Risalah pemakzulan Ketua Umum PBNU yang muncul tiba-tiba, tanpa mekanisme yang utuh, membuka pertanyaan besar: apakah ini ikhtiar tabayyun atau langkah tergesa yang berpotensi melukai marwah jam’iyyah? Tulisan ini mengajak pembaca melihat persoalan bukan hanya dari permukaan isu, tetapi dari kedalaman adab, sejarah, dan prinsip organisasi yang selama ini menjadi napas Nahdlatul Ulama.
Di tubuh Nahdlatul Ulama hari ini, angin tak lagi sepoi-sepoi seperti biasanya. Ia berembus keras, membawa kabar, dugaan, amarah, simpati, hingga prasangka. Risalah Rapat Harian Syuriyah PBNU yang beredar pada 20 November 2025 lalu, berisi permintaan agar Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf—Gus Yahya—mundur dalam waktu tiga hari. Bahkan dalam bagian penutup risalah itu tertulis:
“Jika dalam waktu tiga hari Ketua Umum tidak menyatakan pengunduran diri, maka Syuriyah akan memberhentikan dengan tidak hormat.”
Risalah itu ditandatangani oleh Rais Aam, tetapi tanpa tanda tangan Katib Aam. Inilah yang membuat situasi semakin rumit: apakah dokumen itu sah secara prosedur, atau hanya dokumen internal yang belum final?
Isi risalah tersebut menyebut dua alasan pemakzulan: Pertama, terkait diundangnya narasumber dalam Akademi Kepemimpinan Nasional NU yang dianggap memiliki keterkaitan dengan jaringan Zionis internasional. Yaitu: Peter Berkowitz, seorang akademisi dan tokoh kebijakan Amerika yang pernah menjabat posisi strategis dalam lembaga yang dekat dengan Israel. Kedua, dugaan tata kelola keuangan PBNU yang dianggap bermasalah dan berpotensi pelanggaran hukum serta bertentangan dengan pasal 97–99 Anggaran Rumah Tangga NU.
Bagi sebagian orang, dua alasan ini terdengar monumental. Namun bagi sebagian lain, justru terdengar tergesa. Karena jika tuduhan sedemikian serius, bukankah seharusnya melalui mekanisme audit, tabayyun terbuka, dengar pendapat struktural, serta proses formal organisasi? Bukan ultimatum.
Di pihak lain, Gus Yahya merespons dengan tenang namun tegas. Ia menyatakan tidak pernah terbesit niat untuk mundur. Ia menegaskan bahwa amanah Muktamar ke-34 di Lampung adalah mandat lima tahun, bukan tiga tahun, bukan empat tahun, bukan selama suasana baik-baik saja.
Dalam konferensi pers usai bertemu PWNU di Surabaya, ia berkata: “Masa amanah yang saya terima berlaku lima tahun, dan itu akan saya jalankan sampai selesai.”
Ia juga menambahkan bahwa hingga saat pernyataannya disampaikan, ia belum menerima surat resmi apa pun terkait permintaan mundur, dan karena itu ia memandang dokumen yang beredar sebagai sesuatu yang masih perlu diverifikasi keabsahannya, baik isi maupun legalitas digitalnya.
Selain itu, yang paling penting: Gus Yahya menegaskan bahwa Rapat Harian Syuriyah tidak memiliki kewenangan memberhentikan Ketua Umum. AD/ART NU menyebut bahwa pemberhentian Ketua Umum hanya dapat dilakukan melalui Musyawarah Luar Biasa (MLB), bukan oleh satu rapat harian, meski dipimpin Rais Aam sekalipun.
Ini poin fundamental, dan di sinilah NU sedang diuji: Antara prosedur dan otoritas moral. Sebagian warga NU melihat dinamika ini bukan lagi sekadar perbedaan pendapat, melainkan gejala retaknya kepercayaan struktural. Ada yang menilai ini koreksi internal. Ada yang menyebut ini perebutan pengaruh. Ada yang bilang ini hanya klimaks dari polemik proyek tambang yang sejak awal tidak sepenuhnya bulat disepakati. Bahkan ada yang, dengan nada getir, berkata:
“NU tidak pecah soal zionisme atau soal moral. NU pecah karena tambang.”
Entah analisa itu tepat atau tidak, yang jelas bukan substansinya yang paling mencederai jam’iyyah, tetapi cara penyelesaiannya.
Di masa Gus Dur, prahara datang dari luar: dari negara, dari rezim, dari tekanan politik. Tetapi NU tetap tegak karena para pemegang amanah di dalamnya memilih untuk bersatu menjaga marwah organisasi.
Ironisnya, hari ini tekanan datang bukan dari luar, tetapi dari sesama pengampu amanah. Dan bagi banyak Nahdliyin: ini bukan sekadar kekisruhan; ini luka batin organisasi. Pertanyaan yang muncul di ruang publik, grup WA, warung kopi, dan majelis pengajian sederhana adalah sama:
- Mengapa harus sekarang, padahal muktamar tinggal menghitung bulan?
- Jika benar terjadi pelanggaran serius, mengapa tidak ditempuh jalur organisasi yang transparan dan tertib?
- Apakah ultimatum ini untuk kebaikan organisasi, atau hanya untuk memastikan bahwa Gus Yahya tak sempat maju lagi dalam muktamar nanti?
Pertanyaan ini pelan, tetapi terdengar.
Dalam tradisi NU, konflik adalah ujian akhlak. Dan ujian akhlak terbesar bukan ketika kita benar, tetapi ketika kita berkuasa untuk menghukum orang yang kita anggap salah. Karena itu, narasi yang paling penting hari ini bukan: Siapa yang menang? Tetapi: Bagaimana NU tetap utuh?
Warga NU perlu mengambil sikap paling selamat: tidak ikut terbakar. Karena ketika dua gunung bergerak, yang bijak bukan memilih salah satunya, tetapi menjauh agar tidak tertimpa bebatuan.
NU tidak boleh berubah menjadi gelanggang friksi kekuasaan. NU bukan politbiro. NU bukan ruang dagang. NU bukan sekadar struktur. NU adalah rumah peradaban, tempat umat menemukan kedamaian batin.
Karena itu, saya berharap: Semoga pimpinan PBNU kembali bertemu bukan dengan ego, tetapi dengan hati. Semoga keputusan apa pun nanti tidak lahir dari amarah atau dendam, tetapi dari maslahat dan adab organisasi yang diwariskan para muassis.
NU terlalu besar untuk tumbang hanya karena soal tambang. NU terlalu tua untuk retak hanya karena satu surat. Semoga badai ini tidak menyisakan luka, tetapi hikmah. Semoga Allah Swt. melembutkan hati yang keras, dan menyatukan yang berjarak. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.