Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah menyebutkan orang-orang yang pertama masuk Islam dari kalangan perempuan. Mereka antara lain Asma` dan Aisyah yang masih kecil. Sebagaimana kita tahu Nabi Saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi selama empat tahun. Nah, Asma` dan Aisyah telah masuk Islam pada masa-masa dakwah tersembunyi tersebut dan mereka mengikutinya selama 3 tahun.
Riwayat ini menunjukkan bahwa Aisyah sudah masuk Islam sebelum Nabi Saw. secara terang-terangan mengumumkan dakwahnya tahun keempat kenabian, atau bertepatan dengan tahun 614 M. Itu artinya, Aisyah telah memeluk Islam paling kurang pada tahun 3 kenabian atau tahun 613 M. Jika Aisyah lahir pada tahun 4 kenabian seperti riwayat al-Bukhari, maka ia belum lahir ketika Nabi Saw. mengumumkan dakwahnya secara terang-terangan di tahun 4 kenabian.
Meskipun sudah lahir, pastilah masih menyusu (bayi), dan ini bertentangan dengan semua keterangan yang ada. Dengan penelusuran historis seperti ini dapat ditarik perhitungan yang benar tentang kapan Aisyah lahir. Yaitu 4 tahun sebelum kenabian atau tahun 606 M. Dengan demikian usianya ketika Nabi Saw. mengumumkan dakwahnya secara terang-terangan tahun 614 M sekitar 8 tahun. Inilah kronologis waktu yang logis untuk usia Aisyah yang bertentangan dengan riwayat al-Bukhari.
Al-Bukhari sendiri membuat bab tersendiri berjudul Jawar Abi Bakr fi ‘Ahd al-Nabi. Di sana disebutkan bahwa Aisyah pernah berkata, “Aku tidak ingat tentang kedua orangtuaku sama sekali kecuali keduanya memeluk sebuah agama, tidak ada satu hari berlalu kecuali datang kepada kami Rasulullah Saw. padanya; pagi dan sore. Ketika umat Islam mengalami banyak sekali penindasan, Abu Bakar pergi hijrah ke Habasyah.”
Pertanyaannya, bagaimana bisa al-Bukhari meriwayatkan hal ini tentang Aisyah yang berkata bahwa ia tidak ingat tentang kedua orangtuanya selain bahwa mereka memeluk sebuah agama dan itu, seperti terbaca, sebelum hijrah ke Habasyah. Aisyah juga menceritakan bahwa Nabi Saw. selalu datang ke rumah mereka tiap hari. Ini menunjukkan bahwa Aisyah tahu (ingat) tentang kunjungan Nabi Saw.
Satu hal pasti, hijrah ke Habasyah terjadi tahun 5 dari kenabian atau tahun 615 M. Nah, jika kita membenarkan riwayat al-Bukhari bahwa Aisyah lahir tahun ke-4 dari kenabian (614 M), ini artinya ia masih menyusu (bayi) saat kaum Muslim hijrah ke Habasyah. Di usia sedini itu, apa yang bisa diingat oleh Aisyah? Jadi, berdasar penelusuran kronologis historis, usia Aisyah yang logis saat kaum Muslim hijrah ke Habasyah adalah 9 tahun: Ia lahir 4 tahun sebelum kenabian, dan hijrah ke Habasyah tahun 5 dari kenabian (4+5=9).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad Aisyah, “Ketika Khadijah meninggal, Khaulah bint Hakim istri ‘Utsman bin Mazh’un mendatangai Nabi Saw. dan berkata, ‘Ya Rasulullah apakah engkau tidak menikah (lagi)?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Dengan siapa?’ Khaulah berkata, ‘Jika engkau mau, bisa dengan gadis, bisa juga dengan janda.’ Nabi berkata, ‘(Jika dengan gadis) siapa gadis itu?’ Khaulah berkata, ‘Makhluk Allah paling engkau cintai, Aisyah puteri Abu Bakar.’”
Dari kata-kata Khaulah ini jelas bahwa ia menawarkan gadis dan janda kepada Nabi Saw. Pertanyaannya, apakah wanita-wanita yang ditawarkan Khaulah kepada Nabi Saw. itu dalam keadaan siap-nikah, ataukah salah satu dari mereka masih kanak-kanak di mana Nabi Saw. harus menunggunya sampai balig? Yang dapat ditangkap dari kata-kata Khaulah ini, ia menawarkan wanita-wanita itu dalam keadaan siap-nikah. Ini dapat dicerna dari kata-kata, “Jika engkau mau, bisa dengan gadis, bisa juga dengan janda.”
Tidak masuk akal jika Aisyah waktu itu seorang anak kecil berusia 6 tahun lalu Khaulah menawarkannya kepada Nabi Saw. untuk dinikahi dan menyebutnya sebagai seorang gadis. Adakah anak usia 6 tahun disebut gadis?
