Bagaimana para agen pemelintir kebencian ini bergerak dalam lanskap politik Indonesia pasca-reformasi? Jawaban ini membutuhkan penjelasan yang tidak sedikit. Ada beragam kasus intoleransi yang terjadi setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Meski begitu, saya akan meringkas berbagai peristiwa tersebut, untuk nantinya akan kita refleksikan secara bersama.
Kita mafhum, bahwa saat Gus Dur menjadi presiden pertama yang dipilih secara demokratis, ia adalah orang yang paling sering menentang tindakan intoleransi. Upaya menentang tindakan intoleransi itu, misalnya, tercermin dari langkahnya yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China; sebuah aturan yang awalnya diterbitkan rezim Orde Baru.
Pada 17 Januari 2020, Gus Dur mencabut Inpres tersebut. Gus Dur termasuk salah satu orang yang paling tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif, termasuk pada etnis Tionghoa. Berbeda dengan rezim Orde Baru. Melalui Inpres tersebut, Soeharto memerintahkan agar perayaan hari raya agama atau adat istiadat etnis Tionghoa, dilakukan dalam lingkungan keluarga, dan tidak boleh mencolok di depan umum.
Gus Dur sadar betul, bahwa aturan yang diskriminatif itu bertentangan dengan semangat Pancasila. Oleh karenanya, ia memandang, bahwa pencabutan Inpres tersebut adalah sebuah upaya untuk mewujudkan persamaan hak dan kesempatan yang sama, bagi setiap warga negara Indonesia. Meski hal ini tidak lepas dari penolakan, Gus Dur tetap berpegang teguh dengan prinsipnya: pengakuan dan pemberian kesempatan yang sama kepada semua pihak, adalah hal yang penting. Ringkasnya, ia tidak mau “mengistimewakan” salah satu pihak atau golongan.
Selain itu, Gus Dur juga berupaya mewujudkan wajah Islam yang terbuka dan toleran terhadap sesama warga negara Indonesia. Hal itu tercermin, ketika ia menentang RUU Anti-Pornografi dan Anti-Pornoaksi (APP). Dengan karakternya yang khas, yakni berkelakar, terlebih ketika mengomentari kekeliruan anggota Dewan, Gus Dur berseloroh, bahwa dengan acuan yang digunakan para perumus RUU itu, Al-Qur’an pun boleh jadi akan dilarang (George, 2017: 171).
Di kesempatan yang lain pun, Gus Dur pun mengatakan bahwa “Saya setuju dengan penolakan pornografi, tapi tanpa UU, karena UU memang hak negara, tapi pornografi itu urusan masyarakat”, katanya ketika memberikan orasi dalam Pawai Kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika di Surabaya, yang diikuti oleh 200 tokoh adat dan seniman dari 33 provinsi se-Indonesia (Antaranews.com, 2006).
Ia menegaskan, bahwa saat itu memang ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan kebhinekaan, yang dengan cara menganjurkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut, untuk disahkan dan diberlakukan di Indonesia. “Kelompok itu lupa dengan kenyataan bahwa UUD 1945 telah memisahkan dengan jelas, antara urusan negara dan urusan agama, karena itu di Indonesia tidak boleh ada budaya tunggal di dalam negara,” tambahnya.
Setelah Gus Dur meninggal pada 2009, yang di mana perlu diakui, bahwa kebijakan di bidang keagamaannya belum sepenuhnya maksimal. Terlebih upayanya untuk menjalankan kebhinekaan di Indonesia. Ternyata, Presiden sesudah Gus Dur pun, Megawati Soekarnoputri, belum mampu untuk menyelesaikan urusan tersebut.
Sofyan Hadi dalam Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagaman di Indonesia (2011: 239), mengatakan bahwa mereka (salah satunya, Megawati) belum begitu mampu memperlihatkan kemampuannya untuk menyelesaikan konflik hubungan lintas agama. Dalam rentang waktu itu, relasi Muslim dan Kristen secara umum, berlangsung dalam keadaan yang tidak harmonis. Sedangkan antar umat beragama di luar kedua komunitas tersebut, berlangsung relatif baik dan tidak ada persoalan-persoalan krusial yang sangat mengganjal.
Jalan terjal untuk melaksanakan kebhinekaan di Indonesia juga muncul pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). George mencatat, bahwa pemerintahan SBY pada saat itu pernah menghidupkan kembali Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakor Pakem), yang semula adalah ciptaan Soeharto. Badan ini sangat menonjol dalam keterlibatan kasus-kasus keagamaan yang biasa dialami Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Kehadiran Bakor Pakem, menurut catatan George, dimungkinkan sebagai respon terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 tentang Ahmadiyah. Kembali hidupnya badan tersebut, memberi MUI mitra permanen di dalam pemerintah untuk menekan kelompok-kelompok yang secara keagamaan, bersebrangan dengan arus utama. Padahal, fatwa-fatwa yang dikeluarkan pada saat itu, khususnya yang menolak kehadiran Ahmadiyah, bagi Komnas HAM, tergolong sebagai ujaran kebencian.
Menurut Koordinator Riset HAM Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, kehadiran badan tersebut juga sering kali terlalu ikut campur dalam urusan beragama. Dan ini, menurutnya bisa mengancam kebebasan beragama. Ia menegaskan, bahwa akan lebih baik, kalau badan ini, dibubarkan saja. “Pemerintah tidak berhasil menjembatani antara kelompok Ahmadiyah dan yang anti. Untuk itu, kita mendorong agar Bakor Pakem dibubarkan,” katanya (Detik.com, 2008).
