Di momen peringatan Hari Pahlawan tahun 2025 ini, nama Soeharto kembali diusulkan sebagai pahlawan nasional. Melihat berbagai respon yang muncul tentangnya, kita sesungguhnya sedang menyaksikan bukan sekadar perdebatan politik, tetapi pertarungan spiritual bangsa tentang bagaimana kita mengingat masa lalu.
“Pahlawan” bukan hanya kategori administratif negara, melainkan simbol moral dan, dalam konteks kebudayaan Indonesia, hampir-hampir berfungsi sebagai lambang sakral. Maka, persoalannya bukan hanya siapa yang layak disebut pahlawan, tetapi bagaimana kita, sebagai bangsa yang religius, menafsirkan kepahlawanan itu sendiri.
Politik Ingatan
Dalam banyak tradisi Nusantara, penghormatan terhadap tokoh besar sering disertai dengan ritual nyaris religious seperti ziarah, doa, monumen, dan peringatan. Negara modern kemudian mengadopsi pola itu dalam bentuk seremonial kenegaraan. Namun, ketika ritual kenegaraan mengambil alih makna spiritual, kepahlawanan mudah bergeser menjadi kultus kekuasaan.
Jacques Derrida menyebut gejala ini sebagai hauntology—hadirnya “roh” yang kehilangan tubuh, atau simbol suci yang kehilangan ruhnya (Specters of Marx, 1994). Dalam konteks Indonesia, politik pahlawan sering berubah menjadi politik ingatan yang tidak jujur karena yang disakralkan bukan kemanusiaan, melainkan kuasa.
Di satu sisi, religiositas yang sejati selalu menuntut kejujuran dalam mengingat. Dalam teologi moral, mengingat dosa adalah langkah awal menuju pertobatan. Sebaliknya, melupakan dosa atau membungkusnya dengan penghargaan adalah bentuk amnesia spiritual.
Paul Ricoeur, dalam Memory, History, Forgetting (2004), menulis bahwa mengingat adalah tindakan etis. Ia memanggil manusia untuk bertanggung jawab atas masa lalu, bukan sekadar mengenangnya secara seremonial. Maka, dalam konteks Soeharto, mengangkat nama sang penguasa yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan represi politik sebagai pahlawan nasional berarti melewati tahap tobat menuju pengampunan. Itu bukan spiritualitas, melainkan simplifikasi moral.
Bangsa yang religius seharusnya memahami bahwa pengampunan tanpa pengakuan bukanlah jalan keselamatan, melainkan pengulangan dosa dalam bentuk yang lebih halus. Spirit religius yang sejati tidak berhenti pada simbol, tetapi berproses dalam kesadaran batin. Tradisi spiritual Nusantara mengenal laku prihatin dan mawas diri sebagai cara membersihkan jiwa dari kesombongan dan kekuasaan diri.
Dalam konteks bangsa, laku itu bisa dibaca sebagai tanggung jawab kolektif untuk menatap masa lalu dengan keheningan dan kejujuran. Namun, yang terjadi sebaliknya. kita mengganti laku batin dengan upacara administratif—pengangkatan gelar, penyematan tanda jasa, atau pembangunan patung—seolah-olah penebusan dosa bisa disahkan lewat Keputusan Presiden.
Di titik inilah pentingnya membedakan antara religiositas dan moralitas simbolik. Religiositas adalah kerja batin, sedangkan moralitas simbolik sering kali hanya bekerja di permukaan. Ketika negara memproduksi gelar “pahlawan nasional”, ia tengah memainkan bahasa sakral dalam format sekuler—sebuah ritual tanpa iman. Ia mirip doa yang diucapkan tanpa jiwa.
Padahal pernah diingatkan Franz Magnis-Suseno dalam Etika Politik (1988), moralitas politik sejati bukanlah soal citra atau kehormatan simbolik, tetapi keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, bahkan ketika itu menyakitkan.
Pahlawan Sejati
Dalam tradisi spiritual, pahlawan sejati bukanlah yang berkuasa, tetapi yang menaklukkan dirinya sendiri. Dalam ajaran tasawuf, misalnya, manusia paripurna (al-insān al-kāmil) bukan yang memenangkan perang lahiriah, tetapi yang menaklukkan nafsu, keserakahan, dan keangkuhan.
Heroisme spiritual selalu berawal dari kerendahan hati, bukan supremasi. Bila kita menerapkan perspektif tersebut pada figur Soeharto, pertanyaannya menjadi jelas: apakah kita tengah memuliakan kekuasaan, atau meneladani kemanusiaan?
Kepahlawanan seharusnya menandai keberanian moral untuk menanggung akibat dari kebenaran, bukan keberhasilan menundukkan orang lain. Dalam tradisi Kristiani, Yesus disebut martyr bukan karena menang, tetapi karena berani menanggung penderitaan demi kebenaran.
Dalam konteks Islam, Nabi Muhammad disebut uswatun hasanah karena menolak membalas kekerasan dengan kekerasan. Dalam kosmologi Jawa, tokoh-tokoh seperti Semar atau Pandawa tidak diagungkan karena kekuasaan mereka, melainkan karena kerendahan hati dan kesetiaan terhadap laku benar. Pahlawan sejati, dengan demikian, selalu melampaui politik. Ia adalah figur spiritual yang menyalakan kesadaran kemanusiaan.
Ironisnya, di tengah derasnya seremonial religius di ruang publik, semangat spiritual itu justru menipis. Religiositas publik kini cenderung berorientasi pada identitas dan simbol, bukan pada perenungan.
Maka, ketika bangsa ini dengan mudah memaafkan kekuasaan tetapi menutup telinga terhadap jeritan korban, yang krisis bukan hanya sejarah, melainkan iman publik itu sendiri. Sebab iman yang sejati selalu berpihak pada yang lemah, bukan pada yang berkuasa.
Kita perlu membaca kembali kepahlawanan sebagai cermin spiritual bangsa. Dalam cermin itu, yang tampak bukanlah siapa yang diangkat atau dijatuhkan, tetapi sejauh mana kita masih memiliki keberanian moral untuk menatap wajah sendiri.
Bila cermin itu buram karena diselimuti kabut kekuasaan dan ancaman ketakutan maka yang kita lihat hanyalah bayangan ego kolektif. Religiositas yang reflektif menuntun kita untuk membersihkan cermin itu dengan kejujuran dan belas kasih, bukan dengan glorifikasi.
Sebagaimana ditegaskan Jacques Derrida dalam The Gift of Death (1995), tindakan yang benar-benar religius selalu mengandung risiko, karena ia memanggil manusia untuk bertanggung jawab secara radikal di hadapan yang tak terlihat, yaitu di hadapan Tuhan, di hadapan nurani. Artinya, menjadi religius dalam konteks kepahlawanan berarti berani menolak kultus kuasa, meski itu menyangkut figur yang secara politik masih diagungkan.
Maka, perdebatan tentang gelar pahlawan bagi Soeharto bukan sekadar wacana sejarah, tetapi ujian spiritual bangsa. Apakah kita benar-benar bangsa yang beriman—yang mengingat salah dan luka, menyadari dan menegakkan kebenaran, serta menolak pengampunan palsu? Atau bangsa yang gemar mengucap doa tanpa rasa bersalah?
Di sinilah religiositas menemukan ujinya: dalam kemampuan untuk mengakui dosa, bukan menutupi noda. Pahlawan, dalam makna terdalamnya, adalah cermin moral bangsa. Tetapi cermin itu hanya berguna bila kita berani menatapnya sebagai refleksi, bukan agenda tersembunyi.