“Gazze'deki soykırımı durdur”
Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, “hentikan genosida di Gaza”. Seruan dalam Bahasa Turki itu saya temukan di dekat Galata Tower Istanbul, di mana poster besar membentang bertuliskan seruan dan alasan detail mengapa komunitas lokal menentang keras serangan Israel ke Palestina.
Tak hanya di pusat keramaian, reaksi serupa terhadap isu Palestina mudah ditemukan di mana saja—bahkan di toilet sekalipun. Stiker “Free Palestine” berserakan, menandakan bahwa warga Turki geram atas tindakan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina, khususnya di Gaza. Dukungan warga Istanbul terhadap Palestina pun tak lagi sembunyi-sembunyi. Di berbagai sudut kota, bendera Palestina berkibar bebas, termasuk di menara Blue Mosque, berdampingan gagah dengan bendera merah negara penerus Kekaisaran Ottoman itu.
Dalam beberapa kesempatan, warga Turki bergerak turun ke jalan untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Termasuk pada 1 Januari 2025 lalu, di mana ratusan ribu peserta menggelar demonstrasi besar-besaran di Jembatan Galata untuk memprotes tindak kejahatan perang Israel yang sudah menewaskan lebih dari 67 ribu jiwa.
Mengikuti warga Turki yang keras dalam menyuarakan dukungan terhadap Palestina, presiden mereka, Recep Tayyip Erdogan pun bereaksi sama. Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB ke-80, ia tidak hanya menggecam perang Israel di Gaza, tetapi juga mengulangi ancamannya: Turki akan memutus jalur perdagangan dan kerja sama dengan Israel jika kekerasan di Gaza tidak segera dihentikan. Lebih jauh, Erdoğan menantang PBB secara langsung, menuding tatanan internasional turut bersekongkol dalam menghancurkan Gaza dan sengaja membiarkan wilayah Palestina hancur lebur tak bersisa.
Reaksi pemerintah Turki yang terlihat naik pitam terhadap Israel nyatanya bukan sebatas isu kemanusiaan semata. Di balik pidatonya di sidang PBB, sejumlah peneliti termasuk Salim Cevik dari pusat riset Timur Tengah di Amerika Serikat menilai bahwa Turki masih memainkan politik dua kaki. Meski berulang kali mengancam akan mengentikan perdagangan dengan Israel di atas kertas, di lapangan realitas menunjukkan wajah yang berbeda. Kerja sama terutama perdagangan antara Turki dan Israel masih berjalan hingga sekarang, meski diam-diam dan melalui lingkaran dekat orang dalam Erdogan.
    
    Gaza, Permulaan Konflik
Yang membuat pemerintah Turki mengambil langkah keras dalam hubungan Israel justru berkenaan dengan serangkaian eskalasi regional yang mengubah krisis diplomatik pasca-Gaza menjadi konfrontasi geopolitik penuh. Awalnya, ketegangan berakar pada keprihatinan moral dan kemanusiaan atas perang Israel di Gaza, yang dikutuk publik Turki sejak hari pertama.
Presiden Erdoğan sontak merespons tekanan domestik dengan langkah simbolis seperti penutupan ruang udara dan penangguhan perdagangan—meskipun parsial dan sering dialihkan melalui pihak ketiga. Namun, deteriorasi hubungan kini melampaui Gaza, mencakup serangan Israel terhadap Iran, Suriah, dan—paling krusial—delegasi Hamas di Qatar, sekutu strategis terdekat Turki.
Di Suriah, Turki mendukung terbentuknya pemerintahan pusat yang kuat untuk stabilitas dan rekonstruksi yang menguntungkan ekonomi domestik mereka, sementara Israel menginginkan Suriah lemah dan terfragmentasi. Tak berhenti di Suriah saja, campur tangan Israel kian meluas ketika Pemerintahan Netanyahu memutuskan untuk menyerang Qatar, menunjukkan Israel mengabaikan garis merah regional dan payung keamanan AS, sehingga mengancam pengaruh Turki secara langsung.
Walau Israel semakin menyalakan api konflik, baik Israel dan Turki kemungkinan besar tidak akan melakukan konfrontasi militer langsung. Pertama, meski memiliki keanggotaan NATO, Turki tak sepenuhnya percaya aliansi akan berpihak pada mereka. Terlebih pengalaman masa lalu, seperti insiden jet Rusia 2015 atau serangan di Suriah 2020—membuat Ankara ragu akan dukungan penuh anggota NATO.
Selain itu, pihak Turki paham betul bahwa armada militer udara mereka kian menua dan kemampuan serangan jarak jauhnya pun tak sebanding dengan Israel yang banyak di back-up oleh Amerika Serikat. Hal ini tentu saja semakin membatasi opsi konfrontasi langsung terhadap Israel. Meski tampak sama kuat, bentrokan langsung juga bukan pilihan tepat bagi Israel, terlebih Turki bukan musuh eksistensial seperti Iran. Sehingga pilihan berkonflik langsung secara militer akan terlalu mahal, berisiko, dan tidak sepadan dengan tujuan strategis Israel saat ini.
Politik Dua Kaki Turki dan Israel
Baik Turki maupun Israel kini memanfaatkan isu Gaza untuk meredam gejolak domestik masing-masing. Netanyahu, yang terbelit skandal korupsi, terus menggempur Gaza dan negara-negara tetangga demi mempertahankan kepercayaan publik—khususnya dari basis sayap kanan. Sementara itu, respons keras masyarakat Turki terhadap Gaza memaksa pemerintah memutus kerja sama dengan Israel.
Di permukaan, kedua negara saling serang melalui pernyataan publik yang keras. Namun realitas di lapangan berbicara lain, serangan langsung tampaknya bukan opsi. Bahkan yang masih nyata terus dilakukan adalah perdagangan, dan bentuk kerja sama lain yang tentu dilakukan diam-diam agar gejolak dalam negeri mereka tetap teredam.