“Lewat perang Uhud-lah Allah membersihkan orang-orang beriman dari kotoran kaum munafik, membersihkan para pemberani dari para pengecut, dan membersihkan orang-orang yang benar-benar mencintai Rasulullah dari mereka yang memendam penyakit di dalam hatinya.”
Begitulah sepercik gambaran sederhana dari Fethullah Gulen, seorang ulama Turki mengenai perang Uhud.
Perang Uhud dapat dikatakan sebagai pembalasan yang dilakukan oleh kafir Quraisy setelah kekalahan besar yang menimpa mereka dalam peperangan sebelumnya. Perang yang terjadi pada tahun ketiga hijriah itu awalnya dimenangkan oleh kaum muslim. Namun, pasukan pemanah kaum muslim, yang oleh Nabi saw. disiagakan di atas bukit untuk melindungi pasukan meninggalkan tempat mereka dan mengabaikan intruksi dari Nabi saw. untuk tetap bertahan.
Sikap menyimpang dari tugas yang ditetapkan pada sebagian pemanah muslim tersebut membuat pimpinan pasukan berkuda Mekkah, Khalid bin Walid mengambil kesempatan. Ia benar-benar tidak menyia-nyiakan ruang lengah di depan matanya. Dengan ratusan pasukannya, Khalid memberikan serangan balik.
Dalam peperangan tersebut, pasukan muslim menderita kerugian yang tidak sedikit dan 70 orang gugur sebagai syuhada. Sedangkan di pihak musuh, mereka kehilangan 23 anggotanya.
Meski demikian, barangkali tidaklah tepat jika dalam perang Uhud pihak kafir Quraisy dikatakan sebagai pemenang. Tentang hal ini, ada pandangan yang cukup menarik dari seorang ulama India, Maulana Muhammad Ali dalam bukunya Biografi Muhammad Rasulullah, bahwa dalam peperangan tersebut, bukankah pasukan muslim masih berada di arena pertempuran? Dan bahkan kaum muslim mengejar mereka pada hari berikutnya, namun kafir Quraisy mengundurkan diri. Mereka juga tidak membawa harta rampasan sedikit pun.
Selain itu, kata Muhammad Ali, apakah sejarah pernah mencatat, satu contoh kemenangan, bahwa musuh yang ditaklukkan di medan perang dan tentara yang menang pulang ke kampung asalnya tanpa membawa tawanan seorang pun; dan musuh yang kalah telah mengejar yang menang pada hari berikutnya hanya beberapa jam setelah pertempuran, dan pihak yang menang melarikan diri setelah mendengar ada yang mengejar?
Tentu kita sepakat bahwa dalam peperangan tersebut, kaum muslim banyak mengalami kerugian, setidaknya dengan gugurnya 70 sahabat. Namun di balik peritiwa tersebut, kita juga menjumpai bagaimana ketulusan para sahabat yang berjuang dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan yang luar biasa.
Cukup banyak kisah-kisah yang menakjubkan yang terdapat dalam sirah-sirah Nabi saw. tentang perang Uhud, yang menjadi bukti bahwa betapa agungnya sebuah cinta yang dilandasi dengan keimanan. Di antaranya cerita tentang Abdullah bin Jahsy. Sebelum perang Uhud berkecamuk, Sa’d ibnu Abi Waqas mengajaknya berdoa. Usai Sa’d ibnu Abi Waqas melangitkan doa. Giliran Abdullah bin Jahsy berdoa:
“Ya Allah, berikanlah esok hari aku seorang musuh yang kuat dan berani agar aku bisa bertempur dengannya dan ia mampu menandingiku. Kemudian ia membunuhku dan merampas barang milikku, lalu memotong hidung dan kedua telingaku sehingga kelak jika aku menghadap-Mu dan Engkau bertanya, ‘Hai Abdullah, kenapa hidung dan telingamu terpotong?’ aku akan menjawab, ‘karena Engkau dan Rasul-Mu.”
Ketika peperangan telah usai, S’ad menuturkan bahwa doa Abdullah lebih baik dari doanya, dan ia juga melihat Abdullah bin Jahsy terbunuh di ujung siang, dan aku melihat jasadnya dalam keadaan hidung dan telinganya tergantung pada sebuah tali di pohon.
Selain Abdullah bin Jahsy, cerita gugurnya Hanzalah juga menjadi bukti betapa kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi prioritas yang utama. Ketika seruan untuk berperang tersiar, Hanzalah yang saat itu masih berada di dekapan istrinya bergegas menuju medan perang untuk berjihad.
