Sedang Membaca
Tafsir Surah Al-Fatihah (Bagian 2)
Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Tafsir Surah Al-Fatihah (Bagian 2)

Tentang surah ini Muhammad al-Ghazalî berkata, “Surah pujian (al-hamd). Termasuk surah pendek, tetapi merupakan induk al-Kitab (Alquran) dan surah teragung.” 

Dalam pandangan al-Ghazali, surah ini merupakan saripati Alquran tentang akidah Islam, ikatan perjanjian yang kokoh antara manusia dengan Tuhan untuk merealisasikan tugas mereka di muka bumi, serta berisi harapan kepada Allah akan hidayah, taufik dan keridaan-Nya.

Surah yang merupakan Induk Alquran ini, dalam redaksi yang amat singkat-padat, juga menggambarkan pola-hubungan antara manusia dan Tuhannya, pengakuan tentang-Nya, pujian untuk-Nya, kesiapan untuk menemui-Nya, janji untuk menyembah-Nya, dan harapan kepada-Nya supaya menjadikan kita seperti yang diinginkan-Nya.

Satu-satunya pola-hubungan antara manusia dan Tuhan adalah hubungan yang didirikan di atas Islam. Islam adalah satu-satunya agama Allah yang disampaikan para nabi, kapan pun dan di mana pun nabi-nabi itu diutus. Agama Islam berporos pada keyakinan bahwa sesungguhnya Allah itu esa, hanya bagi-Nya kesetiaan dan pujian, serta kepada-Nya seluruh penghuni bumi dan langit bergantung. Orang yang mengingkari hakikat ini sesat dan dimurkai-Nya.

Isi kandungan surah al-Fatihah sangat relevan dengan tema utama dakwah Nabi Saw. di Mekkah. Ia dibuka dengan penegasan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan nama Allah. Segala aktifitas yang dilakukan haruslah dimulai dengan nama-Nya. Ini memberi pesan bahwa Allah harus terlibat dalam segala hal yang dilakukan oleh hamba-Nya.

Setiap hamba harus melibatkan Allah dalam segala kegiatan yang dijalaninya. Melibatkan Allah dalam segala aktifitas memiliki makna yang luas dan dalam. Maknanya memanjang; mulai dari mengucap bismillah saat memulai aktifitas, senantiasa merasakan pantauan-Nya selama menjalankan aktifitas, berkegiatan dengan mengindahkan nilai-nilai ilahiah, bekerja demi tujuan luhur nan mulia, bekerja demi tegaknya nilai-nilai rabbani di ranah kemanusiaan seperti keadilan dan kesejahteraan untuk sebanyak mungkin umat manusia. Antara lain, nilai-nilai ilahiah-rabbaniah inilah yang ditanamkan oleh ayat pertama surah al-Fatihah.

Baca juga:  Harmoni dalam Surah al-Fatihah

Setelah segala sesuatunya diawali dengan nama-Nya, disertai nilai-nilai yang diajarkan-Nya, dan diorientasikan untuk meraih ridha-Nya, langkah berikutnya adalah pengakuan tulus bahwa pada hakikatnya segala kebaikan dan anugerah yang tiada henti direguk oleh makhluk merupakan karunia dari-Nya. Oleh karena itu sudah sepatutnya setiap hamba memanjatkan segala pujian hanya untuk-Nya. Keharusan ini dipertegas dengan kenyataan bahwa Dia-lah Tuhan semesta alam. Seperti terlihat di sini Allah menggunakan kata rabb untuk menunjukkan posisi-Nya terhadap semesta alam. Rabb mengandung arti antara lain Tuhan yang memiliki, mendidik dan memelihara, dan karena itu maka Dia harus ditaati.

Dengan menggunakan kata rabb, Allah sedang menunjukkan kepada makhluk-Nya bahwa Dia begitu peduli, menjaga, memelihara dan sangat tinggi perhatian-Nya terhadap semua makhluk-Nya. Atas semua itu maka Dia berhak atas segala pujian.

Ayat berikutnya menegaskan kepedulian dan perhatian-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya dengan mengulang apa yang telah dinyatakan pada ayat pertama, yakni Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Namun segala nikmat yang dirasakan, segala anugerah yang tercurah dan segala karunia yang melimpah, semua itu akan dipertanggungjawabkan.

