Kecuali syahadat, dalam literatur-literatur klasik rukun Islam selalu dibahas dengan pendekatan fikih. Salat misalnya, dibahas definisinya, waktu, syarat, rukun, jumlah rakaat dan semacamnya yang kesemuanya bersifat formalistik. Pun demikian pembahasan tentang zakat, puasa dan haji. Memang demikian watak fikih; ritual-formalistik.
Tidak ada yang salah dengan fikih dan ilmunya. Yang keliru kemudian jika umat Islam hanya mengorientasikan hidupnya pada fikih. Tapi nampaknya itulah yang terjadi pada kebanyakan umat Islam dewasa ini. Bagi mereka fikih adalah panglima. Keberagamaan atau keberislaman seseorang selalu mereka pandang lewat kaca mata fikih; selalu mereka nilai dengan tolok ukur fikih yang ritulistik-formalistik itu. Maka keberagamaan mereka pun selalu bernuansa fikih dan wawasan keagamaannya berwatak fikih. Fikih adalah segala-galanya.
Meminjam istilah yang dipakai Fahmi Howeidi, pemahaman keagamaan sebagian besar umat Islam yang hanya berorientasi pada fikih merupakan al-fahm al-manqûsh (pemahaman yang tereduksi) terhadap agama, dan sikap serta perilaku keberagamaan yang hanya tertuju pada fikih merupakan al-tadayyun al-manqûsh (keberagamaan yang tereduksi). Menurut Fahmi, pemahaman yang tereduksi terhadap agama merupakan hasil logis dari pendidikan Islam yang bopeng. Sejak dini ladang nalar kita telah ditanami benih-benih pemahaman yang akhirat oriented atau menarik-diri dari gelanggang dunia demi akhirat.
Dinding pemisah antara agama dan dunia berdiri tegak, baik di ranah akal-nalar maupun pada wilayah wacana Islam secara umum. Terkikisnya peradaban Islam dalam ranah nalar menyebabkan terkikisnya peran agama dalam kehidupan amaliah. Maka banyak aspek sosial dari kehidupan kita tidak lagi menjadi perhatian agama. Agama menjadi sangat kerdil dan hanya menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah, atau hanya menjadi pengisi salah satu acara televisi. Kebanyakan guru agama hanya fasih bicara soal-soal akidah dan ibadah dalam pengertian tata cara yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya. Sedang hubungan hamba dengan sesama dan masyarakatnya luput dari agenda kerja mereka.
Penguasaan materi akidah dan ibadah penting dengan tiga syarat: Dipahami dengan benar, diajarkan kepada orang-orang dengan tujuan menjadikan kualitas hidup mereka lebih baik, dan tidak mengorbankan atau mengabaikan aspek muamalat. Keterfokusan pada aspek akidah dan ibadah mempersempit wilayah interaksi dengan urusan-urusan dunia. Pengertian mungkar, dosa dan maksiat kemudian terbatas hanya pada wilayah akidah dan ibadah. Maka ketika hak-hak dasar manusia dilanggar, tatkala harta kaum papa dirampok, saat masyarakat diliputi budaya malas, topang-dagu dan konsumtif, tidak terdengar suara lantang bahwa itu semua merupakan kemungkaran, dosa dan kemaksiatan.
Hingga di sini satu pertanyaan patut diajukan: Apakah garis pembatas antara hak-hak Allah dan hak-hak manusia itu benar-benar ada, atau hanya bikinan kita belaka? Beberapa poin berikut dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, dalam lebih dari 200 ayat al-Qur’an tidak menyebut langit kecuali dikaitkan langsung dengan bumi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa langit (simbol akhirat dan hak-hak Allah) dan bumi (lambang dunia dan hak-hak hamba) merupakan dua sisi untuk satu hakikat yang sama, bukan dua dunia yang terpisah dan tak saling berhubungan. Kedua, tauhid mencakup ajaran dan perbuatan; iman selalu bergandengan dengan amal saleh. Amal merupakan implementasi iman. Iman tidak hanya mengarah ke langit. Ia adalah jalan yang memiliki dua arah; menjulang ke langit tapi buahnya harus nampak di bumi. Bahkan bersentuhannya iman dengan bumi merupakan syarat bagi sampainya ia ke langit, dan syarat bagi kesempurnaan iman itu sendiri. Kata Nabi Saw.: “Bukanlah iman dengan angan-angan, tetapi apa yang terpateri dalam hati dan dibuktikan dengan amal-perbuatan.”
Ketiga, sikap Islam tentang hubungan dunia dan akhirat merupakan sikap yang mendorong kaum Muslim untuk selalu memadukan keduanya, tidak berpihak kepada salah satunya dengan mengorbankan yang lain.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari dunia (QS al-Qashash/28: 77).
