Perjalanan suluk atau spiritual kali ini entah yang ke berapa kalinya bagi saya. Namun ini adalah bagian dari lelaku, sebuah perjalanan menuju diri.
Pada kesempatan kala itu, saya mampir atau singgah di sebuah makam yang tak jauh dari pemukiman warga. Lokasinya terletak di antara hamparan sawah, dan saya melihat ada gundukan bukit kecil serta masih dijumpai puing-puing batu candi.
Berada di tempat itu, terdapat sebuah makam dari tokoh yang perannya sebagai penyebar dakwah dan membangun tatanan peradaban membawa iman Islam di wilayah tersebut.
Tak heran juga namanya tersemat “Quthbuddin” sebagai pancering agama atau istilah lainnya menjadi bagian dari dewan wali.
Sowan atau ziarah ke makam yang masyhur ditemukan dan pernah diziarahi oleh Gus Dur ini menjadi spot yang kerap dikunjungi, seperti kutipan di awal tadi sudah tidak ada hitungannya, maklum saja seorang pecinta tentu tak dapat menghitung dan tak mungkin mengkalkulasi dengan apa yang dilakukannya, soalnya urusannya adalah katresnan atau cinta.
Waktu itu suasana makam yang sepi, hanya segelintir orang yang bergantian ziarah, ketika penulis berziarah dengan seorang kawan hanya menjumpai sekitar 2 sampai 3 orang saja. Lalu kami duduk bersimpuh di depan kijing dan nisan menyulutkan api untuk membakar wewangian agar menambah khusyuk dan nyamuk pun tidak mendekat.
Singkat cerita, setelah selesai memanjatkan kalimah toyyibah dan doa, kami duduk sebentar sembari ngobrol singkat, sembari memandang bangunan yang kini juga di makam tersebut sudah beberapa kali diperbaiki dan dibangun.
Mulai dari nisan dan kijing yang ditinggikan, tempat wudhu dan WC hingga jalan maupun parkiran yang sudah rapi dan luas, sehingga bagi yang membawa kendaraan mobil atau bus kecil sudah bisa terjangkau di antara hamparan sawah warga di Candirejo Wonosobo tersebut.
Kembali pada bahasan seperti serakan runtuhan batu-batu seperti candi itu, diceritakan menjadi bagian dari puing-puing bekas pondok pesantren dari Syekh Abdullah Quthbuddin. Menurut penuturan warga sekitar Candirejo Mojotengah, Wonosobo ini, Mbah Qutbuddin ini juga menjadi tokoh yang berdakwah dengan tarekat yang dibawanya.
Sementara itu, selepas kami pulang ziarah dan sempat ngobrol ngalor-ngidul dengan seseorang yang kerap berziarah, ternyata ada kisah yang nyambung dengan cerita Syekh Abdullah Quthbuddin.
Terdapat kisah yang diceritakan salah seorang pelaku spiritualan suatu hari ketika sedang ngobrol perihal makam Syekh Abdullah Quthbuddin, kala itu, ia mengisahkan pernah bermimpi bertemu dengan sang sohibul makam di Candirejo itu.
Ketika sedang tidur, dalam mimpinya di tengah malam ia seperti sedang berada di makam Mbah Abdullah Quthbuddin, di Candirejo, melalui mimpinya itu ia seperti duduk dan sempat ngobrol dengan mbah Qutbuddin.
Singkat kisah, dari kisah tersebut tentu kita tidak bisa mengamini, dan membenarkan atau menyalahkan, soalnya hal ini termasuk di luar nalar logika kita. Hal yang disiapkan salah satunya dengan cara mendengarkan obrolannya, menghargai, tentu apa yang dibicarakannya bukan untuk mencari validasi tertentu, pastinya ada hikmah atau pesan yang dapat diambil pelajarannya.
Namun ketika diambil hikmah yang bisa dijadikan pelajaran salah satunya selaras dengan sebuah sifat wajib rasul.
Kenapa demikian, sebab dalam sifat wajib rasul sendiri memberikan pelajaran yang bisa petik pelajaran berkesan dari sifat Amanah, Fatonah, Tabligh hingga Shidiq. Empat kriteria ini bisa menjadi pijakan ketika membaca hingga mengklasifikasikan seorang ini sudah bisa dipegang apa yang diobrolkan.
Tentu kelihatannya sangat berat, tapi nyatanya begitu, seorang yang akan bisa mencapai tingkatan tertentu mestinya sudah selesai dengan kasat mata seperti urusan syariatnya dsb, hingga ketika berbicara ia menyampaikan dengan benar (shidiq) secara paningal atau kasat mata serta jujur tidak melebihkan, dan ketika diberi sebuah pesan atau Amanah juga akan disampaikan sesuai tempatnya, momentumnya dan jelas menjadi amsal atau hikmah tertentu.
Lanjut pada tabligh hingga fatonah, seseorang cerdas bakal menyampaikan sesuatu pesan dari kejadian yang sempat dialaminya ini memberikan efek apa, memberikan pelajaran yang dapat dipetik olehnya hingga maksud ketika ditularkan kepada orang lain.
Istilah Jawa, empan papan, sesuai tempatnya situasi dan kondisi, sehingga ketika orang yang mendengarkan obrolannya, terutama perihal bertemu dengan tokoh A, tokoh B, misal benar bertemu tentunya tidak serta merta langsung disampaikan kepada khalayak ramai, entah itu bagian dari untuk pengembangan pribadi atau untuk urusan kemaslahatan umat.
Namun ukuran benar salahnya sebuah mimpi atau bertemu dengan siapa pun itu, ketika dicandra atau dipandang dengan kacamata orang awam sebenarnya agak sederhana, yaitu kepada diri sendiri ini pesannya bisa menjadi pijakan untuk berbuat lebih baik, tetap iman-islam, hatinya dan pikirannya jernih, khusnudzon ketika memandang suatu hal dan lain sebagainya.
Soalnya, perihal bertemu sosok, bertemu siapa saja atau ranahnya pada frekuensi mimpi perlu didalami dengan segala kelimuan, atau bahkan ketika bermimpi ketemu Kanjeng Nabi misalnya, lalu timbul pertanyaan kalau sudah ketemu terus gimana? Hal apa yang perlu kita perbaiki atau digali.
Bahkan ada celetukan guyonan, kalau hanya ketemu Kanjeng Nabi, Abu Jahal juga zaman dahulu sempat ketemu beliau, jadi esensi yang penulis ulas tersebut bukan meremehkan sesuatu, tetapi untuk mengolah cara pandang agar tidak nyaman atau laku “merasa” ini hingga ranah urusan sudah selesai dengan suatu hal yang orang lain belum menjangkaunya.
Sebab tahapannya kita semua ini senantiasa pada jalur suluk perjalanan, hikmah yang dapat dipetik dari panjang lebar tulisan di atas ya kembali lagi bahwa itu semua bagian dari proses mencari dan memperbaiki hal apapun itu, yang paling nyambung sebenarnya adalah perjalanan ke dalam diri kita masing-masing (muhasabah diri). Wallahu a’lam bissowab.