Mbah Dim adalah sapaan seorang ulama’ kelahiran Bulakamba, Brebes, Jawa Tengah bagi masyarakat Kaliwungu Kendal. Beliau merupakan muassis Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadhilah Jagalan, Kutoharjo, Kaliwungu, Kendal.
Di sini penulis bukan ingin membicarakan biografi beliau, namun penulis hanya ingin menyampaikan apa yang pernah diceritakan beliau pada rangkaian acara akhirussanah Pondok Pesantren Al-Fadlu wal Fadhilah. Meski tak banyak, hanya sekadar dongeng ala Mbah Dim, namun menurut penulis ini sangat berarti sebagai motivasi bagi pribadi penulis sendiri.
Mbah Dim menyampaikan sedikit cerita diakhir acara sarasehan dan temu alumni PP. Al-Fadlu wal Fadhilah, acara ini merupakan acara pembuka atau acara pertama dari rangkaian acara haflah akhirussanah PP. Al-Fadlu wal Fadhilah. Beliau bercerita tentang seorang bapak dari desa yang hanya punya dua orang anak perempuan, si bapak berharap punya menantu dari kalangan akademis dan kaum sarungan (santri tulen dan santri gudik mimir, mbah dim menyebutnya) yakni seorang santri yang tahunya hanya kalimat lillaahi ta’ala saja.
Di tengah-tengah para alumni dan masyarakat yang hadir, Mbah Dim menceritakan sosok seorang bapak yang memiliki dua menantu dengan latar belakang yang berbeda. Kemudian suatu ketika seorang bapak menjumpai masalah yang sangat sulit sehingga si bapak ingin bermusyawarah kepada kedua menantu tersebut supaya masalahnya bisa dipecahkan.
“Wahai menantuku, saya punya masalah yang sangat sulit saya pecahkan, pertama, kenapa hewan angsa memiliki suara yang keras dan lantang? Yang kedua, kenapa tanaman yang ditanam di kuwali (pot bunga/tanaman yang terbuat dari tanah liat) itu tidak bisa tumbuh besar ke atas?”kata si bapak dalam dongeng Mbah Dim.
Pada kesimpulannya, diantara kedua menantu tersebut, ternyata jawaban yang bisa diterima oleh bapaknya (mertuanya) adalah dari menantu yang berlatar belakang santri tulen/santri gudik mimir, dimana kedua pertanyaan tersebut hanya dijawab oleh sang santri dengan jawaban “Lillaahi Ta’ala”(karena Allah ta’ala), sekaligus membantah jawaban dari kakak iparnya (menantu yang pertama), dengan gayanya memberikan jawaban yang penuh dengan teori, namun sebenarnya kurang tepat, karena argumen yang disampaikan oleh kakak iparnya ternyata masih bisa dibantah.
Pada dasarnya segala sesuatu yang diniatkan dengan “lillaahi ta’ala”, setidaknya akan memberikan kekuatan tersendiri bagi sesorang yang hendak melakukan suatu kebaikan, sehingga amaliyah yang dilakukan akan mendapatkan ridho dari Allah SWT.
Sebelum membacakan do’a penutup, Mbah Dim berpesan, “Saya berharap kepada para pejabat yang hadir disini dan calon pejabat, semoga bisa mengemban amanah rakyat, menjalankan tugas-tugas kenegaraan dengan niatan Lillaahi ta’ala”. pungkas Mbah Dim.
Berkaitan dengan kalimat lillaahi ta’ala, penulis teringat dengan nasehat Mbah Dim kepada jamaah saat menyampaikan materi manasik, baik haji maupun umroh. Dalam ritual haji dan umroh tentu ada niat, dan niat itu pada akhirnya pasti lillaahi ta’ala.
Disela-sela ngaji manasik tersebut Mbah Dim juga menyinggung masalah sholat. Dalam hal ibadah sholat, “pada saat takbiratul ihram Mbah Dim menganjurkan untuk memanjangkan lafadz Allahu Akbar supaya bisa benar-benar lillahi ta’ala. Mbah Dim juga menceritakan cara takbiratul ihramnya KH. Mahrus Aly Lirboyo Kediri, yang merupakan salah satu guru Mbah Dim, dimana KH. Mahrus Aly selalu memanjangkan lafadz Allahu Akbar dalam sholatnya, hingga beliau mampu mencapai pada derajat kekhusyu’an dalam sholat”, tutur Mbah Dim.
“Hal demikian memang tidaklah mudah, oleh karenanya perlu adanya pelatihan secara kontinyu. Dengan melakukan hal tersebut secara terus menerus, sehingga menjadi biasa, dan ketika sudah terbiasa, maka akan menjadi bisa”, kata Ulama Alumni Lirboyo Kediri.
Sugeng tindak Mbah Dim, ilmu dan keteladananmu akan abadi. Lahul faatihah..