Dalam sebuah hadits dikatakan: “Yang terbaik dari kalian bukan yang meninggalkan dunia demi akhirat, bukan pula yang menginggalkan akhirat untuk dunia. Tetapi yang terbaik dari kalian adalah yang mengambil dari ini (dunia) dan ini (akhirat).”
Keempat, dalam pandangan al-Qur’an manusia adalah makhluk bumi. Akan tetapi, berdasarkan penciptaan dan tugasnya, ia terhubung dengan langit. Sementara dalam jiwanya terdapat tiupan ruh Tuhan dan secercah cahaya-Nya, pada saat yang sama ia adalah khalifah-Nya di bumi. Kelima, tercapainya kemaslahatan hamba merupakan tujuan syariat. Ada atau tidak adanya syariat tergantung pada ada atau tidak adanya kemaslahatan hamba.
Dari lima kenyataan ini kita dapat menjawab pertanyaan di atas. Sesungguhnya tidak ada garis pembatas antara hak-hak hamba dan hak-hak Allah. Maka ketika al-Qur’an menyebut harta Allah (QS al-Nûr/24: 33) misalnya, itu tak lain berarti harta milik umum. Atau ketika menyatakan hukum hanya milik Allah (QS al-An’âm/6: 57), itu artinya adalah hukum milik rakyat atau kedaulatan rakyat.
Pernyataan al-Qur’an bahwa harta adalah harta Allah merupakan pernyataan yang amat dalam maknanya. Pernyataan ini menegaskan bahwa setiap pelanggaran atas harta dihukumi sebagai tindak kriminal. Ia juga mengutuk setiap upaya memonopoli harta kaum Muslim. Ketika Mu’awiyah menghambur-hambur harta dari Bayt al-Mâl dengan dalih bahwa harta itu milik Allah sedang ia berkuasa untuk membelanjakannya sebab dirinya khalifah kaum Muslim, sahabat mulia Abu Dzarr al-Ghifarî menentangnya seraya mengingatkan bahwa harta Allah adalah harta seluruh kaum Muslim. Siapa pun tidak boleh mempergunakannya kecuali dalam hal yang mendatangkan kemaslahatan kaum Muslim dan atas persetujuan mereka.
Sementara itu pernyataan al-Qur`an bahwa hukum hanya milik Allah, meski tujuannya adalah menegakkan hukum syariat, akan tetapi caranya harus melalui mekanisme syûrâ yang merupakan salah satu tuntutan iman: “Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka (QS al-Syûrâ/42: 38).
Berikut dialog antara Allah dengan seseorang kelak di hari kiamat. Dialog mana menggambarkan dan menegaskan betapa hak Allah tidak dapat dipisahkan dengan hak hamba:
Allah berfirman: “Wahai anak Adam, Aku sakit. Mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?”
Anak Adam bertanya: “Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu sedang Engkau Tuhan semesta alam?”
Allah berfirman: “Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, si Fulan, sakit. Mengapa kamu tidak menjenguknya?” Tidak tahukah kamu bahwa jika kamu menjenguknya niscaya kamu akan menemukan (pahala)-Ku padanya?”
“Wahai anak Adam, Aku memintamu makan. Mengapa kamu tidak memberi-Ku makan?” tanya Allah.
Anak Adam berkata: “Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu makan sedang Engkau Tuhan semesta alam?”
Allah berfirman: ” Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, si Fulan, memintamu makan. Mengapa kamu tidak memberinya makan? Tidak tahukah kamu bahwa jika kamu memberinya makan pasti kamu akan menemukan (pahala)-nya di sisi-Ku.”
Allah bertanya lagi: “Wahai anak Adam, Aku memintamu minum. Mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?”
Anak Adam berkata: “Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu minum sedang Engkau Tuhan semesta alam?”
Allah berfirman: “Hamba-Ku, Fulan, memintamu minum dan kamu tidak memberinya minum. Tidak tahukah kamu bahwa jika kamu memberinya minum pasti kamu akan menemukan (pahala)-nya di sisi-Ku?” (HR. Muslim).
Menjenguk orang sakit, memberi makan orang lapar dan memberi minum orang haus seperti yang disebutkan hadits di atas hanya sedikit contoh dari tanggung jawab seorang Muslim terhadap sesamanya. Di luar itu masih banyak tanggung jawab dan tugas sosial lainnya.
Islam tidak menghendaki umatnya taat secara ritual saja, tapi juga harus saleh secara sosial. Inilah pelajaran penting dari hadits di atas. (RM)