Munculnya kekacauan dan kekerasan akibat pelintiran kebencian, merupakan hal yang diharapkan oleh para wirausahawan politik. Dengan begitu, mereka seolah-olah bisa menjelma sebagai “juru penyelamat” di masyarakat yang terpolarisasi. Mereka akan menggaungkan berbagai wacana yang “menakut-nakuti” masyarakat melalui bahasa. Konkritnya, tanpa kehadiran mereka, polarisasi dalam masyarakat tersebut akan semakin menegang.
Dalam salah satu bukunya yang berjudul Violence: Six Sideways Reflections (2008), Slavoj Žižek, seorang filsuf, sosiolog, dan kritikus budaya dari Slovenia, mengurai berbagai jenis kekerasan, terlebih kekerasan yang dapat berkait-kelindan dengan bahasa. Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam tulisan Ramayda Akmal bertajuk Slavoj Žižek, Bahasa, dan Kekerasan (2020), bahasa dianggap sebagai media yang mengandung kekerasan tak bersyarat. Bahasa merupakan pemisah terbesar, dan kekerasan verbal bukan sekadar pengacau atau kekerasan yang ada di bawah kekerasan fisik atau langsung, tetapi (bahasa) justru menjadi sumber utama dari setiap kekerasan spesifik lainnya.
Melalui bukunya itu, Žižek hendak menganalisis berlangsungnya kekerasan yang dimulai dari level bahasa, yang dilakukan para anti-semit, dan kekerasan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Yahudi. Apa yang kelompok ini lawan bukanlah realitas sebenarnya dari orang-orang Yahudi, melainkan gambaran Yahudi yang disirkulasikan dan dikonstruksi dalam sepanjang tradisi mereka.
Para anti-semit ini tidak bisa membedakan, mana yang sebenarnya Yahudi dan gambaran yang dibangun dalam kerangka bersifat anti-semit terhadap mereka. Gambaran ini, menurut Žižek, terlalu menentukan sikap mereka kepada Yahudi dan bahkan, cara orang Yahudi mempersepsi diri mereka sendiri. Dengan begitu, apa yang hendak dihancurkan oleh kelompok anti-semit di Yahudi, bukanlah Yahudi itu sendiri, melainkan gambaran fantastis yang ditempelkan kepada mereka. Semua ini dimungkinkan karena bahasa dan simbolisasi di dalamnya (Akmal, 2020: 124).
Kekerasan dalam bahasa juga terjadi, seperti yang sudah dipaparkan di muka, yaitu tentang kemarahan umat Muslim di dunia terhadap karikatur Nabi Muhammad SAW, yang diterbitkan oleh media asal Denmark, Jyllands Posten (baca kembali tulisan bagian pertama). Menurut Žižek, unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai kelompok Muslim di dunia saat itu, bukanlah semata-mata pada karikatur tersebut. Akan tetapi, mereka merespon gambaran kompleks atas sikap Barat yang selama ini mereka terima di balik karikatur tersebut.
Negara-negara Muslim, memiliki visi ideologis tertentu atas Barat, yang mendistorsi realitas Barat itu sendiri. Sesuatu yang meledak kala itu, yang akhirnya menjadi sebuah kekerasan, merupakan jaringan simbol, gambaran, dan sikap yang semuanya merangkum, seperti imperialisme Barat, materialisme tak bertuhan, hedonisme, dan penderitaan warga Palestina, yang dilekatkan pada karikatur tersebut.
Inilah yang kemudian menjadi latar belakang dari munculnya kebencian, yang menyebar ke berbagai tempat. Kebencian itu meluas ke Skandinavia, menuju Eropa, dan Barat secara keseluruhan. Letupan penghinaan dan frustasi tersebut, telah terkonsolidasi dan menjadi amunisi, yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Perlu juga untuk digarisbawahi, bahwa seluruh hal yang telah terkonsolidasi itu, merupakan fakta dasar bahasa, yang membangun dan mementingkan area simbolis tertentu (Akmal, 2020: 125).
