Sedang Membaca
Membaca Narasi “Curang yang Terstruktur, Sistematis dan Masif”
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Membaca Narasi “Curang yang Terstruktur, Sistematis dan Masif”

Salah satu istilah yang ramai muncul dalam perbincangan seputar pemilu 2019 (wa bil khusus urusan pemilihan presiden) adalah adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tentu saja yang menuduhkan adanya kecurangan TSM ini adalah pihak yang menengarai akan kalah. Yang gejalanya mau menang, buat apa menyebarkan isu TSM ini. Di mana-mana memang begitu keadaannya. Kesebelasan yang memprotes wasit kebanyakan adalah kesebelasan yang kalah karena gagal membobol gawang lawan. Yang sering berhasil membobol gawang lawan biasanya diam.

Tapi lepas dari hal itu, setelah kini pemilu selesai dan hasilnya diumumkan (tetap dengan tudingan adanya kecurangan TSM oleh KPU), pertanyaannya: apakah ada kecurangan dalam pemilu kita?

Saya jamin bahwa jawabannya: ADA. Tapi apakah kecurangan itu TSM? Saya juga jamin bahwa jawabannya adalah TIDAK.

Sebenarnya kalau Anda membaca tulisan ini untuk sekadar mendapat jawaban ada atau tidaknya kecurangan, sampai paragraf di atas saja sudah cukup. Tapi kalau mau membedah lebih jauh, mari kita lanjut ke paragraf berikutnya.

Pertama-tama, penting kita ingat bahwa pemilu di Indonesia itu sangatlah kompleks. Biar saya tak perlu mengurai bagaimana detailnya komplektitas pemilu kita, coba Anda buka saja link ini: https://interactives.lowyinstitute.org/features/indonesia-votes-2019/.

Untuk pemilu sekompleks itu, sebenarnya Indonesia menunjukkan prestasi yang bagus. Penyelenggaraan pemilu di negara kita cenderung lebih baik daripada beberapa negara lain di Asia Tenggara, dalam hal sistem dan logistiknya.

Tentu saja banyak kekuarangan di sana-sini. Ada banyak kelemahan yang masih harus terus dibenahi. Data pemilih kita, misalnya, sampai sekarang kerap menyandang masalah. Akurasi data masih perlu ditingkatkan.

Distribusi logistik dalam pemilu juga masih banyak persoalan. Beban kerja petugas pemilu di lapangan masih sangat perlu dibenahi. Riset lintas disiplin yang dilakukan di UGM (melibatkan ilmu sosial-politik, ilmu kedokteran, psikologi dan geografi) saat ini sedang memetakan permasalahan di balik sakit dan wafatnya sejumlah petugas pemilu di lapangan.

Baca juga:  Kafe Basabasi, dari Kuliah Tasawuf Milenial hingga Pengembangan Ekonomi

Proses pemberian suara dan penghitungannya juga tak jarang bermasalah. Orang-orang yang berada di luar tempat tinggalnya (karena sekolah, bekerja, atau dirawat di rumah sakit) tak semuanya bisa menggunakan hak pilih. Sistem dan pelaksanaannya masih sangat perlu dibenahi.

Dan yang paling terasa namun sulit dibuktikan: jual beli suara juga masih kerap terjadi. Vote buying (membeli suara langsung kepada pemilih) atau vote trading (membeli suara gelondongan lewat penyelenggara pemilu) masih terdeteksi. Banyak malah.

Tapi apakah itu semua itu berarti terjadi kecurangan yang TSM untuk memenangkan satu kandidat capres? Saya rasa tidak. Anda pikir mudah merancang kecurangan yang TSM di jaman ini? Sama sekali bukan perkara mudah. Mari lihat apa saja masalahnya.

KPU (dari pusat sampai kabupaten/kota) serta Bawaslu dan Panwaslu itu diisi oleh orang-orang dengan orientasi politik beragam. Rata-rata komposisi para komisioner KPU dan pimpinan Bawaslu/Panwaslu mencakup kekuatan nasionalis (merah), Islam tradisionalis (hijau) dan Islam modernis (biru).

Mengajak seluruh jajaran penyelenggara pemilu untuk melakukan kecurangan TSM itu memerlukan rembugan politik yang sangat lama.

Tak satupun dari Jokowi atau Prabowo yang akan sanggup memperoleh kesepakatan politik di semua tempat dan semua level. Merah setuju, biru belum tentu. Biru oke, hijau bisa nolak. Hijau sepakat, merah melengos. Apa tidak pusing antum?

Negosiasinya memerlukan urat leher yang kuat — dan fulus yang sejabal Uhud.

