Yang agak mengejutkan bagi saya adalah bahwa kontra-narasi terhadap sarung BHS ternyata datang dengan cara yang jauh lebih elegan, tapi dengan efek yang jauh lebih dahsyat dari yang selama ini saya duga.
***
Dalam sebuah forum dialog di Gresik, Gus Yahya Cholil Staquf (waktu itu masih belum Ketua Umum PBNU) melemparkan candaan tentang sarung BHS.
“Kalangan santri sangat membanggakan sarung merek BHS, termasuk santri yang sudah sekolah tinggi-tinggi seperti Mas Gaffar ini,” kata beliau sambil menunjuk saya di sebelahnya. “Kalau pakai sarung BHS, sudah bangga. Padahal, yang punya pabrik BHS itu Wahhabi.”
Hadirin pun tertawa mendengar candaan itu. Saya tidak tahu persis apakah betul bahwa pemilik pabrik sarung BHS adalah Wahhabi. Yang tentu sama-sama kita tahu, sarung BHS memang mahal, tapi warna dan motif tenunannya memang nampak indah.
Itulah sebabnya, selama masa yang cukup panjang, sarung BHS adalah fashion statement di komunitas santri. Menyampirkan BHS di pinggang untuk menutupi paha dan betis adalah upaya klaim identitas dan level sosial, bahwa “saya adalah Muslim yang mapan dan modis.”
Tak hanya untuk dipakai sendiri, sarung BHS juga telah lama menjadi oleh-oleh paling bergengsi untuk dibawa sebagai oleh-oleh saat sowan pada kiai besar. BHS juga sangat bisa dijadikan hadiah ulang tahun, pernikahan, seserahan, dan semacamnya.
Kemasannya yang bagus (bahkan untuk seri tertentu, kemasannya sangat mewah), membuat sarung ini nampak sangat berkelas sebagai hadiah di sebuah hari spesial. BHS saya yang terbaru adalah hadiah peringatan kelahiran saya, dua atau tiga tahun yang lalu. Tidak perlu sampeyan ketahui siapa yang memberikan hadiah ulang tahun itu. Rahasia bos.
Pendek kata, BHS telah menjadi currency (bukan semata-mata pakaian) dalam relasi simbolik komunitas santri. Bahkan, kepanjangannya pun mengalami plesetan menjadi Barang Hasil Sowanan.
Sebagai currency, saya menduga cukup banyak sarung BHS yang tetap berada dalam kemasannya, terjaga rapi tak pernah dipakai sekalipun. Jangankan dipakai, dibuka dan dikeluarkan dari bungkus plastiknya pun tidak. Mungkin dia keluar sebentar dari kemasan kardusnya yang mewah, tapi segera masuk lagi.
Sarung-sarung yang tetap terjaga itu cuma berpindah-pindah tangan saja. Dia mungkin telah menjalani sejumlah proses sowanan yang berantai, dari satu tangan ke tangan yang lain. Malah bisa jadi, rantai prosesi sowanan itu justru membawa si sarung BHS kembali pada pembelinya di tahap awal.
Misalnya begini: Si A adalah pengusaha, alumni sebuah pesantren. Suatu ketika dia sowan ke tempatnya mondok, dan membawa oleh-oleh sarung BHS seri Masterpiece untuk Kiai B. Sarung itu diterima dengan senang hati oleh Kiai B, tapi tak dipakainya. Dia membiarkan sarung mewah itu tetap di kotaknya.
Belakangan hari, Kiai B disowani oleh Kiai C pada saat lebaran. BHS Masterpiece itu pun diberikan oleh Kiai B pada Kiai C, sebagai tanda mata. Kiai C sangat senang. Sarung itu dibawanya pulang sebagai hasil ngalap berkah dari kiai senior. Tapi dia pun tak membukanya. Sarung itu tetap dalam kotak.
Beberapa pekan kemudian, Kiai C sowan pada Kiai E. Sebagai oleh-oleh, dibawanya sarung BHS tadi, masih rapi dalam kemasannya yang indah. Kiai E menerima pemberian itu dengan senang hati. Dia buka kotaknya, lalu dia tutup kembali sambil mengucapkan terima kasih. Sarung itu dia simpan di lemarinya, tetap dalam kemasan yang rapi.