Ringkasnya, bahasa dalam beberapa kasus di atas, telah meniscayakan terwujudnya kekerasan atas nama agama/ketersinggungan suatu kelompok. Seperti yang pernah Žižek ingatkan, bahwa bahasa adalah anugerah sekaligus bahaya untuk kemanusiaan. Bahasa bisa seperti kuda Troya, yang dikirim sebagai hadiah, tetapi ia bisa pula menghancurkan. Bahasa menawarkan dirinya secara sukarela kepada kita. Tetapi, begitu kita menerimanya, ia (bahasa) mulai menjajah kita (Akmal, 2020: 119).
Ketika Bahasa Menjadi Alat Propaganda
Bahasa sebagai alat komunikasi, pada hakikatnya bersifat netral (Heryanto, 1989: 316). Tetapi, ia dapat digunakan sebagai sesuatu, untuk melakukan hal yang bersifat baik maupun sebaliknya: tergantung apa tujuannya dan konteksnya. Ambil contoh, bahasa Indonesia sewaktu pra-kemerdekaan. Bahasa Indonesia pada saat itu, digunakan oleh para pejuang kemerdekaan sebagai alat propaganda untuk mempersatukan seluruh suku-suku yang ada di Nusantara, guna mengusir para penjajah secara bersama-sama.
Lantaran banyaknya suku dan budaya pada saat itu. Para pejuang kemerdekaan akan merasa kesulitan jika tidak menggunakan/memiliki alat komunikasi (bahasa) yang sama. Maka, untuk menyelesaikan perbedaan alat komunikasi itu, diperlukan satu bahasa yang bisa merepresentasikan, mewakilkan, dan menyatukan seluruh keberagaman tersebut, yakni bahasa Indonesia. Dengan diseragamkannya sebuah bahasa. Alhasil, impian, tujuan maupun cita-cita yang ingin diwujudkan kala itu, menjadi lebih mudah.
Hal demikian juga berlaku, apabila alat komunikasi (bahasa) ini digunakan sebagai sarana untuk mempropagandakan kebencian, atau menyulut api kekerasan. Baik individu dengan individu yang lain, maupun antar suku, agama, kelompok, dan entitas lainnya. Karena kekerasan dalam bahasa, sebagai tindakan dehumanisasi yang berlaku secara universal dalam sejarah umat manusia, telah dimulai dari permusuhan antar suku-suku primitif. Terlebih ketika terjadi ketidakadilan, kesewenang-wewenangan, pelanggaran HAM, atau permusuhan lintas generasi.
Kita ingat, pada 2001, bagaimana bahasa turut memperkeruh keadaan, selain kekeruhan tersebut diakibatkan karena faktor ekonomi, sosial, dan juga politik dalam konflik suku Dayak dengan suku Madura. Berbagai umpatan, hinaan, dan lain sebagainya yang muncul dalam perseteruan tersebut, menimbulkan kerugian yang tidak bisa ditukarkan dengan apa pun. Banyak nyawa yang telah melayang akibat konflik tersebut.
Dalam konflik yang berbasis pada etnosentrisme di atas, peranan bahasa di sini menjadi sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Baik untuk meredam konflik maupun menyulut api perpecahan yang bisa semakin besar. Bahasa yang paling dimungkinkan tidak mengandung kekerasan, kalau kembali pada Žižek, ialah hanya bahasa matematika murni.
Namun, sulit dibayangkan jika dalam melakukan percakapan sehari-hari, supaya kekerasan itu tidak muncul dalam bahasa, kita menggunakan bahasa matematika murni. Oleh karenanya, jika kita kesulitan membayangkan hal tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Žižek, di mana ia mengutip gagasan novelis Austria, Elfriede Jelinek, untuk menghadapi dimensi kekerasan dalam bahasa, bahwa bahasa haruslah “disiksa” untuk mengatakan kebenaran.
Bahasa harus dibelokan, didenaturalisasi, diperluas, dimampatkan, dipotong, dan disambung, atau secara singkat, dipaksa untuk melawan dirinya sendiri. Dengan begitu, dimensi kekerasannya pada taraf tertentu bisa ditekan (Akmal, 2020: 127). Wallahu a’lam bishawab. [*]