Pembahasan tentang salat jamaah tidak dapat dilepaskan dengan pembahasan tentang masjid. Dengan dilaksanakannya salat jamaah di masjid lima kali sehari, masjid kemudian memiliki kedudukan yang penting dalam Islam dan dalam kehidupan kaum Muslim. Bagi kaum Muslim, masjid bukan tempat khusus bagi para rahib, bukan pojok tersendiri bagi para pemalas, bukan pula tempat tersendiri bagi kaum santri. Tidak ada lembaga kerahiban dalam Islam. Kepada Abû Dzar Rasulullah Saw. bersabda: “Hendaklah kamu berjihad sesugguhnya jihad merupakan kerahiban bagi umatku” (HR. Riwayat Ibn Hibân dan al-Hâkim).
Suatu hari ‘Umar bin al-Khaththâb menemukan sekelompok orang berdiam diri di masjid selepas salat Jumat dengan dalih bertawakal kepada Allah. Melihat itu ’Umar kemudian mengusir mereka dengan tongkatnya seraya berkata:
Janganlah seseorang dari kalian duduk-duduk tidak mencari rezki lalu berkata, “Ya Allah beri aku rezki,” padahal ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas juga perak. Sesungguhnya Allah berfirman: “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. al-Jumu’ah/62: 10).
Di masa dini Islam, masjid tidak lain dari: Pertama, jâmi’ah sya’biyah (lembaga pendidikan rakyat) di mana mereka dididik dan dibina; Kedua, barlamân mahalî (parlemen lokal) di mana mereka bermusyawarah dan bertukar pemahaman; Ketiga, majma’ (tempat berkumpul) di mana mereka saling mengenal dan saling mengasihi; dan keempat, merupakan ma’had (lembaga penggemblengan) di mana mereka mendapatkan pendidikan dasar praksis.
Sebagai jâmi’ah sya’biyah, masjid dengan keluasanya menampung siapa saja, siang dan malam, setiap musim. Ia menerima murid mulai dari anak kecil hingga orang tua. Tidak mensyaratkan berkas-berkas pendaftaran, tidak memungut biaya, tidak menerapkan aturan-aturan yang membelengu atau menghalangi lancarnya proses belajar. Lingkar-lingkar studi yang diselenggarakan di masjid tidak terbatas ilmu-ilmu agama murni saja. Melainkan mencakup semua ilmu yang dapat dicapai oleh nalar Islam. Dalam Islam, ilmu berhubungan langsung dengan ibadah. Tidak heran jika kemudian lembaga-lembaga pendidikan (jâmi’ât) berada di bawah atap masjid-masjid (jamâmi’). Di bawah jâmî’ al-Azhar (masjid al-Azhar) kemudian lahir Jâmi’ah al-Azhar (Universitas al-Azhar) di Mesir, di bawah jâmi al-Qarawiyîn (masjid al-Qarawiyîn) lahir jâmi’ah al-Qarawiyîn (Universitas al-Qarawiyîn) di Maroko, dan di bawah jâmi al-Zaytûnah (masjid al-Zaytûnah) lahir jâmi’ah al-Zaytûnah (Universitas al-Zaytûnah) di Tunisia.
Sebagai ”parlemen rakyat”, masjid dipenuhi oleh para wakil. Mereka adalah:
Orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah (QS. al-Tawbah/9: 112).
Dulu, di masa dini Islam, masjid adalah parlemen di mana seorang pemimpin negara membeberkan kebijakannya dan menujukkan pola kerja yang akan ditempuhnya, sementara rakyat merespon dan mendiskusikannya tanpa ada kekangan dan ketakutan. Pernahkah kita mendengar pidato politik yang singkat redaksi namun padat arti dari seorang kepala negara seperti pidato yang disampaikan Abû Bakar pada hari ketika beliau memangku jabatan khalifah. Ia berkata:
Wahai manusia…sesungguhnya aku menjadi pemimpin atas kalian dan bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihatku berada di atas kebenaran maka bantulah aku, dan jika kalian melihatku berada di atas kebatilan maka luruskanlah aku! Ketahuilah, sesungguhnya yang paling kuat di antara kalian bagiku adalah lemah sampai aku mengambil hak untuknya, dan yang paling lemah di antara kalian bagiku adalah kuat sampai aku mengambil hak darinya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah di tengah-tengah kalian. Jika aku mendurhakai-Nya maka tidak ada ketaatan bagiku atas kalian. Demikian kata-kataku ini dan aku memohon ampunan kepada Allah bagiku dan bagi kalian.
