Seorang wartawan bertanya: bolehlah orang kaya menikahi orang miskin? Saya tahu maksud pertanyaan itu, yaitu mau bikin “ramai” usulan Menteri Muhadjir Effendi.
Saya jawab begini, normatif saja. Kaya atau miskin tidak menjadi syarat sahnya pernikahan. Maka boleh saja laki-laki kaya menikahi perempuan miskin. Begitu juga sebaliknya.
Itu sebabnya, Zaid ibnu Haritsah yang dulu budak menikahi perempuan bangsawan Zainab binti Jahsy, Usamah ibnu Zaid menikahi Fathimah binti Qais.
Ashim ibnu Umar ibnu Khattab menikahi Ummu ‘Ammarah (anak orang miskin). Dari pernikahan ini nanti lahir seorang cucu mulia bernama Umar ibnu Abdil Aziz.
Hanya masalahnya, dalam kenyataan seringkali perbedaan kelas atau status sosial menjadi sebab terjadinya konflik dan ketegangan dalam keluarga.
Khawatir potensi konflik itu menjadi aktual, maka banyak orang mencari istri atau suami yang setara, dari segi nasab, ekonomi, dan lainnya. Karena itu, dalam Islam ada konsep kafa’ah.
Tapi, jika sudah saling rida-rela (tanpa paksaan), gak apa-apa juga sih anak seorang menteri menikahi anak seorang pengemis. Menikahi orang berkebutuhan khusus. Santri pinter tapi miskin menikahi dokter gigi perempuan yang kaya dan cantik. Bagus sekali. Semoga Allah menciptakan ruang-ruang dan momen-momen pertamuan itu.