Kesalahan kesalahan kecil dalam berdakwah akan dialami siapa saja. Ada yang kepeleset soal pembacaan sejarah. Yang lain salah mengutip ayat Al-Qur’an dan hadiss Nabi saw.
Banyak juga yang keliru dalam membaca teks Arab. Bacaannya tak sesuai dengan gramatika dan tata kata bahasa Arab, nahwu dan sharaf. Mestinya dibaca rafa‘ malah nashab. Seharusnya ikut wazan فعل يفعل تفعيلا تفعلة, malah diikutkan wazan فعل يفعل فعلا. Ketidakfasihan melafalkan Al-Qur’an mudah ditemui di mana-mana.
Kekeliruan kekeliruan seperti itu kerap terjadi secara tak sengaja di tengah kepenatan muballig memenuhi undangan ceramah yang terus menumpuk. Walau kita juga tak bisa mengingkari, kesalahan kadang terjadi akibat sang ustaz tak memiliki basis keilmuan Islam yang memadai. Malah ada pula saya menemui mubalig tidak tahu bahwa Aisyah itu putrinya Abu Bakar.
Seperti yang lain-lain, saya juga sering keliru dalam mengutip teks-teks Arab ketika mengajar dan presentasi. Kekeliruan kadang baru saya sadari bahkan ketika saya sudah sampai di rumah lagi–teks yang tadi itu mestinya dibaca begini, kok tadi dibaca begitu.
Kalau mau diambil hikmahnya; kekeliruan demi kekeliruan yang dilakukan para ustaz dan tokoh itu kadang harus terjadi biar tak ada yang merasa paling alim sendiri. Sebab, sebetapa pun rajinnya kita membaca, tetap saja ilmu kita tak seberapa.
Allah Swt berfirman, وفوق كل ذى علم عليم. Di atas yang alim, masih ada yang lebih alim. Makanya, tak ada yang pantas merasa paling alim sendiri.