Semua itu disediakan bukan untuk disalahgunakan, melainkan untuk di-tasharruf-kan di jalan-jalan yang dikehendaki dan direstui-Nya, yakni jalan-jalan kebenaran guna tegaknya nilai-nilai kebenaran serta terwujudnya kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Makna inilah antara lain yang dipancangkan oleh pernyataan bahwa Allah, Dia-lah yang menguasai hari pembalasan. Kelak di hari pembalasan, segala sesuatunya akan ditimbang, dihitung, dimintai pertanggungjawaban, dan dibalas seadil-adilnya; tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang dizalimi.

Baca juga:  Yazd, Kota dengan 2 Agama Berdampingan: Islam dan Zoroaster

Kepercayaan akan adanya hari pembalasan seharusnya memantik semua hamba yang mengaku bertuhan untuk memanfaatkan semua anugerah, karunia dan nikmat-Nya dengan berpedoman pada ajaran-ajaran yang telah ditetapkan-Nya. Sebab kecurangan atau penyimpangan sekecil apa pun dalam pemanfataan itu pasti akan ada perhitungannya; semua akan ada balasannya yang seadil-adilnya.

Dalam Islam, segala aktifitas hamba di alam semesta ini haruslah diorientasikan pada upaya meraih ridha-Nya. Karena itu, dalam pandangan Islam, setiap kegiatan hamba dapat, bahkan harus, bernilai ibadah; harus dilakukan dalam bingkai penghambaan dan pengabdian hanya kepada-Nya.

Dalam melakukan penghambaan dan pengabdian ini tidak boleh ada kepentingan yang ikut serta selain kepentingan-Nya, tidak boleh ada keinginan yang menyusup selain keinginan-Nya, dan tidak boleh ada tujuan yang hendak dicapai selain keridhaan-Nya. Inilah makna penegasan hanya Engkau-lah yang kami sembah.

Dalam menjalani hidup; dalam melakukan pengabdian kepada-Nya, seorang hamba tidak bisa lepas dari pertolongan-Nya. Sehebat apa pun seseorang, selalu ada saat di mana ia tidak bisa memanfaatkan kehebatannya untuk mencapai tujuannya. Sepandai apa pun seseorang, selalu ada momen di mana ia harus mengakui bahwa kepandaiannya tidak dapat menolongnya meraih harapannya.

Sekaya apa pun seseorang, selalu ada kesempatan di mana ia harus mengakui bahwa kekayaannya tidak dapat menyampaikannya ke pelabuhan cita-citanya. Sekuat apa pun seseorang, selalu ada waktu di mana ia harus mengakui bahwa kekuatan yang dimilikinya adalah lemah belaka dan mau tidak mau harus menengadahkan tangan memohon bantuan yang dapat mengantarkannya ke ujung perjalanan. Hanya Allah Yang Maha Pandai dan tidak akan pernah terkalahkan kepandaian-Nya, Yang Maha Hebat dan tidak akan pernah terkalahkan kehebatan-Nya, Yang Maha Kaya dan tidak akan pernah terkalahkan kekayaan-Nya, serta Maha Kuat dan tidak akan pernah terkalahkan kekuatan-Nya. Maka hanya kepada-Nya setiap hamba hendaknya memohon pertolongan.

Baca juga:  Living Al-Qur'an dan Pesan Kemanusiaan

Dalam menjalani ibadah; dalam memeragakan penghambaan dan pengabdian kepada-Nya, jangan sampai seorang hamba salah dalam memilih dan menempuh jalan. Jangan sampai ia merasa sedang melakukan pengabdian kepada-Nya tapi jalan yang ditempuhnya ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan-Nya. Maka selalulah setiap hamba memohon kepada-Nya ditunjukkan jalan yang lurus. Jalan lurus adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang telah memperoleh nikmat-Nya; bukan jalan orang-orang yang dimurkai-Nya, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.

Pada tataran aplikasi, setiap hamba harus mengamalkan nilai-nilai al-Fatihah dalam kesehariannya tanpa mempedulikan apakah surah al-Fatihah ini makiyyah atau madaniyyah. Sebab nilai-nilai yang dikandungnya sangatlah universal, berlaku bagi siapa pun, kapan dan di mana pun. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top