Setelah perang usai, dan semua syuhada telah dimakamkan kecuali Hanzalah. Ketika Nabi saw. mengetahui nasib Hanzalah, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Hanzalah dimandikan para malaikat. Tanyalah kepada keluarganya, bagaimana keadaannya?” sebagian orang pun bertanya kepada istrinya, dan ia menjawab bahwa ketika panggilan untuk berjihad terdengar, Hanzalah langsung bergegas memenuhi seruan tersebut, padahal saat itu ia masih dalam keadaan junub.
Dalam peperangan tersebut, perjuangan Sa’d bin Abi Waqas dan Thalhah bin Ubaidillah juga sangat mengagumkan. Mereka berdua menjadi tameng bagi kekasihnya, yaitu Nabi saw. saat itu, Sa’d bin Abi Waqqas tak henti-hentinya melepaskan anak panahnya ke arah musuh, dan setiap tabung anak panah Sa’d kosong, Nabi saw. langsung mengisi ulang.
Sedangkan Thalhan bin Ubaidillah, ia bertempur habis-habisan untuk melindungi Nabi saw. Ketika itu Ibnu Qami’ah, seorang yang berasal dari salah satu suku Quraisy pinggiran ingin menebaskan pedangnya ke arah Nabi saw, Thalhah yang sedang berdiri di samping beliau segera melompat, tepat ke arah tebasan pedang itu. Ia tangkis pedang tersebut meski dengan risiko kehilangan jari-jari salah satu tangannya. Dan dalam kondisi seperti itu, Thalhah masih kuat menggendong Nabi saw. di punggungnya, merangkak hingga mencapai puncak yang diinginkan.
Sementara itu, Abu Dujanah juga menjadikan punggungnya sebagai tameng untuk melindungi Nabi saw, meskipun beberapa anak panah mengenai punggungnya, dia sama sekali tidak bergeming.
Abdurrahman bin ‘Auf juga ikut bertempur dengan penuh semangat hingga mendapat banyak luka di tubuhnya, dan sebagian ada yang mengenai kakinya hingga jalannya menjadi pincang.
Dalam peperangan tersebut, Nabi saw terkena lemparan dan serpihan baju zirah menancap di pipi beliau. Mengetahui hal itu, Abu Ubaidah bin Jarrah segera menolong beliau dan mencoba mencabut serpihan-serpihan besi itu dengan giginya, hingga dua gigi serinya tanggal. Kemudian Malik bin Sinan mengisap darah dari wajah Nabi saw. hingga bersih, lalu kembali bertempur hingga gugur sebagai syahid.
Selain itu, seorang wanita yang bernama Ummu Umarah juga bertempur habis-habisan melindungi Nabi saw. ia mengalami dua belas luka tusuk akibat sabetan pedang dan tikaman tombak. Ia berucap, “Aku tak peduli apa pun yang menimpaku di dunia ini.”
Ketangguhan dan pengorbanan yang luar biasa juga dilakukan keluarga Amr ibnu al-Jamuh. Saat itu, Amr ingin mendaftar, namun oleh putra-putranya dicegah karena kakinya pincang. Awalnya Nabi saw tidak mengizinkan, namun karena keinginannya yang kuat akhirnya Nabi saw. memberi izin.
Maka berangkatlah Amr bersama putra-putra dan istrinya. Ketika perang membara, istri Amr berniat untuk melindungi Nabi agar tidak tersakiti. Setiap anak panah melesat ke arah beliau, ia tangkap dengan tangannya. Ia tidak peduli meski darah mengucur.
Ketika suaminya tersungkur, ia tidak ke sana karena sibuk melindungi Nabi saw. kemudian anak pertama menyusul sang ayah, disusul anak kedua dan ketiga. Namun sang ibu masih tetap dalam posisinya, yaitu menjadi pelindung Nabi saw.
Begitulah perjuangan dan pengorbanan para sahabat Nabi saw. Mereka abaikan kehidupan yang fana demi sebuah cinta yang tak sederhana.
Para sahabat telah memiliki cinta sejati. Dan hal itulah, yang menurut Maulana Wahiduddin Khan yang menyebabkan mereka mendapat tempat lebih dari kita.
Selain itu, kata Wahiduddin Khan, jika orang lain umumnya lebih mencintai diri sendiri, para sahabat mencurahkan perasaan tersebut sepenuhnya bagi Islam.
Bila manusia umumnya mencurahkan seluruh energi dan kekayaannya untuk mencapai cita-cita mereka, maka para sahabat mencurahkan jiwa raganya bagi kepentingan Islam sehingga mampu membangun kejayaan keimanan mereka. Lalu bagaimana dengan kita sekarang?