Kita semua menyaksikan bahwa sepak bola tidak cuma sepak bola, bola tidak cuma untuk bola. Si kulit bundar memang begitu-begitu saja, namun ia menginspirasi jutaan orang mengimajinasikan bahwa permainan dan pertandingan mengilhami manusia untuk berpikir lebih. Apa maksudnya ini?
Sederhana dan to the point saja penjelasannya. Sepak bola tidak hanya dimaksudkan untuk permainan saja, atau kesehatan badani saja, tidak juga diagendakan untuk kemenangan setiap bertanding saja, tidak juga melulu berpikir juara pada tiap event. Ada niatan, intensi atau nilai lebih dalam olah raga sepak bola. "Football is the only thing that can bring together an entire country, regardless of political or religious differences," kata Zinaedine Zidane.
Di Liga Inggris, sejak Oktober 2019, pada lengan jersey semua klub ditempel statemen "no room for racism". statemen tersebut adalah statemen politik, tidak terkait dengan bola. Tetapi semua orang setuju atas pernyataan tersebut. Mengapa?
Di lapangan terjadi rasisme, di luar lapangan terjadi rasisme, masif dan orang tidak puas dengan gerakan tolak rasisme yang itu-itu saja, tidak ada kemajuan dan kurang efektif. Maka, permainan dan lapangan sepak bola dijadikan wahana kampanye berjama’ah: No room for racism. Ada ujaran rasisme di permainan dihukum, tingkah-polah penonton simbol rasisme dihukum, ada penghormatan pada korban rasisme bahkan, mereka mengedukasi anak-anak di belasan ribu sekolah dasar yang ada di Inggris.
Contoh lain yang sering kita saksikan: lapangan bola sering menjadi arena mengajak atau menyerukan bahwa dunia harus ramah anak atau ramah difabel. Maka, kita sering menyaksikan sebelum laga dimulai para pemain menggandeng anak atau menggendong anak difabel memasuki lapangan hijau. Sepakbola yang digemari semua lapisan umur dan ditonton semilyar orang di muka bumi ini, dinilai efektif untuk berkampanye semacam itu. Ini politik, dan merupakan political willdari panitia Liga Inggris. Ada masalah?
Ada. Contohnya pemakaian ban pelangi untuk menunjukkan solidaritas pada ****. Tidak semua setuju dengan gerakan ini. Tetapi di Liga Inggris, pada moment yg telah ditentukan, ban tersebut dipakai dan telah 10 tahun menghiasi liga sepakbola yang paling antusias di dunia ini. Ini adalah hasrat bahwa sepak bola bukan hanya permainan (kabarnya, musim ini tidak akan ban kapten pelangi tidak lagi, kontrak sudah habis).
Nah, saya dan anak saya si Naafi Aly, antusias menyaksikan sepak bola bukan hanya menang dan kalah. Semangat gerakan politik di lapangan sepak bola akhir-akhir ini bangkit lagi dengan semangat dan ketulusan membela kemanusiaan. Apa?
Tidak lain, respons atas penjajahan, keculasan, kekejaman, dan genosida yang dilakukan Israel pada rakyat Palestina. Solidaritas fans dan pemain dengan dukungan pemerintah yang ditunjukkan akhir-akhir ini adalah gelora bahwa sepakbola harus menjadi ajang politik yang mendukung kemanusiaan. Saya merasa, pernyataan Gus Dur (1940-2009) "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan" sedang didengungkan di lapangan sepakbola. Gus Dur sendiri, kita tahu, memperhatikan sepakbola lebih dari permainan. Ini bisa kita baca dalam artikel-artikelnya tentang bola. Sampai di sini, saya juga teringat pernyataan mendiang Nelson Mandela (1918-2018) yang saat berada di dalam penjara suka main bola. "Olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Olahraga memiliki kekuatan untuk menginspirasi, dan menyatukan orang dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh yang lain," ini pernyataan terkenal Mandela setelah Afrika Selatan berhasil membuat ajang Piala Dunia 2010.
Sebab itulah, klub Celtic (Skotlandia) berani mengibarkan bendera Palestina di Liga Eropa 2014 dan terus mengulanginya, meskipun didenda berkali-kali. Glosgow Celtic klub pertama di Eropa yang terang-terangan mendukung sepenuhnya Palestina merdeka.
Sebab itulah, kita menyaksikan perayaan pelatih Napoli Filippo Inzaghi mengibarkan bendera Palestina saat merayakan Scudetto musim 2024-2025. Jamaah Napoli pun mengikutinya dengan antusias.
Sebab itulah, suporter PSG rela memilih mengibarkan bendera Palestina di final Liga Champion, Munich 2025 (kota di Jerman ini dikenal pendukung Israel). Ultras PSG menyerukan “kami bersama anak-anak Gaza” dan membentangkan spanduk “Gaza Ada, Gaza Menolak, Bebaskan Palestina” (dikabarkan pada Senin besok Presiden Macron akan resmi mendukung Palestina merdeka, di sidang PBB New York). Mereka tidak kapok didenda karena mengibarkan bendera Palestina saat melawan klub dari Israel tahun 2022.
Sebab itulah, Eric Cantona (59 tahun), legenda MU asal Prancis dengan lantang menyuarakan boikot UEFA. “Empat hari setelah Rusia memulai perang dengan Ukraina, FIFA dan UEFA membekukan (sepak bola) Rusia. Tetapi sekarang kita melihat 716 hari atas yang disebut oleh Amnesty International sebagai genosida (di Palestina), dan Israel masih bisa lanjut berpartisipasi (di sepak bola),” begitu dia berteriak dengan suara parau di depan ribuan di dalam acara amal untuk Gaza yang diselenggarakan pekan lalu di Wembley Arena, Cantona mengajak klub dan pemain sepak bola untuk mengambil posisi tegas, yakni menolak pertandingan melawan tim-tim dari Israel.
Sebab itulah, Pemerintah Spanyol membuat pernyataan tegas akan memboikot jika Israel ikut Piala Dunia 2026 yang akan diselenggarakan di Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko. PM Spanyol Pedro Sances mengatakan, “Israel tidak boleh memanfaatkan panggung internasional untuk 'cuci tangan' demi membersihkan nama mereka.” Menteri Olahraga Spanyol Pilar Alegria menguatkan pernyataan sang perdana menteri: “Olahraga bukan dan tidak boleh terpisah dari yang terjadi di dunia nyata. Terutama jika dunia nyata memberi tahu kita bahwa hak asasi manusia sedang dihancurkan.”
Sebab itulah, saat Athletic Club menjamu Arsenal pada pertandingan pertama Liga Champion, stadion San Mames (disebut pula ‘katedral’) mengibarkan bendera Palestina dan membentangkan spanduk besar: kemanusiaan di atas segalanya.
Sebab itulah, saya membayangkan, nanti malam, pelatih Arsenal Mikel Arteta dan pelatih Man City Pep Guardiola (keduanya dari Spanyol), seusai pertandingan berani berlari mengitari lapangan hijau sambil mengibarkan bendera Palestina. Mengapa?
Sebab, sepak bola bukan hanya sepak bola. Dan kali ini, sepak bola kita persembahkan untuk kemerdekaan Palestina seutuhnya.