Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.
Setelah pada surah sebelumnya Allah menjelaskan bahwa kitab suci merupakan petunjuk jalan menuju kebahagiaan dan bahwa inti seluruh kegiatan adalah tauhid, pada surah ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mensyukuri karunia dan tidak mengkufuri nikmat-Nya. Dialah Allah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu yaitu Adam, dan Allah menciptakan pasangannya yaitu Hawa dari diri-nya yakni dari jenis yang sama dengan Adam; dan dari keduanya, pasangan Adam dan Hawa, Allah memperkembangbiakkan menjadi beberapa keturunan dari jenis laki-laki dan perempuan yang banyak kemudian mereka berpasang-pasangan sehingga berkembang menjadi beberapa suku bangsa yang berlainan warna kulit dan bahasa (Lihat: Surah arRum/30: 22). Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta pertolongan antar sesama, dengan saling membantu, dan juga peliharalah hubungan kekeluargaan dengan tidak memutuskan tali silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu karena setiap tindakan dan perilaku kamu tidak ada yang samar sedikit pun dalam pandangan Allah. Menjalin persatuan dan menjaga ikatan kekeluargaan adalah dasar ketakwaan yang dapat mengantarkan manusia ke tingkat kesempurnaan. ;
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah, yang memelihara manusia dan melimpahkan nikmat karunia-Nya. Dialah Yang menciptakan manusia dari seorang diri yaitu Adam. Dengan demikian, menurut jumhur mufasir, Adam adalah manusia pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari diri yang satu itu Allah menciptakan pula pasangannya yang biasa disebut dengan nama Hawa. Dari Adam dan Hawa berkembang biaklah manusia. Dalam Al-Qur'an penciptaan Adam disebut dari tanah liat (al-Anam/6:2; as-Sajdah/32:7; Shad/38:71 dan dalam beberapa ayat lagi). Dalam an-Nisa/4:1 disebutkan "... dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya; ..." Kata-kata dalam Surah an-Nisa ayat pertama ini sering menimbulkan salah pengertian di kalangan awam, terutama di kalangan perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Adam, yang sering dipertanyakan oleh kalangan feminis. Ayat itu hanya menyebut ... wa khalaqa minha zaujaha, yang diterjemahkan dengan menciptakan pasangannya dari dirinya; lalu ada yang mengatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari rusuk Adam, dan pernyataan yang terdapat dalam beberapa hadis ini ada yang mengira dari Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an nama Hawa pun tidak ada, yang ada hanya nama Adam. Nama Hawa (Eve) ada dalam Bibel ("Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup." (Kejadian iii. 20), (Hawwa dari kata bahasa Ibrani heva, dibaca: hawwah, yang berarti hidup). Pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki itu terdapat dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ii. 21 dan 22: "Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu." Kemudian sekali lagi Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertakwa kepada-Nya dan seringkali mempergunakan nama-Nya dalam berdoa untuk memperoleh kebutuhannya. Menurut kebiasaan orang Arab Jahiliah bila menanyakan sesuatu atau meminta sesuatu kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah. Allah juga memerintahkan agar manusia selalu memelihara silaturrahmi antara keluarga dengan membuat kebaikan dan kebajikan yang merupakan salah satu sarana pengikat silaturrahmi. Ilmu Hayati Manusia (Human Biology) memberikan informasi kepada kita, bahwa manusia dengan kelamin laki-laki mempunyai sex-chromosome (kromosom kelamin) XY, sedang manusia dengan kelamin wanita mempunyai sex-chromosome XX. Ayat di atas menjelaskan bahwa "manusia diciptakan dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya". Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa 'diri yang satu itu tentu berjenis kelamin laki-laki, sebab kalimat berikutnya menyatakan, 'daripadanya diciptakan istrinya. Dari sudut pandang Human Biology hal itu sangatlah tepat, sebab sex-chromosome XY (laki-laki) dapat menurunkan kromosom XY atau XX; sedang kromosom XX (wanita) tidak mungkin akan membentuk XY, karena dari mana didapat kromosom Y? Jadi jelas bahwa laki-laki pada hakikatnya adalah penentu jenis kelamin dari keturunannya. Diri yang satu itu tidak lain adalah Adam.
Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka. Janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.
