Pencabutan kartu pers seorang jurnalis CNN Indonesia oleh pihak Istana setelah mengajukan pertanyaan soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto kembali memantik perdebatan publik. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah seorang wartawan tidak boleh bertanya kritis kepada Presiden? Adakah aturan hukum yang secara spesifik membatasi pertanyaan wartawan?
Mari kita mulai dari kronologi. Dalam sesi tanya-jawab, wartawan CNN menanyakan secara langsung kepada Presiden Prabowo Subianto soal program MBG yang menuai banyak kritik, khususnya terkait anggaran triliunan rupiah yang dianggap membebani negara. Pertanyaan itu sebenarnya relevan, mengingat MBG merupakan salah satu janji kampanye utama Pak Prabowo dan kini mulai dipertanyakan kelayakan maupun transparansinya.
Kasus ini menjadi menarik karena sesungguhnya Pak Prabowo telah merespons pertanyaan itu secara terbuka, meskipun jawabannya mungkin tidak memuaskan semua pihak. Justru setelah jawaban itu keluar, langkah yang diambil Istana berupa pencabutan kartu liputan wartawan menimbulkan tanda tanya besar: apakah yang dianggap bermasalah adalah substansi pertanyaannya, cara penyampaiannya, atau dampak dari publikasi jawabannya?
Tidak Ada Larangan Bertanya Kritis
Dalam kerangka hukum Indonesia, tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang wartawan mengajukan pertanyaan kritis kepada pejabat publik. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Bahkan, Pasal 4 ayat (3) menuliskan secara jelas: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Lebih jauh, kode etik jurnalistik juga menekankan bahwa wartawan wajib menguji informasi, memberitakan secara berimbang, serta tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi. Dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik disebutkan: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”
Artinya, selama pertanyaan yang diajukan relevan dengan kepentingan publik dan tidak mengandung fitnah, wartawan sah-sah saja mengajukannya, bahkan kepada Presiden sekalipun. Pertanyaan soal MBG jelas masuk kategori itu: publik berhak tahu bagaimana program raksasa dengan anggaran fantastis itu akan dijalankan.
Dalam penjelasan yang dikutip Kompas, pihak Istana berdalih bahwa pencabutan kartu liputan bukan bentuk pembatasan kebebasan pers, melainkan penertiban tata tertib liputan. Istana menyebut ada “aturan main” dalam forum resmi, termasuk sopan santun bertanya. Namun dalih ini terasa janggal. Jika memang ada pelanggaran prosedural, mestinya cukup ditegur, bukan langsung mencabut akses liputan yang justru bisa dimaknai sebagai tindakan represif.
Lebih jauh, penjelasan Istana mengesankan bahwa masalahnya bukan pada isi pertanyaan, melainkan gaya bertanya. Akan tetapi, publik bisa menilai sendiri melalui video yang beredar: pertanyaan wartawan disampaikan dalam nada yang wajar, tidak kasar, apalagi menyerang pribadi Presiden.
Kasus ini punya implikasi serius. Pertama, ia bisa menimbulkan efek gentar (chilling effect) bagi wartawan lain. Jika satu pertanyaan kritis saja bisa berujung pencabutan kartu liputan, bagaimana dengan yang lebih tajam? Kedua, citra pemerintahan Prabowo yang sedang merintis langkah awal bisa tercoreng sebagai kekuasaan yang anti kritik. Alih-alih memperkuat legitimasi politik, tindakan seperti ini justru bisa merusak kepercayaan publik.
Ketiga, publik menjadi semakin penasaran : apakah pemerintah hendak menutup ruang transparansi soal program MBG?. Padahal, program ini melibatkan anggaran sangat besar dan tentu membutuhkan mekanisme pengawasan ketat. Menghalangi pertanyaan wartawan hanya akan mempertebal dugaan adanya hal-hal yang ingin ditutup-tutupi.
Dewan Pers berulang kali menegaskan bahwa kerja jurnalistik tidak boleh dihalangi dengan alasan apapun, kecuali jika wartawan melanggar hukum pidana, seperti menyebarkan ujaran kebencian atau fitnah. Dalam banyak kasus sebelumnya, Dewan Pers menjadi mediator antara media dan pihak yang keberatan, tanpa harus mencabut akses wartawan terhadap sumber berita. Karena itu, langkah Istana dalam kasus ini dapat dipandang sebagai bentuk penyempitan ruang demokrasi, alih-alih penegakan aturan.
Di negara-negara demokratis, pertanyaan kritis wartawan justru dianggap bagian sehat dari mekanisme akuntabilitas publik. Presiden Amerika Serikat atau Perdana Menteri Inggris, misalnya, terbiasa menerima pertanyaan tajam, bahkan cenderung keras, dari jurnalis. Reaksi yang muncul biasanya berupa klarifikasi, bukan pembungkaman. Indonesia sebagai negara demokrasi mestinya bisa mencontoh hal ini, bukan malah mundur dengan mempersempit ruang pers.
Pers sebagai Pilar Demokrasi
Kebebasan pers bukan sekadar hak wartawan, melainkan kepentingan publik. Wartawan adalah perpanjangan tangan masyarakat untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak bisa diajukan langsung oleh rakyat kepada penguasa. Dalam hal ini, pertanyaan wartawan CNN kepada Prabowo sejatinya adalah suara publik yang ingin tahu: bagaimana memastikan program MBG tidak membebani APBN dan tepat sasaran?
Jika pers dibungkam, maka hilanglah salah satu mekanisme check and balance dalam demokrasi. Kita kembali ke pola lama, di mana kekuasaan hanya ingin mendengar pujian dan menyingkirkan kritik. Padahal, sejarah menunjukkan: kekuasaan yang alergi terhadap kritik cenderung melahirkan kebijakan yang keliru.
Kasus pencabutan kartu liputan wartawan CNN ini bukan sekadar soal individu jurnalis yang kehilangan akses ke Istana. Ini adalah ujian besar bagi demokrasi kita: apakah kebebasan pers benar-benar dihormati, atau hanya slogan belaka?
Sebagai masyarakat, kita tidak boleh diam. Kebebasan pers adalah jantung demokrasi. Jika hari ini wartawan dibungkam, besok suara rakyat bisa ikut terkunci. Maka, yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan membatasi pertanyaan wartawan, melainkan menjawabnya secara transparan. Justru dari pertanyaan kritis itulah kualitas demokrasi kita diuji.