(Itulah upaya) melepaskan perbudakan
Jalan yang mendaki dan sukar itu adalah melepaskan hamba sahaya dari perbudakan atau membantunya untuk membebaskan diri, karena perbudakan tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan,
Allah menegaskan bahwa pekerjaan besar yang sulit dilaksanakan itu adalah memerdekakan budak. Hal itu karena perbudakan pada waktu itu sudah sangat dalam merasuk ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik di dunia Arab maupun di luarnya. Segala aktivitas manusia, seperti perdagangan, pertanian, kemiliteran, bahkan kehidupan sehari-hari, dan sebagainya, tidak akan bisa berjalan dengan baik pada waktu itu tanpa adanya budak yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Namun Allah meminta umat Islam agar menghapus perbudakan. Pelaksanaannya memang tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Seorang tuan seharusnya dapat memerdekakan budaknya, inilah yang dirasakan mereka sangat berat. Pemerdekaan budak juga dilakukan melalui cara-cara lain, misalnya dengan sanksi pelanggaran-pelanggaran yang hukumannya adalah memerdekakan budak. Juga dengan cara memberi kesempatan kepada budak itu untuk menebus dirinya.
Aku bersumpah demi negeri ini (Makkah),
Aku bersumpah dengan negeri ini, yakni kota Mekah, kota kelahiran Nabi dan kota suci umat Islam.
Ayat ini secara harfiah terjemahannya, "Aku tidak bersumpah dengan negeri ini." Kata "tidak" (lA) dalam ayat itu berfungsi menguatkan, karena itu maksudnya, "Aku benar-benar bersumpah dengan negeri ini." Atau ayat itu dibaca, "Tidak! Aku bersumpah dengan negeri ini," yang juga bermakna menekankan. Allah bersumpah dengan kota Mekah, tempat di mana terdapat Ka'bah yang dituju oleh manusia dari segala penjuru semenjak didirikan oleh Nabi Ibrahim sampai sekarang untuk melaksanakan ibadah haji. Di samping itu, kota ini juga menjadi pusat perdagangan semenjak lama sekali. Karena didatangi setiap tahun dari segenap penjuru itu, maka kota itu dinamai juga Ummul-Qura (Induk Negeri-negeri). Kota itu makmur sekalipun sekelilingnya padang pasir.
sedangkan engkau (Nabi Muhammad) bertempat tinggal di negeri (Makkah) ini.
Dan engkau, wahai Nabi, bertempat tinggal di negeri Mekah ini, membuatnya bertambah mulia.
Kata hill dalam ayat itu berarti "bertempat". Maksudnya adalah bahwa kota ini adalah juga tempat lahir Nabi Muhammad yang merupakan nabi terbesar dan terakhir yang membawa agama Islam. Dengan demikian, Allah bersumpah dengan kota Mekah yang agung karena tempat kelahiran manusia agung, yaitu Muhammad saw. Ada pula yang menafsirkan hill dalam ayat itu "halal", yaitu halal bagi Nabi berperang dalam kota itu bila diperangi, apa yang tidak dihalalkan bagi orang lain.
(Aku juga bersumpah) demi bapak dan anaknya,
Dan demi pertalian bapak dan anaknya, demi Adam dan anak cucunya. Manusia dengan kehendak Allah mengalami siklus dari kanak-kanak menuju dewasa, berkeluarga, beranak pinak, dan berakhir dengan kematian. Inilah fenomena kehidupan yang perlu direnungi.
Allah bersumpah dengan seorang ayah, yaitu Ibrahim, dan anaknya, yaitu Ismail yang nanti menurunkan Nabi Muhammad. Dengan demikian, Allah bersumpah dengan nenek moyang Nabi Muhammad setelah sebelumnya Allah bersumpah dengan beliau dan kota kelahiran beliau, yang menunjukkan pertalian kedua nabi tersebut. Ada pula yang menafsirkan "ayah" dengan Adam yang merupakan ayah umat manusia dan anak cucunya yang lahir sesudah itu siapa saja.
sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah.
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. Siapa pun, termasuk Nabi, dalam masa hidupnya pasti menemui kepayahan, sejak dalam kandungan sampai masa dewasa. Manusia mesti bersusah payah mencari nafkah, mengalami sakit, dan mati. Dalam alam kubur menuju alam mahsyar pun manusia menghadapi kepayahan. Manusia harus mengisi kehidupannya di dunia dengan amal saleh agar tidak menemukan kepayahan lagi di akhirat.
Setelah bersumpah, Allah menyampaikan pesan penting yang hendak dikemukakan-Nya yang karena itu Ia perlu terlebih dahulu bersumpah. Pesan itu adalah bahwa manusia terlahir dalam kesulitan. Maksudnya, manusia tidak bisa lagi hidup tanpa susah payah sebagaimana dialami oleh nenek moyang mereka, Adam dan Hawa, di surga, karena semuanya tersedia. Tetapi mereka harus hidup dengan terlebih dahulu bersusah payah: berusaha, mencari rezeki, mengatasi berbagai rintangan, dan sebagainya. Berdasarkan perjuangan itulah, Allah menilai manusia tersebut. Semakin besar perjuangan yang dilakukan manusia dan semakin besar manfaat yang diberikan hasil perjuangannya itu bagi umat manusia, semakin tinggi nilai manusia itu dalam pandangan Allah. Begitu pulalah Nabi Muhammad di kota ini, beliau perlu berjuang agar kebenaran menjadi nyata dan kebatilan menjadi sirna. Demikian pula seluruh manusia. Oleh karena itu, manusia mati seharusnya meninggalkan jasa.
Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya?
Apakah dia yang Kami ciptakan dalam kepayahan itu mengira bahwa dirinya kuat dan berkuasa sehingga tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya? Apakah ia mengingkari kuasa Allah, Pencipta alam semesta, yang mampu menundukkan siapa pun, betapapun kuatnya?
Dalam ayat ini, Allah bertanya apakah manusia yang selalu berada dalam kesulitan, dan untuk bisa hidup harus mampu mengatasi kesulitan itu, dapat menyombongkan dirinya setelah berhasil dalam perjuangan itu. Menyombongkan diri itu misalnya menyangka dirinya begitu kuasanya sehingga berpandangan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan mampu menyaingi dan mengalahkannya, termasuk Allah sendiri. Ia tidak boleh berpandangan demikian karena bila ada seorang yang hebat, pasti akan ada lagi orang yang lebih hebat darinya. Di atas segala yang hebat itu, Allah adalah yang terhebat dari segala yang hebat, sebagaimana difirmankan-Nya: Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui. (Yusuf/12: 76)
Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.”
Dia dengan angkuh mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Sikap ini sangat tidak terpuji, apalagi jika dia membelanjakan harta untuk memusuhi Allah dan rasul-Nya.
Kesombongannya itu misalnya berkenaan pengeluarannya untuk membantu orang lain. Pengeluaran itu dalam pandangannya sudah begitu besar, sehingga dianggapnya sia-sia. Ia merasa pengeluaran itu sudah sangat banyak sehingga tidak akan ada seorang pun yang akan mampu menandinginya, karena itu ia menjadi sombong.
Apakah dia mengira bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya?
Apakah dia bermaksud pamer dengan perbuatannya itu lalu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya? Tidak demikian. Semua gerak-gerik manusia, kecil maupun besar, selalu dalam pantauan Allah. Dia akan membalas sekecil apa pun perbuatan manusia.
Allah bertanya mengenai orang yang sombong dengan pengeluarannya itu, "Apakah ia mengira bahwa tidak seorang pun yang melihat perbuatannya itu?" Artinya, bila ia sombong dengan pengeluarannya itu, berarti ia mengorbankan kekayaannya hanya untuk mencari nama, maka pengorbanan itu tidak akan diterima-Nya. Jangan ia menyangka bahwa Allah tidak melihat perbuatannya itu dan tidak mengetahui motif di balik perbuatan baiknya itu, yang tidak diketahui oleh manusia.
Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata,
Allahlah yang berkuasa atasnya dan melihat setiap perbuatannya. Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata untuk membantunya melihat sekeliling,
Allah selanjutnya bertanya mengenai orang itu, "Tidakkah Kami beri ia dua mata?" Artinya, untuk dapat mencari kekayaan, ia perlu dua mata, lalu siapakah yang memberinya dua mata itu bila bukan Allah? Untuk mencari rezeki ia perlu berbicara, lalu siapakah yang telah memberinya lidah dan dua bibir untuk mampu bicara? Dalam membesarkannya, ia telah menyusu pada kedua susu ibunya, siapakah yang telah menyediakan air susu ibunya itu bila bukan Allah? Dengan demikian, keberhasilannya adalah karena bantuan dan kasih sayang Allah. Oleh karena itu, ia tidak perlu menyombongkan dirinya karena hartanya. Di samping itu, mata, lidah, dan nafsu adalah nikmat Allah kepadanya yang tiada taranya. Ia akan bertemu dengan dua jalan yang disediakan Allah, yaitu jalan yang benar dan jalan yang salah. Ia perlu menggunakan mata, lidah, dan nafsu itu untuk jalan yang diridai oleh Allah.
lidah, dan sepasang bibir,
Dan lidah dan sepasang bibir untuk memungkinkannya mencecap, berbicara, dan memberi penjelasan kepada orang lain,
Allah selanjutnya bertanya mengenai orang itu, "Tidakkah Kami beri ia dua mata?" Artinya, untuk dapat mencari kekayaan, ia perlu dua mata, lalu siapakah yang memberinya dua mata itu bila bukan Allah? Untuk mencari rezeki ia perlu berbicara, lalu siapakah yang telah memberinya lidah dan dua bibir untuk mampu bicara? Dalam membesarkannya, ia telah menyusu pada kedua susu ibunya, siapakah yang telah menyediakan air susu ibunya itu bila bukan Allah? Dengan demikian, keberhasilannya adalah karena bantuan dan kasih sayang Allah. Oleh karena itu, ia tidak perlu menyombongkan dirinya karena hartanya. Di samping itu, mata, lidah, dan nafsu adalah nikmat Allah kepadanya yang tiada taranya. Ia akan bertemu dengan dua jalan yang disediakan Allah, yaitu jalan yang benar dan jalan yang salah. Ia perlu menggunakan mata, lidah, dan nafsu itu untuk jalan yang diridai oleh Allah.