Baca juga:  Mengajak Hijrah dengan Diam-Diam

Untuk apa mereka capek-capek melakukan hal itu? Tenaga dan dananya mending mereka pakai untuk membangun pencitraan publik, serta membayar akademisi dan aktivis untuk menjadi pendukung, buzzer atau endorser. Itu lebih jelas juntrungannya.

Tentu saja akan ada yang membantah: banyaknya masalah di TPS-TPS, termasuk pemungutan suara lanjutan (PSL) bahkan pemungutan suara ulang (PSU) itu adalah bukti adanya kecurangan yang TSM.

Betul memang banyak PSL dan PSU. Tapi berapa banyak? Dari lebih 809 ribu TPS di seluruh Indonesia, ada sekitar 2700 TPS yang melakukan PSL dan PSU. Itu berarti cuma 0,3%. Apanya yang masif?

Yang juga lebih penting, kesalahan-kesalahan dalam pemilu tak semuanya adalah kecurangan, apalagi kecurangan yang TSM. Ilmu politik sudah membuat kategori jenis-jenis kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemilu. Salah satu ilmuwan yang paling banyak dirujuk tentang kesalahan-kesalagan dalam pemilu adalah Sarah Birch, penulis buku berjudul Electoral Malpractice dan tulisan jurnal berjudul Electoral system and Electoral Misconduct.

Dalam karya-karyanya itu, Birch menggunakan beberapa istilah dengan makna yang berbeda tapi beririsan, yakni electoral misconduct dan electoral malpractice, serta kadang juga electoral malfeasance. Ketiganya merujuk pada kejadian atau tindakan yang membuat pemilu melenceng dari prinsip dasar integritas, kebebasan dan kejujuran.

Electoral malpractice adalah tindakan yang secara langsung atau tidak langsung membuat pemilu berjalan di luar prinsip yang ideal. Malpraktik ini bisa sengaja, bisa pula hanya karena kelalaian dan kecerobohan. Misalnya, tidak hati-hati dalam urusan pengisian C1; atau terlambat mengirimkan logistik pemilu.

Electoral misconduct dan malfeasance adalah pelanggaran terhadap norma dan aturan pemilu pemilu demokratis. Misalnya, ada orang yang dihalang-halangi untuk menggunakan hak pilihnya. Jika pelanggaran itu dilakukan berulang-kali, jatuhnya malah bisa menjadi electoral crime.

Pelanggaran itu sendiri bisa mengambil banyak bentuk. Bentuk pertama adalah electoral fraud, yakni pelanggaran yang dilakukan dengan melakukan kecurangan. Kadangkala kecurangan itu mempengaruhi hasil akhir pemilu, kadangkala tidak. Kecurangan yang mempengaruhi hasil akhir pemilu disebut outcome determinative fraud; yang tidak mempengaruhi hasil akhir disebut non-outcome determinative fraud.

Saya yakin dalam pilpres 2019 ada kecurangan yang dilakukan oleh kedua kubu paslon, namun kecurangan itu masuk dalam kategori non-outcome determinative fraud. Kecurangan yang terjadi mungkin menggeser suara Jokowi atau Prabowo di sejumlah TPS, tapi pergeseran itu tak signifikan untuk mengubah hasil akhir secara nasional.

Baca juga:  Antroposentrisme: Mengenal Manusia, Awal Ilmu Mengenal Tuhan

Bentuk lain kecurangan adalah voter fraud, yakni kecurangan dengan membuat pemilih tidak bisa mengunakan hak pilihnya, atau seseorang menggunakan hak pilih orang lain. Ada juga bentuk vote fraud, yakni kecurangan dengan cara menambah/mengurangi suara partai atau kandidat.

Yang paling gawat adalah kecurangan dalam bentuk systematic manipulation, yakni manipulasi hukum penyelenggaraan pemilu untuk kepentingan partai atau peserta pemilu. Sebenarnya ini terjadi di Indonesia hampir setiap lima tahun. Partai-partai politik selalu merancang sistem pemilu untuk kepentingan mereka.

Akhirul-kalam, kecurangan yang TSM dalam pemilu di Indonesia itu sebenarnya mustahil terjadi di Zaman ini. Fakta dan teorinya tak mendukung tuduhan itu. Meski hasil pemilu 2019 itu tak bisa dijamin suci-bersih (karena memang ada kecurangan dan penyimpangan di sana-sini), namun hasil itu juga tak sepenuhnya najis.

Hasil pemilu 2019 harus kita terima dengan lapang dada. Kotoran dalam hasil pemilu ini bisa kita bersihkan dengan cara mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi.

Bismillah…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)
  • Mantap.. Tap. tap. Tapi akan jadi masalah kalo menangnya begitu signifikan beda 17 juta suara. Dan data itu juga harus jelas bisa samapai jauh seperti itu, kan bisanya beda memang, tapi tidak terlalu melambung seperti itu. Cukup aneh juga.

Komentari

Scroll To Top