Ayat berikut ini menjelaskan siapa yang harus dipelihara hak-haknya dalam rangka bertakwa kepada Allah. Dan berikanlah, wahai para wali atau orang yang diberi wasiat mengurus, kepada anak-anak yatim yang sudah dewasa lagi cerdas untuk mengelola harta mereka sendiri yang ada di dalam kekuasaanmu, dan janganlah kamu menukar harta anak yatim yang baik, lalu karena ketamakan kamu mengambil atau menukar harta mereka. Tindakan itu sama halnya menukar yang baik dengan yang buruk. Dan demikian pula, janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu dengan ikut memanfaatkan harta mereka demi kepentingan diri sendiri. Sungguh, tindakan menukar dan memakan itu adalah dosa yang besar. Jika kamu melakukan hal itu, kamu akan mendapat laknat dan murka dari Allah.
Ayat ini ditujukan kepada para penerima amanat agar memelihara anak yatim dan hartanya. Anak yatim ialah setiap anak yang ayahnya telah meninggal dunia, dan masih kecil (belum mencapai usia dewasa). Orang yang diserahi amanat untuk menjaga harta anak yatim haruslah memelihara harta tersebut dengan cara yang baik. Tidak boleh ia mencampurkan harta anak yatim itu dengan hartanya sendiri, sehingga tidak dapat dibedakan lagi mana yang harta anak yatim dan mana yang harta sendiri. Juga tidak dibenarkan ia memakan harta tersebut untuk dirinya sendiri apabila ia dalam keadaan mampu. Apabila hal tersebut dilakukan juga maka berarti ia telah memakan harta anak yatim dengan jalan yang tak benar. Dalam keadaan ini ia akan mendapat dosa yang besar. Apabila anak yatim itu telah mencapai umur dewasa dan cerdik mampu mengatur dan menggunakan harta, hendaklah hartanya itu segera diserahkan kepadanya, sebagaimana akan diterangkan pada ayat 5 surah ini. Para mufasir dalam menafsirkan perkataan "anak yatim" dalam ayat ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "anak yatim" di sini ialah yang belum balig, sebagai pendahulu ayat 5 surah ini, sejalan dengan penafsiran yang dikemukakan di atas. Pendapat kedua menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "anak yatim" di sini ialah yang sudah balig, sejalan dengan sebab turunnya ayat ini, riwayat Ibnu Abi ¦atim dari Said bin Jubair bahwa seorang laki-laki dari suku Banu Gatafan menyimpan harta yang banyak milik anak yatim, yaitu anak saudara kandungnya. Ketika anak tersebut balig, dia meminta hartanya itu, tetapi pamannya tidak mau memberikannya. Hal ini diadukan kepada Nabi Muhammad saw, maka turunlah ayat ini. As-salabi meriwayatkan dari Ibnu Muqatil dan al-Kalbi bahwa paman anak itu tatkala mendengar ayat ini berkata, "Kami taat kepada Allah dan Rasul-Nya, kami berlindung kepada Allah dari dosa besar."
Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ayat ini turun berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu, maka ia ingin mengawininya tanpa memberinya mahar yang sesuai, lalu turunlah ayat ini. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim yang berada di bawah kekuasaanmu, lantaran muncul keinginan kamu untuk tidak memberinya mahar yang sesuai bilamana kamu ingin menikahinya, maka urungkan niatmu untuk menikahinya, kemudian nikahilah perempuan merdeka lain yang kamu senangi dengan ketentuan batasan dua, tiga, atau empat orang perempuan saja. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil apabila menikahi lebih dari satu perempuan dalam hal memberikan nafkah, tempat tinggal, atau kebutuhan-kebutuhan lainnya, maka nikahilah seorang perempuan saja yang kamu sukai atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki dari para tawanan perang. Yang demikian itu lebih dekat pada keadilan agar kamu tidak berbuat zalim terhadap keluarga. Karena dengan berpoligami banyak beban keluarga yang harus ditanggung, sehingga kondisi seperti itu dapat mendorong seseorang berbuat curang, bohong, bahkan zalim. ;
Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari makan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya, maka janganlah kamu menikahinya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan kamu pilihlah perempuan lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat, dengan konsekuensi kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil dalam pembagian waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi pada dasarnya satu istri lebih baik, seperti dalam lanjutan ayat itu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang. Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu nikah dengan seorang saja, atau memperlakukan sebagai istri hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah dalam keadaan terpaksa. Kepada mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya. Hal tersebut merupakan suatu usaha yang baik agar kamu tidak terjerumus kepada perbuatan aniaya. Hamba sahaya dan perbudakan dalam pengertian ayat ini pada saat sekarang sudah tidak ada lagi karena Islam sudah berusaha memberantas dengan berbagai cara. Ketika Islam lahir perbudakan di dunia Barat dan Timur sangat subur dan menjadi institusi yang sah seperti yang dapat kita lihat dalam sejarah lama, dan dilukiskan juga dalam beberapa bagian dalam Bibel: Orang merdeka dapat menjadi budak hanya karena: tak dapat membayar utang, mencuri, sangat papa (sehingga terpaksa menjual diri), budak Yahudi dan bukan Yahudi (Gentile) statusnya berbeda dan sebagainya. Nabi Muhammad diutus pada permulaan abad ke-7 M. Saat ia mulai berdakwah, perbudakan di sekitamya dan di Semenanjung Arab sangat subur dan sudah merupakan hal biasa. Sikapnya terhadap perbudakan, seperti dilukiskan dalam Al-Qur'an, sangat berbeda dengan sikap masyarakat pada umumnya. Ia mengajarkan perbudakan harus dihapus dan menghadapinya dengan sangat arif. Tanpa harus mengutuk perbudakan, ia mengajarkan agar budak diperlakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan penghapusannya harus bertahap, tak dapat dengan sekaligus dan dengan cara radikal seperti dalam memberantas syirik dan paganisme. Dan tujuan akhirnya ialah menghapus perbudakan samasekali. Hal ini terlihat dalam beberapa ketentuan hukum Islam, seseorang dapat menghapus dosanya dengan memerdekakan seorang budak, yang juga menjadi ketentuan orang yang saleh dan bertakwa. Rasulullah telah memberi contoh nyata dengan memerdekakan seorang budak (Zaid) dan menempatkannya menjadi anggota keluarganya, diangkat sebagai anak angkatnya dan berstatus sama dengan status keluarga Quraisy. Memang benar, rumah tangga yang baik dan harmonis dapat diwujudkan oleh pernikahan monogami. Adanya poligami dalam rumah tangga dapat menimbulkan banyak hal yang dapat mengganggu ketenteraman rumah tangga. Manusia dengan fitrah kejadiannya memerlukan hal-hal yang dapat menyimpangkannya dari monogami. Hal tersebut bukanlah karena dorongan seks semata, tetapi justru untuk mencapai kemaslahatan mereka sendiri yang karenanya Allah membolehkan (menurut fuqaha) atau memberi hukum keringanan (rukhsah menurut ulama tafsir) kaum laki-laki untuk melakukan poligami (beristri lebih dari satu). Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut: a.Apabila dalam satu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istrinya menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal dari perkawinan diharapkan bisa mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan jalan keluar yang paling baik. b.Bagi kaum perempuan, masa berhenti haid (monopouse) lebih cepat datangnya, sebaliknya bagi seorang pria walau telah mencapai umur tua, dan kondisi fisiknya sehat ia masih membutuhkan pemenuhan hasrat seksualnya. Dalam keadaan ini apakah dibiarkan seorang pria itu berzina? Maka di sinilah dirasakan hikmah dibolehkanya poligami tersebut. c.Sebagai akibat dari peperangan umpamanya jumlah kaum perempuan lebih banyak dari kaum laki-laki. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami. Bahkan kecenderungan jumlah perempuan lebih banyak daripada jumlah lelaki saat ini sudah menjadi kenyataan, kendati tidak ada peperangan.
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Dan apabila telah mantap dalam menetapkan pilihan dan siap untuk menikah dengan wanita pujaan kamu, maka berikanlah maskawin yakni mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan, karena mahar merupakan hak istri dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami terhadapnya. Suami tidak boleh berbuat semenamena terhadapnya atas dasar pemberian tersebut. Kemudian, jika mereka, para istri menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati sebagai hadiah untuk kalian, maka terimalah hadiah itu dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. Dengan demikian, pemberian itu halal dan baik untuk kalian.
Para suami agar memberikan mahar berupa sesuatu yang telah mereka janjikan kepada istri mereka pada waktu akad nikah yang terkenal dengan (mahar musamma) atau sejumlah mahar yang biasa diterima oleh keluarga istri yang terkenal dengan (mahar misil) karena tidak ada ketentuan mengenai jumlah itu sebelumnya. Pemberian mahar ini adalah merupakan tanda kasih sayang dan menjadi bukti adanya ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga. Namun apabila istri rela dan ikhlas, maka dalam hal ini tidak mengapa jika suami turut memanfaatkan mahar tersebut. Ayat ini menunjukkan bahwa maskawin adalah disyariatkan oleh agama. Pada masa jahiliah menikah tanpa maskawin.
Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Setelah penjelasan tentang hak-hak anak yatim yang harus dipenuhi, ayat ini menjelaskan larangan menyerahkan harta mereka bila mereka belum mampu mengurus. Dan janganlah kalian serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak yatim atau orang dewasa yang belum mampu mengurus, harta mereka yang ada dalam kekuasaan kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan, penyangga hidup, penopang urusan, dan penunjang berbagai keinginan dalam kehidupan ini. Sebab, dalam kondisi seperti itu mereka akan menghabiskan harta tersebut secara sia-sia. Karena itu, berilah mereka belanja secukupnya dan pakaian selayaknya yang bisa menutupi aurat dan memperindah penampilan, dari hasil harta yang kalian usahakan itu. Bersikaplah lemah lembut dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik sehingga membuat perasaan mereka nyaman dan tenteram. ;
Para wali dan pelaksana wasiat (wasi) yang memelihara anak yatim agar menyerahkan harta anak yatim yang ada dalam kekuasaannya apabila anak yatim itu telah dewasa dan telah dapat menjaga hartanya. Apabila belum mampu maka tetaplah harta tersebut dipelihara dengan sebaik-baiknya karena harta adalah modal kehidupan. Segala keperluan anak yatim seperti pakaian, makanan, pendidikan, pengobatan dan sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut diusahakan (diinvestasikan). Kepada mereka hendaklah berkata lemah lembut penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?
Dan lantas bagaimana mungkin kamu akan mengambilnya kembali, yakni mahar atau pemberian yang telah kamu berikan kepada mereka, dengan cara paksa dan sewenang-wenang, padahal kamu telah bergaul satu sama lain sebagai suami-istri dengan menyalurkan hasrat biologis bersamanya? Dan mereka telah mengambil perjanjian yang kuat dalam ikatan perkawinan sehingga menjadi pasangan istri dari kamu, ikatan perkawinan tersebut merupakan ikatan suci yang harus dijaga sehingga siapa saja yang memutus ikatan suci itu mendapat murka Allah. Nabi berpesan," Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita. Sesungguhnya kalian telah mengambil mereka sebagai amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah."
Bagaimana mungkin suami akan mengambil kembali harta tersebut karena perpisahan itu semata-mata memperturutkan hawa nafsunya belaka, bukan untuk menurut aturan-aturan yang digariskan Allah, sedangkan antara suami istri telah terjalin suatu ikatan yang kukuh, telah bergaul sebagai suami istri sekian lamanya dan tak ada pula kesalahan yang diperbuat oleh istri. Di samping itu, istri telah pula menjalankan tugasnya dan memberikan hak-hak suami dengan baik dan telah lama pula ia mendampingi suami dengan segala suka dukanya. Jadi tidaklah ada alasan bagi suami untuk menuntut yang bukan-bukan dari harta yang telah diberikan kepada istrinya itu.
Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.
Setelah menjelaskan tentang larangan menyerahkan harta anak yatim dalam kondisi mereka belum mampu mengelola, berikutnya Allah memerintahkan agar para wali menguji terlebih dahulu kematangan berpikir, kecerdasan, dan kemampuan mereka mengelola harta sebelum menyerahkannya. Dan ujilah kecerdasan dan mental anak-anak yatim itu dengan memperhatikan keagamaan mereka, kematangan berpikir, dan cara membelanjakan harta, kemudian latihlah mereka dalam menggunakan harta itu sampai hampir mereka cukup umur untuk menikah dengan menyerahkan harta sedikit demi sedikit. Kemudian jika menurut pendapat kamu melalui uji mental tersebut dapat diketahui dengan pasti bahwa mereka betul-betul telah cerdas dan pandai dalam memelihara dan mengelola harta, maka serahkanlah kepada mereka hartanya itu, sehingga tidak ada alasan bagi kalian untuk menahan harta mereka. Dan janganlah kamu, para wali, dalam mengelola harta ikut memakannya harta anak yatim itu dan mengambil manfaat melebihi batas kepatutan, dan janganlah kamu menyerahkan harta kepada mereka dalam keadaan tergesa-gesa menyerahkannya sebelum mereka dewasa, karena kalian khawatir bila mereka dewasa mereka akan memprotes kalian. Barang siapa di antara pemelihara itu mampu mencukupi kebutuhan hidup untuk diri dan keluarganya, maka hendaklah dia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan mencukupkan diri dengan anugerah dari Allah yang diperolehnya. Dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut sekadar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sebagai upah atau imbalan atas pemeliharaannya. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu yang sebelumnya berada di tangan kamu kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi ketika menyerahkan harta itu kepada mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas atas segala amal perbuatan dan perilaku mereka. Dan Dia memperhitungkan semua perilaku tersebut kemudian memberinya balasan setimpal.
