Badai yang mendarat di Sumatra bagian utara dan barat itu yang paling dahsyat terjadi pada tanggal 27 November 2025.
Sebagian area terdampak pernah aku tapaki jalurnya. Meskipun tidak sering, memoriku masih mengingat beberapa area yang pernah aku lewati.
Bahkan pada saat kejadian, di periode 26 sampai dengan 28 November 2025 aku sedang melakukan kunjungan bisnis di Sumatra Barat.
Aku dari Medan yang waktu terbang menuju Padang warna langit sudah gelap dan hujan rintik-rintik tak berhenti. Alhamdulillah tidak terjadi turbulensi pesawat sama sekali dan aku mendarat dengan selamat di Padang.
Keesokan harinya, aku berangkat ke Bukittinggi melalui Padang Pariaman dan Padang Panjang. Waktu itu hujan angin tak henti-hentinya sedari pagi.
Aku lewati jembatan Gunung Nago dan Jembatan Kembar di kota Padang siang harinya. Luapan air sungai yang begitu pekat begitu mencekam. Dan di malam harinya kedua jembatan itu terputus.
Aku berhenti sejenak di warung makan di bundaran Padang Pariaman. Langit pekat dan hujan pun tidak berhenti. Aku lanjutkan berkunjung ke beberapa pelanggan di Padang Pariaman, yang ternyata tempat ini terdampak luapan banjir hebat malam harinya.
Sore menjelang pukul 4, aku hampir masuk kota Padang Panjang melewati Lembah Anai yang begitu eksotik dengan kelokan dan air terjunnya di hari-hari normal.
Sore itu luapan air begitu dahsyat hampir tumpah ke jalan raya. Dan air terjun yang menggelayut di Lembah Anai pun ikut melebar dan deras menghunjam sungai. Malam dini harinya luapan air itu membuat jalur Bukittingi ke Kota Padang putus total.
Aku yang keesokan harinya seharusnya kembali ke Kota Padang dari Bukittingi harus berpikir ulang dan akhirnya aku putuskan berbelok saja ke Pekanbaru yang sebelumnya aku dapati berita kalau sedang tidak diguyur hujan.
Keesokan harinya, berita deras dari Sumut dan Aceh bahwa dua area tersebut terdampak dahsyat. Bahkan Kota Medan tempat tinggalku sementara, dilanda banjir besar.
Tapanuli Tengah dan Selatan dilanda banjir bandang dan tanah longsor dahsyat dan begitu mencekam. Tahun lalu aku telusuri jalanan ini hampir 12 jam lamanya dari Medan.
Sampai hari ini, aku mendengar dari salah satu timku yang bertugas di Aceh, bahwa beberapa anggota kolega distributor juga terjebak 3 hari di pengungsian di Takengon Aceh.
Mereka yang pergi ke Takengon dalam rangka dinas akhirnya tinggal di pengungsian dengan logistik yang sangat terbatas.
Karena kehabisan makanan dan minuman layak, mereka harus berjalan kaki dari Takengong menuju Lhokseumawe, tempat asal mereka.
Rute ini terkenal cukup berat jika dilalui kendaraan bermotor dan butuh waktu sekitar 6 jam, apalagi dengan berjalan kaki. Tanpa logistik memadai dan sinyal yang timbul tenggelam.
Upaya dilakukan untuk menjemput mereka, tetapi belum tampak titik penjemputan yang bisa dijangkau.
Cerita ini pasti banyak yang serupa atau bahkan lebih dahsyat dialami masyarakat lain yang terdampak. Bahkan Gubernur Aceh dengan tangis dan terbata-bata menyebut ada 4 kampung di Aceh yang hilang.
Peristiwa dahsyat dan memilukan ini mungkin dianggap biasa saja bagi mereka yang belum pernah menapaki area terdampak dan bahkan ikut merasakan langsung bencana ini.
Menyalahkan datangnya badai Senyar sebagai sebab tanpa menilik perlakuan dzalim manusia terhadap alam. Hutan sebagai jangkar dan penyerap air digunduli sedemikian rusaknya.
Tumpukan dosa ekologis yang berlindung atas nama mulianya pembangunan untuk memberikan tetesan manfaat bagi masyarakat. Padahal secara tidak sadar yang dibangun adalah bencana.
Sudah ada pernyataan dari pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan hutan, jika peristiwa ini akan menjadi momen penataan total atas pengelolaan hutan.
Tapi apakah ini akan menjadi pernyataan penenang saja atau benar benar menjadi momen pertobatan ekologis? Mari kita catat dan lihat sampai dimana level keseriusannya.
Semoga saudara saudara kita yang terdampak diberikan kekuatan dan aktivitas masyarakat terdampak segera pulih seperti sedia kala.