Kelompok konservatif yang mendapatkan kelonggaran untuk menekan kelompok minoritas setelah tumbangnya Soeharto pun, menjadi persoalan yang pelik dalam perpolitikan Indonesia pasca-reformasi. Kelompok minoritas yang sering ditekan oleh kelompok yang mengaku mayoritas, ialah Ahmadiyah dan Syiah. Front Pembela Islam (FPI) adalah kelompok yang sering menekan kehadiran dua kelompok minoritas tersebut. Mereka kerap beretorika, bahwa kehadiran dua kelompok tersebut, merupakan ancaman dari dalam bagi umat Islam. Mereka menjadikan dua kelompok tersebut sebagai kambing hitam, untuk menciptakan masyarakat yang murni dan satu.
Seperti yang dikatakan Peneliti Retorika Politik, McCoy, bahwa “kelompok minoritas menempati fungsi fantasi bagi kalangan absolutis yang menginginkan masyarakat yang murni dan satu. Kohesi tersebut merupakan ilusi yang sulit diwujudkan, terutama di negara yang sangat luas dan beragam seperti di Indonesia. Karena itu, kaum intoleran memerlukan kambing hitam untuk setiap kegagalan dalam mewujudkan masyarakat yang murni. Paradoksnya, pengambinghitaman kelompok penyimpang adalah cara yang efektif untuk terus menyebarkan khalayan bahwa masyarakat yang satu itu kelak terwujud (George, 2017: 170).”
Berbagai peristiwa intoleransi di atas, menjadi hal perlu kita refleksikan, ketika melihat konflik keagamaan hari ini. Bahwa pelintiran kebencian merugikan kelompok minoritas, tetapi ia menguntungkan para wirausahawan politik. Politik identitas juga sering kali menjadi materi pokok, yang diformulasikan dengan pelintiran kebencian. Substansi dari politik identitas, entah suku, agama, ras dan sejenis, adalah hal yang mudah “dikobarkan” menjadi sebuah provokasi oleh para agen pemelintir kebencian.
Seperti yang dikatakan Geger Riyanto dalam Identitas Adalah Pembalasan, Politisasinya Adalah Dampak Kezaliman: Ekspetasi Moral, Relasi Antagonistis Terbayang, dan Politik Identitas (2020), bahwa “ketika tidak ada lagi otoritas terpusat [rezim Orde Baru] yang diuntungkan dengan diredamnya politik identitas, wajar tampaknya ekspresi-ekspresinya, yang menggugah, memikat, dan memprovokasi, menjadi pilihan retorika para politisi maupun broker massa (Riyanto, 2020: 115).”
Kepustakaan
Akmal, Ramayda. 2020. “Slavoj Žižek, Bahasa, dan Kekerasan” dalam “Gerak Kuasa: Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media”. Wening Udasmoro (ed). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Antaranews.com. Gus Dur Tolak Pornografi, Tapi Tanpa UU. 25 Juni 2006. https://www.antaranews.com/berita/36696/gus-dur-tolak-pornografi-tapi-tanpa-uu (diakses pada 22 Februari 2022).
BBC.com. Rakbar Khan: Did Cow Vigilantes Lynch a Muslim Farmer. 23 Februari 2019. https://www.bbc.com/news/stories-47321871 (diakses pada 15 Februari 2022).
Detik.com. Ancam Kebebasan Beragama, Bakor Pakem Dibubarkan Saja. 18 April 2008. https://news.detik.com/berita/d-925665/ancam-kebebasan-beragama-bakor-pakem-dibubarkan-saja (diakses pada 22 Februari 2022).
Election Commission of India. 2007. “Model Code of Conduct for The Guidance of Political Parties and Candidates”. New Delhi: Publication Division Election Commission of India.
George, Cherian. 2017. Pelintiran Kebencian: Rekayasa Ketersinggungan Agama dan Ancamannya Bagi Demokrasi. Penerjemah: Tim PUSAD Paramadina & IIS UGM. Jakarta: PUSAD Paramadina.
Hadi, Sofyan. “Relasi dan Reposisi Agama dan Negara: Tatapan Masa Depan Keberagaman di Indonesia” Jurnal Millah, Vol X No 2, Februari 2011, 227-248.
Heryanto, Ariel. 1989. “Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia”. Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi. Prisma No. 1 Tahun XVIII. LP3S: Jakarta.
Human Right Watch. Violent Cow Protection in India: Vigilante Group Attacks Minorities. 18 Februari 2019. Lihat: https://www.hrw.org/report/2019/02/18/violent-cow-protection-india/vigilante-groups-attack-minorities (diakses pada 15 Februari 2022).
Irfani, Faisal. Ketika Sapi Bikin Tegang Muslim dan Hindu di India. Tirto.id, 2019. https://tirto.id/ketika-sapi-bikin-tegang-muslim-dan-hindu-di-india-d9iV (diakses pada 15 Februari 2022).
Rafika. Umat Islam dari Berbagai Komunitas Jawa Timur Gelar Aksi Bela Nabi. Jawapos, 6 November 2020. https://www.jawapos.com/surabaya/06/11/2020/umat-islam-dari-berbagai-komunitas-jawa-timur-gelar-aksi-bela-nabi/ (diakses pada 22 Februari 2022).
Riyanto, Geger. 2020. ”Identitas Adalah Pembalasan, Politisasinya Adalah Dampak Kezaliman: Ekspetasi Moral, Relasi Antagonistis Terbayang, dan Politik Identitas” dalam “Kultur Hak Asasi Manusia di Negara Ileberal”. Robertus Robet & Todung Mulya Lubis (ed). Tanggerang: Marjin Kiri.
Wahid, Abdurrahman. 2016 (Cetakan ke-1). “Demokrasi Haruslah Diperjuangkan” dalam “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Yogyakarta: IRCiSoD.