Ajakan Kementerian Komunikasi dan Digital (KemKomDigi) agar tokoh agama turut memerangi judi online ( Tempo 29/10/2025) patut disambut dengan penuh tanggung jawab. Seruan ini datang pada waktu yang tepat, ketika wabah judi daring telah merusak sendi-sendi moral dan ekonomi masyarakat. Namun, kolaborasi ini tidak boleh berhenti pada tataran simbolik –sekadar menjadikan ulama sebagai  pembicara pelengkap dalam forum kampanye. Ia harus diwujudkan dalam langkah-langkah strategis yang menjadikan nilai agama sebagai fondasi utama pemberantasan judi online.
Kita semua mengetahui, judi online bukan sekadar pelanggaran hukum positif. Ia adalah penyakit sosial yang menghancurkan keluarga, memiskinkan rakyat kecil, dan merusak akhlak generasi muda. Banyak anak muda, bahkan pelajar, terjerat aplikasi perjudian yang dikemas dengan iming-iming “cuan cepat” dan “permainan digital”. Di balik layar, ada jaringan ekonomi gelap yang mengalir lintas negara, menjerat korban dari desa hingga kota. Maka, jihad melawan judi online adalah jihad moral dan sosial, bukan semata urusan teknologi digital.
Dalam konteks inilah, keterlibatan tokoh agama menjadi kebutuhan mendesak. Ulama dan kiai memiliki otoritas moral yang mampu menggerakkan hati umat, bukan sekadar menakut-nakuti dengan hukum haram, tetapi menumbuhkan kesadaran bahwa berjudi berarti menodai amanah Allah Swt. atas harta dan kehidupan. Namun agar peran ini efektif, pemerintah harus membuka ruang partisipasi yang nyata, terukur, dan berkelanjutan.
Pertama, pemerintah bersama ulama perlu memperkuat edukasi religio-sosial tentang bahaya judi online. Tidak cukup dengan menutup situs atau menindak pelaku, sebab akar masalahnya adalah ketidaktahuan dan lemahnya benteng moral. KemKomDigi dapat bekerja sama dengan, NU, MUI, pesantren, dan lembaga dakwah untuk menyusun modul edukatif yang memadukan pendekatan agama, hukum, dan psikologi keluarga. Materi itu perlu disebarkan ke masjid, sekolah, dan kampus, serta dikemas dalam format digital yang mudah diakses oleh generasi muda.
Kedua, tokoh agama perlu dilibatkan sebagai pengawas sosial. Ulama di lapangan lebih memahami dinamika masyarakat, termasuk potensi anak-anak muda yang mulai terpengaruh oleh aplikasi judi. Karena itu, KemKomDigi dapat membentuk forum koordinasi anti-judi online di tingkat daerah, yang di dalamnya duduk bersama tokoh agama, aparat penegak hukum, dan dinas terkait. Dengan begitu, ulama tidak hanya memberi tausiyah, tetapi juga berperan dalam deteksi dini dan pencegahan di masyarakat.
Ketiga, penegakan hukum harus tegas dan memberi efek jera. Masyarakat sering kecewa karena hanya pemain kecil yang ditangkap, sementara bandar dan penyedia aplikasi justru luput dari jerat hukum. Pemerintah perlu menunjukkan ketegasan dengan menyita aset, menutup rekening terkait, dan mengumumkan hasil penindakan secara terbuka. Langkah ini bukan semata keadilan hukum, melainkan pesan moral bahwa negara benar-benar hadir melindungi rakyat dari kezaliman digital.
Keempat, pengawasan aliran dana dan kolaborasi antar-lembaga harus diperkuat. Judi online bukan sekadar pelanggaran etika; ia juga kejahatan finansial. Karena itu, KemKomDigi, PPATK, dan otoritas perbankan harus bekerja sinergis melacak transaksi mencurigakan. Ulama dan masyarakat perlu diberi akses informasi dan kanal pelaporan cepat agar bisa ikut mengawasi tanpa harus menunggu aparat turun tangan.
Kelima, perlindungan bagi anak muda dan keluarga menjadi prioritas utama. Banyak kasus menunjukkan, remaja terjerat judi bukan karena niat jahat, tapi karena rasa ingin tahu dan tekanan ekonomi. Tokoh agama dapat membantu pemerintah menyusun panduan bagi orang tua dan guru tentang cara mendeteksi serta mendampingi anak agar tidak terjerumus. Pesantren dan madrasah pun perlu mengintegrasikan pendidikan digital etis dalam kurikulum karakter santri.
Keenam, kampanye digital berbasis tokoh agama perlu diperkuat. Di era media sosial, suara ulama harus hadir di ruang digital, bukan hanya di mimbar masjid. KemKomDigi bisa mendukung program “Duta Anti-Judi Online” dengan melibatkan kiai dan ustaz muda yang komunikatif di platform digital. Ceramah singkat, podcast, dan video dakwah singkat akan lebih efektif menyentuh generasi milenial dan gen Z daripada spanduk atau baliho larangan.
Ketujuh, perlu evaluasi berkala antara pemerintah dan lembaga keagamaan. Setiap tahun, hasil pemberantasan judi online harus dilaporkan secara transparan kepada publik. Ini bukan semata bentuk akuntabilitas negara, tetapi bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dalam tata kelola pemerintahan. Kolaborasi antara pemerintah dan ulama akan menjadi kuat bila dibangun atas dasar kepercayaan dan keterbukaan.
Memberantas judi online bukan hanya urusan penegakan hukum, tetapi perjuangan menjaga akal, harta, dan martabat umat. Ketika negara dan ulama berjalan seiring, maka jihad melawan judi online menjadi bagian dari jihad kebangsaan: melindungi generasi agar tidak terjebak dalam tipu daya dunia maya yang menjanjikan kesenangan, namun menyisakan kehancuran. Semoga ajakan KemKomDigi menjadi titik awal lahirnya sinergi baru: negara bekerja dengan kekuasaan, ulama bekerja dengan suara nurani. Wallāhu A'lam.