Sebelum harta diserahkan kepada anak yatim, apabila mereka telah balig dan mampu dalam menggunakan harta maka terlebih dahulu kepada mereka diberikan ujian. Apakah benar-benar ia telah dapat memelihara dan menggunakan hartanya dengan baik, sebagaimana dipahami oleh Mazhab Syafii. Mazhab Hanafi mewajibkan wali menyerahkan harta pada umur dewasa dengan syarat cerdas, mampu dan pada umur 25 tahun walaupun dalam keadaan tidak cerdas. Janganlah para wali ikut mengambil atau memakan harta anak yatim secara berlebiban. Apabila wali termasuk orang yang mampu hendaklah ia menahan diri agar tidak ikut memakan harta anak yatim tersebut. Tetapi apabila wali memang orang yang dalam keadaan kekurangan, maka boleh ia ikut memakannya secara baik dan tidak melampaui batas. Apabila masa penyerahan di atas telah tiba, hendaklah penyerahan itu dilakukan di hadapan dua orang saksi untuk menghindarkan adanya perselisihan di kemudian hari. Allah selalu menyaksikan dan mengawasi apa yang dikerjakan oleh manusia. Tidak ada hal yang tersembunyi bagi-Nya baik di bumi maupun di langit.
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.
Diriwayatkan bahwa Ummu Kuhhah istri Aus bin Sabit mengadukan persoalannya kepada Rasulullah, bahwa setelah Aus gugur dalam Perang Uhud, lalu harta peninggalan Aus diambil seluruhnya oleh saudara laki-laki Aus tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya dan dua putrinya hasil perkawinannya dengan Aus, kemudian turunlah ayat ini. Bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang ditinggal mati orang tua atau kerabatnya ada hak bagian waris dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya yang akan diatur Allah kemudian, dan begitu pula bagi perempuan dewasa atau anak-anak yang ditinggal mati orang tua atau kerabatnya ada hak bagian waris pula dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik harta peninggalan itu jumlahnya sedikit atau banyak. Hak mewarisi itu diberikan menurut bagian yang telah ditetapkan oleh Allah. ;
Apabila anak yatim mendapat peninggalan harta dari kedua orang tuanya atau kerabatnya yang lain mereka sama mempunyai hak dan bagian. Masing-masing mereka akan mendapat bagian yang telah ditentukan oleh Allah. Tak seorang pun dapat mengambil atau mengurangi hak mereka.
Apabila (saat) pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Setelah menjelaskan ketentuan hak warisan bagi kaum perempuan, maka pada ayat ini Allah memberi peringatan agar memperhatikan pula kerabat lain yang tidak memeroleh harta warisan dan kebetulan hadir ketika harta warisan itu dibagikan. Dan apabila sewaktu pembagian harta warisan itu hadir atau diketahui oleh beberapa kerabat yang tidak mendapatkan harta warisan, baik mereka yang hadir adalah anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang masih ada hubungan kerabat atau tidak, maka hendaknya berilah mereka dari harta warisan itu sekadarnya yang dapat menghibur hati mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik dan benar serta perlakukanlah mereka dengan bijaksana.
Dan apabila pada waktu diadakan pembagian harta warisan ikut hadir pula kaum kerabat yang tidak berhak mendapat warisan, begitu juga para fakir miskin atau anak yatim, maka kepada mereka sebaiknya diberikan juga sedikit bagian sebagai hadiah menurut keikhlasan para ahli waris agar mereka tidak hanya menyaksikan saja ahli waris mendapat bagian. Dan kepada mereka seraya memberikan hadiah tersebut diucapkan kata-kata yang menyenangkan hati mereka. Ini sangat bermanfaat sekali untuk menjaga silaturahmi dan persaudaraan agar tidak diputuskan oleh hasad dan dengki. Di samping itu, bagi para ahli waris hal ini menunjukkan rasa syukur kepada Allah.
Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Setelah menjelaskan anjuran berbagi sebagian dari harta warisan yang didapat kepada kerabat yang tidak mendapatkan bagian, ayat ini memberi anjuran untuk memperhatikan nasib anak-anak mereka apabila menjadi yatim. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan di kemudian hari anakanak yang lemah dalam keadaan yatim yang belum mampu mandiri di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan-nya lantaran mereka tidak terurus, lemah, dan hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka para wali bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar, penuh perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anak yatim dalam asuhannya. ;
Orang yang telah mendekati akhir hayatnya diperingatkan agar mereka memikirkan, janganlah meninggalkan anak-anak atau keluarga yang lemah terutama tentang kesejahteraan hidup mereka di kemudian hari. Untuk itu selalu bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Selalu berkata lemah lembut, terutama kepada anak yatim yang menjadi tanggung jawab mereka. Perlakukanlah mereka seperti memperlakukan anak kandung sendiri.