Manusia adalah hewan yang berfikir (man as the animal that reasons), demikian kata filsuf agung Yunani―Aristoteles (384-322 SM). Jika aktivitas berfikir merupakan manifestasi dari bertanya, sedangkan bertanya adalah mencari jawaban, dan mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Maka, manusia, pada dasarnya, adalah makhluk pencari kebenaran.
Dalam perjalanannya, ia terus bertanya: Siapa aku? Kemana aku menuju? Untuk apa aku disini? Dan jawaban-jawaban yang ia kumpulkan, entah dari pengalaman, bacaan, percakapan, ataupun luka―membentuk suatu simpul bernama keyakinan. Ia bisa berbentuk nilai, prinsip, ide, atau kebebasan mutlak.
Bahkan, seorang skeptis sekalipun―yang menolak segala bentuk doktrin, sejatinya sedang mengimani doktrin penolakannya sendiri. Ia percaya bahwa tidak ada yang pantas dipegang. Tapi dalam pernyataannya itu sendiri, terselip keyakinan bahwa pandangannya lebih benar dari yang lain. Paradoks semacam inilah yang pernah saya dapati ketika bertemu seorang sahabat, sebut saja namanya Robian. Setelah saling menanyakan kabar masing-masing, ia mulai membuka percakapan,
“Kamu jadi orang jangan terlalu fanatik. Tidak usah ikut-ikutan salah-satu ormas Islam. Misalnya, NU, Muhammadiyah, atau yang lain. Semuanya sama, semua baik. Bahkan kelompok di luar Islam sekalipun,” ujarnya.
“Ini bukan masalah baik buruk. Ini keyakinan, Mas. Urusan prinsip,” jawab saya.
“Ikuti saja semuanya, beres, kan? Biar sebagai manusia, kita tidak terpecah belah dan terkooptasi golongan. Atau minimal ikuti NU dan Muhammadiyah sekaligus,” tukas Robian.
Sahabat satu ini, adalah orang yang tidak terdidik dengan pemahaman nilai-nilai Islam yang mendalam. Dengan kata lain, abangan, jika meminjam istilah Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Karena itu, menanggapinya tidak perlu menggunakan beragam dalil-dalil, apalagi dengan amarah. Cukup dengan logika sederhana yang mudah diterima. Saya kemudian menyitir ilustrasi dari Kiai Imron Jamil, pengasuh Pondok Pesantren Kyai Mojo Jombang, ketika beliau menjelaskan salah satu aforisme Ibnu Athaillah As-Sakandary dalam kitab Al-Hikam.
“Begini, misalkan, kita pergi ke Terminal Landungsari, menuju ke Gadang. Terdapat tiga jenis angkutan umum untuk menuju ke sana. Bisa berlabel LG, GL, atau LDG. Meski ketiganya sama-sama menuju Gadang, jalur yang dilalui pasti berbeda. Apabila kaki kanan menaiki LG sementara kaki kiri LDG―jika keduanya harus berpisah di sebuah persimpangan, tubuh kita akan terhempas dan kita terjatuh. Karena itu, agar selamat dan sampai pada tujuan, kita wajib memilih salah satu. Begitu juga dengan sebuah keyakinan.”
Lantas, Robian tertawa kecil. “Dan tidak semua orang ke Terminal Landungsari hendak ke Gadang. Ada yang hendak ke Arjosari, Batu, Kediri, atau ke Jombang. Tujuan bisa jadi sama, jalur yang dilalui bisa berbeda. Begitu juga sebaliknya, permulaan bisa sama, namun tujuan bisa berbeda,” tukas saya. Perlahan, sahabat saya tersebut, mengangguk-anggukkan kepala―tanda bahwa ia mulai paham.
Percakapan dengan sahabat saya itu, telah menggugah banyak hal dalam diri saya. Tentang “berprinsip” dan “fanatik” yang acapkali disalahpahami. Bagaimana sebuah identitas keagamaan seringkali dianggap sekat, bukan sebagai jalan pencarian. Karena identitas keagamaan tak ubahnya personal operating system pada perangkat digital―menjadi dasar bagi semua proses berpikir, bertindak, dan bereaksi.
Fanatik―dalam pengertiannya yang sempit dan eksklusif―adalah saat logika dibungkam oleh loyalitas buta, kejumudan dalam berfikir, yang menjadikan simbol sebagai pusat bukan makna. Lantas menutup mata dari kebenaran, yang datang dari “selain kelompok kita.” Bukan karena semua kelompok “sama saja”, tetapi karena semua kelompok memiliki “kesempatan yang sama” untuk menggapai sebuah kebenaran.
Berpegang pada prinsip berbeda fanatisme. Ia adalah memilih identitasnya dengan sadar dan tanggung jawab. Berprinsip adalah menjaga kepercayaan, integritas, dan komitmen. Seperti core values dalam budaya organisasi, ia menentukan batas: mana yang bisa dikompromikan, mana yang prinsipil. Justru, dengan berprinsip, akan lahir sebuah keterbukaan, toleran, dan sikap yang lentur. Yang tidak goyah dengan pendirian, namun bisa menghargai berbagai perbedaan.
Alhasil, kita semua adalah penumpang. Sedang menuju pencarian spiritual dan jawaban eksistensial. Di terminal kehidupan, telah tersedia banyak kendaraan: agama, ideologi, kepercayaan, dan cara pandang terhadap dunia. Semuanya menawarkan jalannya masing-masing dengan janji, resiko, dan nuansa tersendiri. Namun, satu hal yang pasti: kita tak bisa menaiki dua kendaraan sekaligus.
Keyakinan bukan sekadar rasa suka atau tidak. Ia merupakan fondasi akan cara kita hidup. Keyakinan tak ubahnya kompas yang menentukan arah, bukan sekadar peta yang memperlihatkan berbagai pilihan. Maka, mencoba menggabungkan dua kompas yang saling berlawanan hanya akan membuat arah kita limbung. Terjatuh. Terhempas.
Justru karena banyak jalan, kita harus berani menetapkan satu. Bukan karena jalan yang lain buruk, tetapi karena tubuh dan jiwa kita hanya cukup untuk satu kendaraan. Coba renungkan QS Al-Maidah ayat 48.
Untuk setiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat saja. Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.
Wallahu a’lam.