Hari Santri Nasional lahir bukan dari ruang kosong. Gagasan itu muncul dari rahim pesantren dan Nahdlatul Ulama, ketika KH. Said Aqil Siradj –saat itu Ketua Umum PBNU– mengusulkannya kepada pemerintah. Maka wajar jika setiap 22 Oktober yang paling bergairah menyambut adalah kalangan pesantren NU. Mereka mengenang momentum Resolusi Jihad fi Sabilillah 1945 yang membakar semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan, sehingga meletus peristiwa 10 November 1945 di Kota Surabaya yang dipimpin Bung Tomo.
Hari Santri bukan sekadar seremoni, tetapi penegasan identitas: bahwa santri adalah penjaga moral, benteng bangsa, dan penafsir ajaran Islam dalam konteks kebangsaan.
Namun bulan ini pesantren justru diguncang oleh pemberitaan dan siaran yang tendensius. Tayangan salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, menampilkan pesantren dengan cara yang menimbulkan kesan negatif—seolah lembaga keagamaan ini sarat penyimpangan dan kekerasan. Padahal, ribuan pesantren di penjuru negeri justru menjadi mercusuar moral dan pusat pemberdayaan umat. Kritik yang lahir tanpa pemahaman terhadap kultur pesantren hanya menambah jarak dan kecurigaan sosial. Momentum Hari Santri seharusnya menjadi waktu untuk menegaskan kembali sumbangan besar pesantren bagi bangsa, bukan untuk mereduksinya dengan stereotip murahan.
K.H. Hasyim Asy‘ari dalam Resolusi Jihad menegaskan bahwa membela tanah air adalah bagian dari agama. Dari sana muncul nilai-nilai utama: hubbul wathan minal īmān, kesetiaan pada ulama, tanggung jawab sosial, dan keberanian moral menghadapi penjajahan. Butir-butir itulah yang kini perlu dihidupkan kembali di tengah penjajahan gaya baru: kolonialisme digital, konsumerisme global, dan serangan terhadap otoritas keilmuan agama. Santri masa kini berjuang bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu, etika media, dan ketangguhan moral. Menjaga marwah pesantren sama artinya menjaga kedaulatan nilai bangsa.
Tahun 2025 Kementerian Agama mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”.
Tema ini menarik, namun menimbulkan pertanyaan mendasar: peradaban dunia macam apa yang ingin dituju?
Bukan peradaban yang diukur dengan teknologi semata, bukan pula yang hanya mengejar kemajuan material. Peradaban dunia yang dimaksud ialah peradaban yang berporos pada nilai kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana maqāṣid al-syarī‘ah menempatkan ḥifẓ al-dīn, al-nafs, al-‘aql, al-nasl, dan al-māl sebagai fondasi kehidupan.
Pesantren ingin menapaki jalan peradaban yang menjadikan ilmu sebagai cahaya, akhlak sebagai landasan, dan keseimbangan antara dunia dan akhirat sebagai tujuannya. Inilah peradaban yang berakhlak—yang di satu sisi terbuka terhadap sains dan globalisasi, tetapi di sisi lain tetap berpijak pada nilai tauhid dan adab.
Peradaban yang dituju bukanlah dominasi, melainkan partisipasi: bangsa Indonesia, melalui santri, memberi warna moral bagi dunia yang sedang kehilangan arah. Dunia yang lelah oleh konflik, keserakahan, dan krisis makna justru membutuhkan sentuhan pesantren—kesederhanaan, ketulusan, dan keseimbangan spiritual. Dengan demikian, “menuju peradaban dunia” berarti membawa cahaya Islam raḥmatan li-l-‘ālamīn ke panggung global, bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk menerangi.
Di tengah kebisingan zaman, santri harus kembali meneladani prinsip khidmah dan tawāḍu‘ yang menjadi inti pendidikan pesantren. Dunia digital kerap menghapus batas antara guru dan murid, antara ilmu dan opini, antara otoritas dan kebebasan. Jika santri tidak menjaga adab, maka pesantren kehilangan ruhnya. Ta‘ẓīm kepada kiai bukan bentuk feodalisme, melainkan penghormatan terhadap sumber ilmu. Justru di situlah letak modernitas sejati: menempatkan akal, ilmu, dan otoritas moral secara proporsional.
Tugas besar santri hari ini adalah menjembatani nilai Islam dengan tantangan global tanpa kehilangan akar. Mereka harus mampu berdebat dengan dunia, namun tetap beradab; harus memahami teknologi, namun tidak terperangkap di dalamnya. Seperti dalam Resolusi Jihad, jihad santri kini bukan hanya mempertahankan tanah air, tetapi juga mempertahankan martabat kemanusiaan dan akhlak publik.
Maka, Hari Santri bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan membaca arah masa depan. Dari pesantrenlah peradaban yang berkemanusiaan itu harus dimulai—peradaban yang menempatkan manusia bukan sebagai budak algoritma, tetapi sebagai khalifah yang memakmurkan bumi dengan ilmu dan kasih sayang. Selamat Hari Santri Nasional 2025. Semoga santri terus menyalakan obor peradaban, dari bilik-bilik pesantren hingga ke panggung dunia.