Nama Soeharto kembali mencuat dalam daftar nominasi Pahlawan Nasional. Hal ini tentu membuat geram kalangan Nahdliyyin. Bagaimana tidak? sudah beberapa kali NU dijegal secara terang-terangan pada masa Orba. Anehnya di tengah derasnya arus gelombang penolakan tersebut, ada pihak yang malah mendukung atas pencalonan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Memang tidak dapat dipungkiri jika jasanya bagi bangsa ini besar melalui program-program raksasa re–pelita, dan lain-lain. Namun tidak menutup fakta, jika Soeharto masih belum layak menyandang gelar tersebut mengingat banyak beberapa kasus kemanusiaan yang terjadi pada masa Orba tak lepas dari intimidasi dan kekerasan. Maka dari itu melalui tulisan ini kami merangkum dosa-dosa Soeharto di era Orde Baru (Orba) yang ada sangkut pautnya dengan NU dan Gus Dur pada masanya.
Dosa Pak Harto antara lain melakukan intimidasi dan kekerasan pada partai NU & PNI menjelang pemilu tahun 1971, Ken Ward (Gading : 2024) dalam bukunya menerangkan bahwa beragam intimidasi muncul dari kalangan ABRI menjelang pemilihan umum tahun 1971. Bahkan tidak tanggung-tanggung, dalam kampanyenya. Golkar sebagai partai adikuasa dalam kampanyenya menggembor-gemborkan bahwa, “Nabi Muhammad adalah karyawan agung”. Sungguh ini merupakan suatu penggambaran nyata bahwa kala itu agama dengan entengnya dijadikan alat politik secara terang – terangan (hal. 77).
Contoh lainnya tergambar pada bulan April 1971 bahwa banyak laporan terhadap beberapa kantor PCNU di beberapa daerah mengenai banyaknya anggota NU di daerah mengalami penahanan, pemukulan, dan pengancaman oleh anggota Babinsa dan staff Koramil. Mereka yang dari kalangan NU struktural dituduh melakukan berbagai pelanggaran kepada Golkar, ada juga beberapa Hansip dari kalangan NU yang dipaksa bergabung ke Golkar, dan laporan yang paling parah adalah ada anggota struktural NU yang dituduh membunuh aktivis Golkar serta mengancam mereka apabila NU menjadi pemenang dalam pemilu tahun 1971 (hal. 153).
Tentu ini merupakan bukti nyata bahwa ABRI yang kala itu menjadi tangan kanan besinya Soeharto melakukan berbagai kekerasan agar Golkar menjadi pemenang dalam Pemilu tahun 1971.
Dosa lainnya, Soeharto melakukan intervensi ke beberapa ormas dan parpol guna menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal yang harus diterapkan pada tiap organisasi. Menurut Bruinessen (LKiS: 1994) tuntutan pemerintah (Orba) demikian telah menimbulkan kecurigaan dalam benak para kiai jikalau pemerintah hendak mengganti Islam dengan Pancasila (hal. 135). Hal ini pula yang menimbulkan perdebatan sengit antara para Kiai pada Munas Allim Ulama’ di Ponpes Sukorejo, Situbondo di tahun 1983 atau menjelang muktamar NU ke 27 pada tahun 1984. Ada tokoh ulama yang pro dan ada yang kontra perihal ini, seperti KH. Jauhari Zawawi Kencong, Jember dan KH. Misbah Zainal Musthofa Bangilan, Tuban yang berada di pihak kontra saat itu. Bahkan Kiai Misbah sampai menuliskan uneg-uneg atas gejolak sosial yang terjadi ini pada kitab Tafsirnya “Al Iklil fii Ma’anil Qur’an Tanzil”.
Beliau menerangkan bahwa penerimaan terhadap Pancasila sebagai azas tunggal dan utama dalam berorganisasi sejatinya sungguhlah melanggar kaedah hukum syari’at. Perdebatan sengit ini pada akhirnya disudahi dengan keputusan K.H. Achmad Shiddiq bahwa Pancasila hanya sebagai dasar dalam bernegara dan dalam berorganisasi tetaplah berlandaskan kepada azas Islam ala Ahlusunnah Wal Jama’ah.
Dosa lain pak Harto adalah dengan melakukan upaya berbagai cara yang dikerahkan Orba dan kroninya untuk membunuh Gus Dur sebagai tokoh Ketua Tanfidziyah NU hasil muktamar tahun 1984 di Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo dan muktamar ke 29 di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat 1994, karena beliau paling vocal dalam mengkritik berbagai kebijakan Orba di media massa serta menjadi dari bagian oposisi kala itu. Upaya tersebut beberapa kali dilakukan oleh kroni Orba yang salah satunya terjadi di tahun 1995 pasca gagalnya Orba mengkudeta Muktamar Cipasung melalui Abu Hasan dan Gus Dur pun terpilih kembali menjadi Ketua Tanfidziyah.
Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh K.H. Udik Arif Muzayyin Sidoarjo bahwa upaya percobaan pembunuhan Gus Dur dilakukan dengan membuat skenario kecelakaan pada mobil pribadi milik Gus Dur. Karena saat itu Gus Dur bertukar mobil dengan kawan kiai-nya dari Ponpes Darul Ulum Jombang yang bernama Kiai Rifa’i Romly. Maka ketika mobil Gus Dur yang dinaiki oleh Kiai Rifa’i ada dalam sebuah perjalanan serta mengalami kecelakaan. Bukannya Gus Dur yang menjadi korban, melainkan Kiai Rifa’i yang akhirnya menjadi korban. Peristiwa itupun turut merubah dinamika kepemimpinan Mursyid TQN di Ponpes Darul Ulum Jombang, mengingat Kiai Rifa’i kala itu menjadi mursyid sentral TQN meneruskan perjuangan kakaknya K.H. Musta’in Romly dan Abahnya K.H. Romly Tamim.
Adapun dosa Soeharto yang lain adalah tragedi dukun santet yang terjadi di Banyuwangi pada kurun waktu 1998-1999. Mengutip dari BBC, setidaknya ada 250 orang yang dituduh dukun santet. Dari yang semula hanya beberapa orang pintar kemudian sasarannya meluas menjadi para kiai dan guru ngaji yang ada di karisidenan Besuki/Tapal Kuda. Penulis ketika nyantri dahulu sempat diceritakan oleh tukang masak di pesantren kami (Ponpes Minhajut Thullab, Krikilan, Glenmore, Banyuwangi) bahwa K.H. Thoha Muntaha Mannan kala itu sempat menjadi sasaran target pembunuhan “ninja” (yang mengeksekusi terduga dukun santet) yang bergerak secara massif dan terstruktur di malam hari.
Ninja tersebut dipergoki masuk ke kamar istri Kiai Thoha dan bergerak secepat kilat di atas genteng ndalem dan menghilang secara misterius di tengah kegelapan malam. Tentu pelaku eksekutor ini menurut penuturan beberapa kiai di Banyuwangi kala itu kalau tidak dari kalangan ABRI dari siapa lagi. Karena kelincahan dan kegesitannya ninja tersebut bergerak secara terstruktur serta tanpa meninggalkan jejak. Tentunya tidak ada masyarakat umum kala itu yang bergerak secara terlatih seperti mereka. Maka itulah sekelumit dosa-dosa Soeharto yang dilakukan kepada NU dan kesimpulannya beliau tidak layak mendapatkan gelar pahlawan.
Mengutip dawuh Gus Mus: Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah.