Sedang Membaca
Tafsir Surah Al-Fatihah (Bagian 1)
Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Tafsir Surah Al-Fatihah (Bagian 1)

Surah ini ibarat taman Qur`ani. Hati kita menyelami keindahannya sekurangnya setiap kali salat. Surah ini mempunyai beberapa nama, di antaranya fatihah al-kitab (pembuka al-Kitab), sab’ al-matsani (tujuh ayat yang sering diulang), umm al-kitab (induk al-Kitab), dan umm Alquran (induk Alquran).

Nama-nama lainnya adalah al-shalah (shalat), al-hamd karena di dalamnya disebut kata al-hamd, al-syifa`, al-ruqyah, al-wafiyah, dan al-kafiyah. Demikian, al-Fatihah memiliki banyak nama, sifat dan julukan. Sebenarnya masih banyak nama, sifat dan julukan lainnya untuk surah al-Fatihah. Yang jelas, banyaknya nama menunjukkan kemuliaan sesuatu yang dinamai (katsrah al-asma` tadull ‘ala syarf al-musamma).

Jumhur berpendapat surah ini makiyyah. Namun ada juga yang berpendapat madaniyyah. Lalu ada yang menggabungkan dua pendapat itu dengan mengatakan bahwa ia turun berulang; turun di Mekkah, turun pula di Madinah ketika perintah pengalihan kiblat turun.

Terlepas dari itu, beberapa poin dapat dikemukakan terkait surah ini. Yaitu bahwa secara tartib nuzul, ia turun setelah surah al-Mudatstsir. Ia turun secara utuh; langsung satu surah.

Kaum Muslim membacanya setiap salat. Ia merupakan pembuka Alquran, tujuan-tujuan pokok Alquran tertuang secara global di dalamnya. Dalam Alquran misalnya, terdapat penjelasan hak-hak Khalik atas makhluk dan ketergantungan mereka terhadap Sang Khalik serta pola hubungan antara Khalik dan makhluk. Ini semua secara global disitir oleh surah al-Fatihah.

Ayat-ayat pertamanya merupakan rangkuman tentang hak-hak Allah atas makhluk-Nya: hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Disusul kemudian permohonan hidayah dari-Nya ke jalan yang lurus. Ini menunjukkan kebutuhan (ketergantungan) makhluk terhadap Sang Khalik. Jalan lurus adalah jalan yang menghubungkan makhluk dengan Khalik.

Baca juga:  Ketika Garuda Muda Kehilangan Bulunya

Surah ini juga berisi bantahan terhadap semua golongan yang keluar dari koridor jalan lurus serta penjelasan mengapa golongan-golongan itu dinilai keluar dari jalan lurus. Mereka yang keluar dari jalan lurus adalah mereka yang melakukan perbuatan yang mengundang murka Allah dan orang-orang yang tersesat. Atas dasar ini surah al-Fatihah berhak menyandang predikat sebagai Umm Alquran; Induk Alquran.

Ayat pertama yang berbunyi بسم الله الرحمن الرحيم (dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) merupakan arahan agar mengembalikan segala sesuatu kepada Allah. Dia-lah Tuhan semesta alam. Dia Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. “Dengan nama Allah” maknanya “dengan kekuasaan dan penciptaan-Nya.” Atau “dengan pertolongan Allah, taufik, dan keberkahan-Nya.” Nama Allah disebut di awal pembacaan surah atau aktifitas lainnya agar segalanya dibuka dengan keberkahan Allah.

Basmallah di awal al-Fatihah menegaskan makna-makna ini. Banyak hadits menekankan bacaan basmallah di awal semua pekerjaan, seperti makan, minum, menyembelih hewan, bersuci, berkendara, bahkan bersenggama dan lainnya.

