Tulisan ini mengajak kita menengok kembali tujuan awal reformasi kepolisian: menjadi pengayom, bukan penguasa; menjadi pelindung, bukan predator. Reformasi tidak boleh berhenti pada jargon, seragam baru, atau slogan manis—ia harus sampai pada etika, transparansi, dan keberanian menegakkan hukum terhadap aparatnya sendiri. Sebab negara hanya bisa tegak jika keadilan berdiri tanpa takut pada lencana
Editorial Tempo (10/11/2925) edisi bertajuk “Basa-basi Reformasi Polisi” menegaskan satu kalimat tajam: reformasi Polri di pemerintahan baru berpotensi hanya menjadi kosmetik. Editorial tersebut menyatakan bahwa pembentukan tim reformasi tidak menjamin perubahan struktural, bahkan dikhawatirkan hanya menjadi formalitas politik, window dressing. Jika moral, kultur, dan relasi kekuasaan tidak disentuh, maka yang disebut reformasi hanyalah jargon.
Editorial adalah sikap resmi redaksi. Artinya, bukan opini personal jurnalis, tetapi kesimpulan institusi media berdasarkan data, temuan, dan pengamatan panjang. Jika sebuah editorial mengeluarkan kata “basa-basi”, berarti keresahan publik cukup serius.
Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh
Reformasi Polri sejatinya tuntutan 1998: Polri dipisah dari ABRI agar menjadi sipil, profesional, dan melayani publik. Dua puluh enam tahun berlalu, publik justru menyaksikan fenomena sebaliknya: Polri menjadi aktor utama dalam lalu lintas politik dan ekonomi kekuasaan. Kasus Sambo, gunting pita tambang nikel, kriminalisasi aktivis, sampai kasus penyalahgunaan kewenangan lainnya menunjukkan bahwa problem Polri bukan sekadar “oknum”.
Editorial Tempo menyebut langsung akar persoalannya: reformasi akan mandek jika institusi terlalu dekat dengan pusat kekuasaan.
Ketika polisi menjadi aktor politik, maka hukum hanya menjadi furnitur. Hukum tidak lagi berfungsi sebagai penjaga keadilan, melainkan menjadi alat untuk menjaga stabilitas kekuasaan. Pada titik ini, hukum tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk tuannya: kekuasaan.
Padahal, kehadiran polisi dalam negara demokrasi adalah memastikan bahwa hukum menjadi pagar, bukan alat intimidasi. Dalam masyarakat yang sehat, rakyat boleh berbeda pendapat, tetapi tidak boleh berbeda hak. Keadilan seharusnya tidak diukur dari seberapa dekat seseorang dengan lingkar kekuasaan. Dan ini berbahaya.
Dari Perspektif Ekonomi-Legal: Ketidakpastian Itu Mahal
Dalam ilmu ekonomi, ada istilah transaction cost — biaya yang harus dibayar akibat ketidakpastian hukum. Bila aparat tidak independen, maka: investor bingung ke mana harus bertumpu, sengketa bisnis tidak diselesaikan lewat hukum, tapi lewat kedekatan, biaya suap atau “pengamanan” menjadi beban produksi.
Akibatnya, negara rugi. Rakyat kehilangan keadilan. Pengusaha kecil tumbang oleh tekanan struktural.
Editorial Tempo menulis bahwa reformasi tanpa perubahan struktur hanya menghasilkan fatamorgana keadilan. Saya menambahkan: ia akan menghasilkan biaya ekonomi yang mahal dan penderitaan sosial yang panjang. Ketika hukum bisa dinego, maka masa depan bangsa diperdagangkan di meja lobi. Negara kehilangan wibawa, dan masyarakat kehilangan harapan.
Tim reformasi Polri yang dibentuk Presiden baru hanyalah tim rekomendasi, bukan tim eksekusi. Editorial Tempo mempertanyakan: di mana mandat hukum yang mengikat hasil kerja tim? Tanpa dasar hukum baru—misalnya UU reformasi Polri—, maka rekomendasi hanya akan menjadi map yang menumpuk di laci birokrasi.
Itu sebabnya editorial menyebut program ini basa-basi reformasi.
Reformasi membutuhkan pagar hukum, bukan konferensi pers. Publik tidak butuh slogan, publik butuh kepastian.
Dari Perspektif Moral dan Syariah Publik
Syariat memandang kekuasaan sebagai amanah, bukan kepemilikan. Sayyidina Umar bin Khattab Ra. berkata:
“Tidak ada kebaikan pada kekuasaan yang tidak bisa dikontrol.” Ketika pengawasan hilang, kekuasaan berubah menjadi tirani. Kekuasaan yang tidak diawasi akan mengasingkan diri dari rakyat dan dari Tuhan.
Ada kaidah fikih: Taṣarrufu al-imāmm ‘alā ar-ra‘iyyah manūṭun bi-al-maṣlaḥah.“Kebijakan penguasa terhadap rakyat wajib terikat pada kemaslahatan.” Reformasi Polri bukan kemauan rakyat jika tujuannya hanya menata citra, bukan menata akhlak. Ada tiga langkah konkret yang menurut saya harus dilakukan: Pertama, Pisahkan Polri dari politik kekuasaan. Tidak boleh ada penempatan personel Polri pada jabatan yang berpotensi mengintervensi kebijakan. Kedua, Bangun sistem akuntabilitas publik. Pengawasan harus eksternal, bukan internal saja. Ombudsman, Komnas HAM, LSM harus terlibat. Ketiga, Jadikan Polri berorientasi pada pelayanan publik.
Ukuran reformasi bukan seberapa besar Polri ditaati rakyat, tetapi seberapa besar Polri melayani rakyat. Reformasi bukan soal mengganti spanduk, seragam, atau struktur organisasi. Reformasi adalah mengganti cara berpikir: dari mentalitas penguasa menjadi mentalitas pelayan.
Editorial Tempo menegur dengan kalimat yang tak bisa diabaikan:“Jangan ada basa-basi dalam reformasi polisi.” Saya menambahkan dengan bahasa ulama:
Tidak akan ada keadilan selama hukum berada di bawah genggaman kekuasaan. Reformasi sejati baru dimulai ketika Polri kembali pada fitrahnya: pelayan rakyat, bukan penjaga kekuasaan.