Sebulan berselang, Si A sowan pada Kiai E karena punya sebuah hajat politik. Usai membahas hajatnya, dia pamit pulang. Kiai E memberinya sebuah bingkisan, yakni sarung BHS Masterpiece berwarna biru. Si A menerima pemberian itu dengan senang hati, dan menganggapnya sebagai simbol dukungan Kiai E terhadap hajat politiknya. Sampai di rumah, dipakainya sarung itu dengan penuh bangga. Sarung itu baginya adalah pembawa berkah. Dia sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah sarung yang dibelinya beberapa bulan silam seharga tiga juta rupiah…
Bahkan tanpa persepsi keberkahan pun, sarung BHS telah dapat kita golongkan sebagai grand narative, narasi besar, di dunia persarungan dalam komunitas santri. Dia adalah arus utama kepatutan bersarung di kalangan Muslim Indonesia.
Tapi tak ada narasi besar yang boleh dibiarkan begitu saja hidup tanpa narasi perlawanan, setidaknya begitu menurut sang filsuf Jean François Lyotard. Setiap grand narrtive harus dilawan dengan counter-narrative. Begitu juga narasi besar BHS sebagai fashion statement-nya komunitas santri. Dia harus diimbangi dengan kontra-narasi yang tak kalah hebat.
Itu jelas, dan alamiah, dan tidak akan mengejutkan. Yang agak mengejutkan bagi saya adalah bahwa kontra-narasi terhadap sarung BHS ternyata datang dengan cara yang jauh lebih elegan, tapi dengan efek yang jauh lebih dahsyat dari yang selama ini saya duga.
Kontra-naratif terhadap sarung BHS datang dari sarung batik Lar Gurda, karya Gus Irfan Nuruddin dari Solo. Sarung batik. Catat itu!
Selama ini, di komunitas santri, apalagi di Madura kampung halaman saya, sarung dan kain batik hanya dipakai oleh perempuan. Biasanya sarung batik dikombinasikan dengan kebaya. Tidak ada (minimal tidak banyak) laki-laki yang punya nyali untuk mengenakan sarung batik.
Tapi entah kenapa, sarung batik Lar Gurda produksi Gus Irfan itu dengan cepat bisa membalik kemapanan klaim budaya bahwa hanya perempuan yang layak (atau berhak?) memakainya. Gus Irfan memulainya sekitar tahun 2017, menurut dia hanya dengan mempekerjakan sedikit orang, pun dengan modal yang juga tidak banyak. Nama Lar Gurda konon dia ambil dari salah satu motif batik yang bisa dimaknai sebagai sayap burung garuda.
Saya pertama kali memperoleh sarung Lar Gurda sekitar tahun 2018. Waktu itu saya kumpul dengan beberapa aktivis dan budayawan Yogya di sate klathak Sor Talok di Bantul. Gus Irfan yang saat itu berada di Yogya, mengambil sebuah kotak kardus kecil dari bagasi mobil Nissan Xtrail-nya. Disodorkannya kotak bertuliskan Lar Gurda itu pada saya, sambil berkata: “Dicoba njih Mas. Semoga suka.”
“Wah maturnuwun Gus…” Saya jawab sambil menimang kotak itu agak bimbang. Sarung batik bro. Apa aku punya nyali memakainya?
Sampai di rumah, saya coba sarung itu, dan di luar dugaan, ternyata wangun juga dipakai dengan kaos atau kemeja polos. Saya tak merasa harus punya nyali untuk melakukan fashion experimen untuk mengenakan sarung batik. Sarung ini ternyata bagus dipakai oleh laki-laki.
Sarung Lar Gurda kedua saya dapat dari taretan Edi Mulyono. Seingat saya waktu itu dia mengadakan acara buka bersama di salah satu café Basa-basi, dan membagikan kotak-kotak sarung Lar Gurda kepada tamu-tamu khusus. Beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan sarung batik pantura-an saat menghadiri acara Majma’ Buhuts di Pati. Meski yang ini bukan Lar Gurda, tapi motif batik bakaran itu membuat saya merasa nyaman dengan sarung batik.
Setelah itu, agak tak terhitung sudah berapa kali membeli Lar Gurda, terutama sebagai tanda mata unik untuk dibagikan pada teman dan kolega, atau untuk diberikan sebagai tanda terima kasih pada wali kelas anak saya di sekolah.
Hari ini, rasanya sangat wajar kita melihat pria bersarung batik, khususnya merek Lar Gurda. Sarung batik tak lagi dianggap sebagai privelese perempuan. Dia kini digunakan oleh para pria untuk melakukan klaim yang dulu hanya bisa dilakukan dengan mengenakan BHS, bahwa “saya adalah Muslim yang mapan dan modis.”
Kepatutan Lar Gurda sebagai kontra-narasi ini dipercepat oleh penampilan beberapa tokoh, seperti Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, dan Gus Yahya Cholil Staquf.
Kini tinggal kita lihat saja, apakah kontra-narasi ini akan didiamkan saja oleh si penggenggam narasi besar…
Allahu a’lam bissawab.