Surah al-Fatihah turun di antaranya untuk mengajari kaum Mukmin tentang dasar-dasar umum dan kaidah-kaidah pokok tentang hubungan mereka dengan Tuhan, hubungan mereka dengan sesamanya, dan tentang perilaku mereka; apa yang baik dan apa yang buruk bagi mereka. Maka surah al-Fatihah sejatinya merupakan wujud nyata perhatian Allah terhadap kaum Mukmin dalam mereka menjalani kehidupan. Berikut pokok-pokok ajaran yang dikandung surah al-Fatihah:

Baca juga:  Mengapa dinamakan Arafah? Inilah Sejarah Jabal Arafah, Yaum Arafah, dan Wuquf Arafah

Pertama, kaum Mukmin harus mengarahkan dan menghaturkan segenap puji yang utuh dan sempurna kepada Allah semata. Bagi-Nya segala puji yang baik dan elok. Dia-lah semata yang berhak atas segenap puji. Bagi-Nya nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang mulia. Betapa pun seluruh manusia mengerahkan segenap kemampuannya memuji Allah Swt., mereka tidak akan mampu memenuhi hak-Nya atas segala puji dan sanjungan. Puji yang mereka berikan hanya memenuhi sedikit saja dari hak-Nya yang Maha Agung. Maka itu, dalam salah satu doanya Nabi Saw. bersabda, “Aku tidak dapat memenuhi puji atas-Mu. Engkau sebagaimana Engkau sendiri memuji atas diri-Mu.”

Bagi-Nya segala puji dan syukur atas segala kebaikan yang diberikan-Nya. Alhamdulillah merupakan kata yang diucapkan oleh setiap yang bersyukur. Nabi Adam ketika bersin ia berucap alhamduluillah. Nabi Nûh mengucap alhamdulillah ketika Allah menyelamatkannya dari kaum yang zalim. Nabi Ibrahîm mengucap alhamdulillah ketika Allah memberinya karunia berupa tumbuh besarnya Isma’il dan Ishaq.

Nabi Dawud dan Sulaiman mengucap Alhamdulillah ketika Allah mengutamakan mereka atas banyak dari hamba-hamba-Nya. Nabi Muhammad Saw. diperintah Allah mengucap alhamdulillah kepada-Nya yang tidak memiliki anak. Para penghuni surga mengucap alhamdulillah karena Allah telah menghilangkan kesedihan dari mereka.

Memanjatkan segala puji hanya untuk Allah sama dengan mengarahkan segenap kemampuan diri pada apa pun yang dapat mengundang keridhaan-Nya. Memuji-Nya sama dengan melatih diri menghargai setiap nikmat yang diberikan-Nya dan menghaturkan syukur kepada-Nya. Di antara nikmat-nikmat itu, yang paling besar adalah nikmat Islam, iman dan hidayah. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah ridha terhadap seorang hamba apabila ia makan makanan ia memuji-Nya atas nikmat makanan itu, atau ia minum minuman ia memuji-Nya atas nikmat minuman itu” (HR Muslim).

Baca juga:  Kontribusi Ulama Turki dalam Penafsiran Al-Qur’an di Nusantara

Kedua, pengakuan akan rububiyah (ketuhanan) Allah. Dia yang berhak atas segala puji, Dia-lah Tuhan semesta alam, pemilik dan penguasanya. Ketiga, kepastian bahwa Allah adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kepastian ini menjadikan seorang Mukmin senantiasa berada dalam keadaan takut dan berharap. Kasih-sayang Allah yang ia rasakan menjadikannya takut akan murka dan azab-Nya, seraya berharap akan rahmat, pahala dan ridha-Nya.

Keempat, Allah Dia yang di Tangan-Nya kerajaan dunia, adalah Dia yang menguasai hari kiamat. Dunia kita di Tangan-Nya, akhirat kita di Tangan-Nya, maka janganlah kita menjadikan untuk-Nya sekutu atau pun tandingan.

Kelima, membangun solidaritas antar anggota jamaah kaum Mukmin dalam meniti jalan hidup yang telah digariskan-Nya, dalam membangun hubungan dengan-Nya, dalam menempuh jalan kebaikan dan keselamatan yang jauh dari kesesatan orang-orang yang keluar dari jalan lurus. Makna-mana ini tertuang dalam ayat إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (hanya kepada Engkau kami mengabdi dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan). Seperti terlihat, ayat ini menggunakan kata kami untuk menunjukkan solidaritas dan kebersamaan tersebut. Bahu-membahu dalam mengenal Tuhan, dalam meyakini kekuasaan-Nya, dalam merasakan kasih-sayang-Nya, dalam menyerahkan segenap pengabdian hanya kepada-Nya, dan dalam menyadari bahwa segala pertolongan serta taufik hanya berasal dari-Nya. (RM)

 

Bersambung

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top