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Khaulah bint Hakim hadis panjang tentang khitbah Rasulullah Saw. kepada Aisyah. Poin penting dari hadis itu adalah ini: Ummu Ruman berkata, “Sesungguhnya Muth’im bin ‘Adi telah menceritakan Aisyah kepada anaknya, dan demi Allah Abu Bakar tidak pernah sama sekali mengingkari janji.”
Jalan ceritanya begini: Muth’im bin ‘Adi (seorang kafir) pernah mengkhitbah Aisyah untuk anaknya, Jabir bin Muth’im. Itu terjadi sebelum Nabi Saw. mengkhitbah Aisyah. Abu Bakar ingin memenuhi janjinya (menikahkan Aisyah dengan Jabir bin Muth’im), lalu ia pergi menemui Muth’im.
Muth’im berkata kepadanya, “Mudah-mudahan jika aku menikahkan anakku dengan Aisyah, ia (anakku) akan beriman kepada agamamu.” Di sini kita berhenti pada beberapa kesimpulan penting, yaitu: tidak mungkin Aisyah dikhitbah sebelum usia 6 tahun oleh pemuda dewasa, yaitu Jabir. Jabir ikut memerangi kaum Muslim pada perang Badar dan Uhud. Mustahil juga Abu Bakar mengkhitbahkan putrinya kepada seorang musyrik yang suka menyakiti kaum Muslim di Mekkah. Ini menunjukkan bahwa khitbah itu merupakan bentuk pemenuhan janji Abu Bakar kepada Muth’im, dan itu terjadi sebelum Muhammad Saw. diangkat menjadi nabi. Hal ini menunjukkan dengan pasti bahwa Aisyah lahir sebelum Nabi Saw. diangkat jadi nabi.
Al-Bukhari dalam Bab Firman-Nya, “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit” (QS al-Qamar/54: 46), meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, “Telah diturunkan kepada Muhammad di Mekkah ketika aku masih kanak-kanak (jariyah) dan suka bermain ayat ini: “Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.”
Seperti diketahui tanpa ada perbedaan pendapat bahwa surah al-Qamar turun setelah 4 tahun dari permulaan wahyu atau bertepatan tahun 614 M. Jika kita mempercayai riwayat al-Bukhari (yang mengatakan bahwa Aisyah lahir tahun ke-4 dari kenabian), maka ketika surah al-Qamar turun Aisyah mungkin belum dilahirkan atau masih sangat kecil dan baru dilahirkan. Persoalannya, dalam riwayat yang ini, Aisyah mengatakan bahwa ketika surah al-Qamar turun ia adalah seorang anak-anak yang suka bermain. Jadi bagaimana bisa ia belum lahir?
Dengan demikian, seperti telah berulang dikatakan, perhitungan yang logis berdasar kronologis historis, Aisyah lahir 4 tahun sebelum kenabian Nabi Saw., sehingga usianya saat surat al-Qamar turun adalah 8 tahun. Usia ini cocok dengan pengakuan Aisyah sendiri yang mengatakan bahwa dirinya saat itu seorang jariyah al’ab (anak kecil yang suka bermain).
Al-Bukhari membuat Bab berjudul “La yunkihu al-abb wa ghairuh al-bikr wa al-tsaib illa biridhaha (seorang ayah atau lainnya tidak boleh menikahkan anak gadis dan janda kecuali atas ridhanya).”
Rasulullah Saw. bersabda, “Gadis tidak boleh dinikahkan sampai ia dimintai izinnya.”
Mereka (para sahabat) bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?”
Beliau menjawab, “(Izinnya adalah) dia diam.”
Pertanyaannya, bagaimana bisa Rasul yang mulia mengatakan hal ini sementara beliau melakukan hal sebaliknya.
Dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhari tentang usia Umm al-Mu’minin Aisyah ketika dinikahi Nabi Saw. disebutkan bahwa Aisyah berkata, “Waktu itu aku bermain dengan anak-anak perempuan lainnya.”
Tidak ada seorang pun meminta izinnya untuk menikah dengan Nabi Saw. Ya, memang bagaimana meminta izinnya, sedang ia seorang bocah yang masih sangat kecil yang bahkan belum paham arti nikah. Sekiranya pun ia dimintai izin, maka izinnya itu tidak punya efek hukum karena ia saat itu bahkan belum mukallaf; belum balig, belum pula sempurna akal. Jadi, bagaimana bisa Nabi Saw. mengatakan bahwa seorang gadis harus dimintai izinnya kalau akan dinikahi, sementara beliau sendiri menikahi seorang bocah kecil yang bahkan belum balig dan tidak mungkin dimintai izinnya?