Di akhir tahun 1999, Prof. Arief Budiman datang ke Flinders University untuk memberikan kuliah umum tentang politik Indonesia di kampus Bedford Park.
Selain sejumlah Indonesianis, para mahasiswa Indonesia yang sedang studi di sana hadir menyimak ceramah ilmuwan-aktivis terkemuka ini. Saya duduk di antara mereka, di deret agak depan, bersama beberapa teman di Asian Studies dan Public Policy, pas di belakang Bu Leila, istri Prof. Arief Budiman.
Ketika acara sudah selesai, dan kami sedang ngobrol-ngobrol santai dengan Pak Arief dan Bu Leila, HP Ericsson saya berbunyi. Ada telpon dari nomor rumah.
Saya jawab telpon itu. Suara Siti Qudsiati Utami yang sedang hamil tua terdengar di sana. Dia mengabarkan perutnya sakit.
Setelah menjawab telepon itu, saya sampaikan pada teman-teman di sekitar bahwa saya harus pulang duluan.
“Ada apa?” tanya seorang teman yang memperhatikan sejak saya menerima telepon.
“Miming sakit perut katanya.”
“Siapa yang sakit?” Bu Leila bertanya. Pak Arief menoleh karena pertanyaan itu.
“Istri saya Bu. She’s expecting, dan barusan bilang perutnya sakit, kram gitu. Mungkin sudah waktunya. Mungkin juga cuma braxton hicks. Tapi saya pamit duluan Bu, soalnya ini sudah dekat EDD.”
“Oh iya, silakan.” Bu Leila menjawab. “Semoga semuanya lancar ya.”
“Aamiin… Terima kasih Bu.” Saya lalu menyalami Pak Arief dan Bu Leila, kemudian bergegas pulang ke St. Marys.
Jadi Prof. Arief Budiman Bu Leila adalah termasuk orang-orang pertama yang saya lapori tentang kelahiran anak pertama, nun jauh di negeri orang.
Dan siang ini saya dengar kabar Prof. Arief Budiman menutup mata di usia lanjut — usia yang jelas sangat efektif dan membawa banyak manfaat bagi semua orang.
Semoga Allah menerima dia di sisi-Nya.