Abad Badruzaman
Penulis Kolom

Wakil Rektor III UIN SATU Tulungagung. Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Penulis Buku-buku Keislaman.

Nabi dan Perang

Dalam hitungan hari, usia kenabian Nabi Saw. kita bulatkan di angka 8000 (delapan ribu) hari. Dari jumlah itu, berapa hari total beliau berperang? Pertanyaan ini dirasa perlu, sebab bukan tidak mungkin ada yang menduga sirah (biografi) Nabi sarat dengan peperangan.

Hasil hitungan para peneliti, jumlah total Nabi berperang adalah 800 (delapan ratus) hari. Tapi ada juga yang bilang tidak sebanyak itu. Cuma 80 (delapan puluh) hari saja. Keduanya benar sebab masing-masing menggunakan sasaran-hitung yang berbeda.

Yang mengatakan 800 hari memasukkan seluruh hari-hari persiapan perang dan juga ekspedisi (sariyah) yang tak berujung pada perang. Sedang yang bilang cuma 80 hari, tidak memasukkan itu. Hanya menghitung hari di mana Nabi benar-benar terjun berperang.

Mana pun yang kita hitung, mari berhitung tentang hari-hari di mana Nabi tidak berperang yang jumlahnya jauh berlipat lebih banyak.

Ambil yang 800. Maka masa kenabian beliau tanpa perang adalah 7200 (tujuh ribu dua ratus) hari. Artinya, 90% masa kenabian dijalani tanpa perang. Ambil yang 80. Maka masa kenabian beliau tanpa perang adalah 7920 (tujuh ribu sembilan ratus dua puluh) hari. Artinya, bahkan 99% masa kenabian beliau adalah tanpa perang.

Artinya: Pertama, perang adalah kenyataan historis dalam sirah Nabi. Tidak mungkin ditutupi. Ia merupakan bagian dari perjuangan beliau menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua perang itu terjadi pada fase pasca-hijrah. Semua tunduk pada kaidah dan kisi-kisi yang telah ditetapkan Quran. Bukan tempatnya di sini untuk membeberkan hal tersebut.

Baca juga:  Tradisi Panjang Maulid Nabi di Banten

Kedua, meski perang merupakan bagian dari sirah, seperti terlihat pada angka-angka di atas, prosentasinya terhadap masa kenabian hanya berkisar di angka 1-10% saja. Prosentasi terbesar dijalani Nabi dengan penegakkan dakwah tanpa perang.

Ketiga, perang yang dijalani Nabi harus diletakkan dalam frame misi luhur Islam yakni rahmatan lil ‘alamin dan predikat Muhammad SAW sebagai nabiyurrohmah. Maknanya, perang itu terselenggara bukan atas dorongan nafsu menghabisi lawan melainkan demi tegaknya panji-panji kebenaran dan keadilan. Tidak perlu dijelaskan di sini bahwa tidak semua perang yang dijalani Nabi berujung kemenangan. Dalam hal ini berlaku pula sunnatullah dan bahwa Dia tidak ingin melihat para pejuang-Nya manja saat mereka merasa Dia membersamai mereka, atau angkuh saat mereka melihat kekuatan mereka unggul atas lawan.

Keempat, perang-perang di zaman Nabi, seperti telah tersinggung, melulu untuk membasmi kezaliman saat mana jalan perang tak bisa dielakkan. Jika ada orang Yahudi yang terperangi, bukan keyahudiannya yang hendak ditumpas, melainkan kezalimannya. Rumah-rumah ibadah termasuk objek yang dilarang dirusak dalam perang. Kisah seorang Yahudi (Mukhairiq) yang ikut membantu pasukan Muslim dalam perang Uhud, bahkan gugur dalam perang ini, menunjukkan bahwa bukan “agama” yang meletuskan perang, tapi soal keadilan dan kemanusiaan.

Baca juga:  Menyelisik Alquran Litografi Pertama di Dunia Asal Palembang

Kelima, saat ini pun kita perlu perang dalam bentuk lain. Perang memberantas kebodohan, menumpas kezaliman, mengenyahkan kesenjangan sosial, mengentaskan kemiskinan, menggempur korupsi, memperjuangkan kesetaraan, dan deretan “jihad” lainnya.

Keenam, Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top