Jika Anda bertandang ke kota Kairo, sempatkanlah untuk berkunjung ke Miqyas al-Nil atau Nilometer yang terdapat di pulau Raudha (Roda Island) di sungai Nil.
Di Miqyis al-Nil, kita bisa menikmati keindahan arsitektur bangunannya dan mempelajari kecanggihan teknologinya. Bangunan ini didirikan untuk mengontrol debit air sungai Nil dan didistribusikan ke seluruh kota Kairo sejak abad ke-9 M. Namun saat ini sudah tidak berfungsi lagi. Karena itu, dalam sejarahnya, Miqyas al-Nil pun tercatat sebagai salah satu “mukjizat arsitektur” masa peradaban Islam klasik yang sampai saat ini kemegahan dan keagungannya masih bisa disaksikan dan dinikmati.
[caption id="attachment_205502" align="alignleft" width="320"]
Patung Ahmad Al-Farghani (arsitek Nilometer) di kawasan Pulau Rhoda (Foto: Ginanjar Sya'ban)[/caption]
Miqyas an-Nil (Nilometer) didirikan pada tahun 247 H (861 M) oleh insinyur Muslim kesohor pada zamannya, Ahmad ibn Muhammad ibn Katsir al-Farghani (Ahmad al-Farghani, dikenal juga di dunia barat dengan Alfraganus the Astronomer), atas perintah khalifah al-Mutawakkil ‘Alallaah. Saat itu, Mesir menjadi wilayah bagian kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Sebelum dibangun bendungan tinggi (Sidd Ali) pada tahun 1960-an, volume air sungai Nil tidak stabil. Jika musim banjir tiba, volume air sungai Nil sampai meluber ke lembah-lembah di sekitarnya yang berjarak ratusan meter.
Untuk menyiasati agar luapan air sungai Nil itu tidak menggenangi wilayah pemukiman, maka dibuatlah kanal-kanal, kolam besar (birkah), dan danau buatan (buhairah) yang disebar di beberapa titik di kota Kairo Lama.
Sayangnya, sekarang hampir semua kanal, kolam besar dan danau buatan itu sudah terkubur. Sementara di daerah non-pemukiman, banjir sungai Nil justru menjadi berkah tersendiri, sebab banjir juga berarti membawa lumpur, tanah, dan unsur-unsur kesuburan lainnya, yang menjadikan wilayah-wilayah yang semula berupa padang gersang menjadi wilayah subur yang siap untuk ditanami.
Nah, Nilometer berfungsi sebagai alat dan tempat mengukur debit volume air Nil. Dari debit volume air itulah pemerintah kemudian memberikan kebijakan yang berkaitan dengan masalah perairan dan perladangan, baik di musim kering atau pun musim banjir. Ketika musim banjir tiba, dari debit itu juga pemerintah memberikan pengumuman tentang persiapan menghadapi banjir, dibukakannya pintu-pintu kanal dan danau buatan.
Melalui volume air di Nilometer, pemerintah mengumumkan tanaman apa saja yang layak untuk ditanam. Hal ini karena volume air sangat mempengaruhi kadar dan kualitas tanah, habitat tanam serta jenis tanaman. Dengan Nilometer juga, pemerintah menetapkan ukuran volume air yang kemudian didistribusikan ke ladang-ladang.
Dari ukuran itulah pemerintah kemudian menetapkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh para pemilik ladang.
Nilometer dibangun di ujung pulau Raudhah (Rhoda), wilayah Kairo Selatan. Di seberang kawasan Nilometer terdapat ibu kota Mesir-Islam pertama, Fustat, yang didirikan oleh Sahabat Nabi, Amr ibn Ash, juga komplek pemukiman zaman Romawi yang meliputi benteng Babylon, komplek Gereja Tua Margirgis dan Sinagog ibn Ezra.
Nilometer merupakan perpaduan antara kematangan dan keakuratan ilmu matematika dan geologi dengan keindahan dan kecanggihan ilmu arsitektur.
Uniknya, dari awal mula didirikan hingga sekarang, Nilometer belum banyak mengalami perubahan dan pemugaran, masih seperti bentuk aslinya seperti ketika pertama kali didirikan, kecuali bentuk kubah dan dinding luarnya saja.
Dari luar, Nilometer tampak seperti bangunan yang menawan nan kokoh, berbahan batu granit berwarna cokelat, berbentuk kubus simetris. Di tengah-tengahnya menjulang kubah berukuran sedang yang puncaknya berbentuk kerucut.
Sekilas, bentuk “kubah kerucut” ini tampak seperti kubah masjid peninggalan dinasti Seljuk yang banyak tersebar di Asia Minor (Turki).
Di bagian dalamnya, Nilometer terdiri atas sebuah lubang besar di bawah tanah, membentang di bawah permukaan air Sungai Nil. Lubang tersebut terhubung dengan Sungai Nil oleh tiga terowongan pada ketinggian yang berbeda-beda. Terdapat 45 tangga dalam terowongan dengan lebar masing-masing 24 cm. Fungsi tangga-tangga tersebut untuk mengukur ketinggian air Sungai Nil.
Di tengah-tengah lubang terdapat tiang berbahan marmer putih yang disebut al-‘Amud al-Mudarraj. Bagian atas tiang marmer tersebut bertemu dengan balok kayu. Untuk mengukur volume air, tiang marmer tersebut dibagi menjadi 19 hasta (1 hasta sama dengan 1/2 meter).
[gallery size="large" columns="2" link="file" type="grid" ids="205500,205503"]
Dinding bagian dalam Nilometer juga dihiasai oleh berbagai macam ornamen yang menawan. Di keempat sisi terdapat hiasan berbentuk mihrab, dan di beberapa bagian di sekeliling dinding juga terdapat ukiran kaligrafi bercorak kufi, menggambarkan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan cocok tanam dan perairan. Ukiran kaligrafi bercorak kufi ini juga tercatat sebagai bentuk kaligrafi tertua yang ada di Mesir.
Bagian dalam kubah juga dihiasi dengan kaligrafi bercorak tsuluts serta zukhruf dan zarkash dengan berbagai macam bentuk yang sangat eksotik, dipoles dengan warna-warni yang sangat serasi, yang semakin menguatkan kesan keindahannya.
Itu peninggalan peradaban Islam masa keemasan di Kairo, Mesir, yang salah satunya "terdokumentasi" dalam karya arsitektural.
Bagaiamana di Indonesia? Apakah peradaban keislaman kita, di Nusantara ini, punya peninggalan arsitektural seperti di Kairo? Lain waktu, kita jawab pertanyaan ini. Ya kita, bukan saya saja, tapi Anda juga.