar 110 km.
Thaif adalah kota pegunungan dengan ketinggian 1700 meter dari permukaan laut, dan ke arah barat dan selatan akan semakin tinggi hingga mencapai 2500 meter. Rasul menuju kota ini dengan jalan kaki agar tak disangka hendak meninggalkan Mekkah, dan hanya ditemani oleh putra angkatnya, Zaid bin Haritsah (saat itu namanya masih Zaid bin Muhammad). Tanpa semangat dan optimisme, rasanya mustahil mencapai kota Thaif hanya dengan jalan kaki di bawah sengatan matahari bulan Juni yang amat panas.
Di sana Baginda Rasul disambut oleh tiga pemimpinnya dengan sangat keras. Namun demikian, beliau tetap bertahan hingga sepuluh hari sebelum akhirnya diusir dengan cara yang sangat tak pantas. Salah satu yang menguatkannya adalah keyakinan bahwa pasti ada kesuksesan di baliknya.
Baginda Nabi dipermalukan dengan cara diarak keluar dari Thaif oleh anak-anak, preman-preman, dan sebangsanya. Tiga mil atau kira-kira lima km.
Perjalanan, setelah tak lagi diikuti, Baginda Rasul beristirahat di sebuah kebun. Addas, seorang ghulam (budak muda) beragama Kristen diutus oleh kedua tuannya, Utbah dan Syaibah, untuk menemui Nabi Muhammad saw memberinya suguhan seonggok anggur. Rasul saw membaca “bismillaah”, lalu memakannya. Addas dibuatnya terheran.
“Tak satu pun penduduk negeri ini yang melafalkan kalimat ini,” kata Addas kepada Baginda.
“Kamu dari negeri mana?” tanya Baginda.
“Dari Ninawi.” Ninawi adalah negeri di utara Irak.
“Dari kotanya sang lelaki yang saleh, Yunus bin Matta?”
“Dari mana engkau mengetahui Yunus bin Matta,” kata Addas semakin terheran.
“Dia adalah saudaraku. Dia nabi dan saya (juga) nabi,” jawab Baginda.
Addas tersungkur, ia mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki Baginda. Ia (Addas) menangis. Segera ia masuk Islam.
Addas barangkali adalah salah satu permulaan dari kebahagiaan yang tersembunyi di balik kesulitan hidup dan dakwah yang dihadapi oleh Baginda, yang segera disusul dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang lain.