Sebagai majma’, dulu masjid mampu menjadi sarana untuk saling mengenal tidak saling membuang muka, saling mendekat tidak saling menjauh, saling mengasihi tidak saling membenci dan saling memaafkan tidak saling memendam kecewa.
Kaum salaf (para pendahulu di masa awal Islam) dari umat ini tahu betul arti penting masjid sebagai majma’. Mereka pun biasa melangsungkan akan nikah di masjid sebagai upaya pengejawantahan hadis yang berbunyi: “Umumkanlah pernikahan ini dan jadikanlah ia di masjid-masjid, dan tabuhlah untuknya rebana” (HR. Tirmidzî).
Dalam hal ini, kalau saja kaum Mulim sekarang mengikuti jejak para pendahulu mereka tentu mereka tidak akan menghambur-hamburkan banyak uang dalam pesta-pesta tak bermakna demi sebuah gengsi, popularitas dan kompetisi hampa arti.
Rasulullah Saw. tahu betul akan pentingnya masjid dalam kehidupan Islam. Maka proyek pertama yang beliau pikirkan selama masa persinggahannya yang singkat di Banî Salîm bin ’Awf dalam perjalanannya ke Madinah adalah membangun masjid Qubâ’.
Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih (QS. al-Tawbah/9: 108).
Dan bangunan yang pertama kali beliau bangun setelah menetap di Madinah adalah masjid. Beliau mengerjakannya dengan tangan sendiri dan mengangkut batu-batunya sendiri, seraya berkata: “Ya Allah, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat. Maka ampunilah kaum Anshâr dan Muhâjirîn.”
Masjid Nabi ini merupakan lembaga pendidikan Islam pertama sekaligus pusat pemerintahan Islam. Lembaga pendidikan ini selalu membuka pintu-pintunya bagi semua bangsa; Arab dan Non-Arab, semua warna kulit; putih dan hitam; aneka strata; kaya dan miskin; dan segala usia; orang tua, kaum muda dan anak-anak. Ia senantiasa melapangkan dadanya bagi kaum perempuan yang menghadiri jama’ah dan ikut dalam kelompok kajian ilmu; pada saat di mana kaum perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak memiliki hak dalam ilmu dan dalam bermitra dengan kaum laki-laki pada kehidupan publik.
Masjid Nabi mengajarkan ilmu dan amal, menyucikan ruhani dan jasmani, menunjukkan tujuan dan cara mencapainya, menerangkan hak dan kewajiban, mendahulukan pendidikan sebelum pengajaran, praktek sebelum teori, menghaluskan jiwa sebelum menajamkan nalar. Tidak heran jika kemudian lembaga pendidikan ini melahirkan para pemimpin seperti Abû Bakar, ’Umar dan ’Alî; para panglima semacam Abû ’Ubaydah, Khâlid dan ’Amr; para ahli qira’at seperti Ibn Mas’ûd dan Ubay bin Ka’ab; para ilmuan seperti Zayd bin Tsâbit dan Ibn ’Abbâs; dan perempuan-perempuan unggul seperti Fâthimah, ’Â’isyah, Hafshah, Ummu ’Ammarah dan Ummu Salîm.
Masjid Nabi merupakan lembaga pendidikan dakwah sekaligus pusat pemerintahan. Di dalamnya Nabi Saw. menumbuhkan semangat kerja bagi si pemalas, memberi ilmu kepada si jahil, mengulurkan bantuan kepada si miskin, meluruskan masalah-masalah sosial, menyebarkan berita yang diperlukan umat, bertemu dengan para delegasi negara-negara sekitar, menyiapkan para prajurit dalam keadaan perang, dan mengirim para pendakwah dan duta dalam keadaan damai. Begitulah masjid di zaman Nabi Saw. Demikian pula di masa sahabat dan tabiin.
Jika saja salat yang kita laksanakan sanggup melahirkan kesalehan-kesalehan seperti yang sudah diterangkan di atas. Andai saja masjid yang kita bangun mampu menjalankan risalahnya seperti yang baru saja dipaparkan. Maka orang yang sadar tidak akan mengatakan salat hanyalah olah ruhani yang jauh dari kehidupan nyata, atau tak lebih dari amal pasif yang tidak dapat mengarahkan hidup dan meningkatkan kualitasnya. (RM)