Membicarakan zaman pada dasarnya tak dapat dilepaskan dari membicarakan waktu, yang bagi orang Jawa, tak pernah berjalan secara linear. Jauh sebelum para poststrukturalis ataupun postmodernis menyingkirkan sifat teleologis sejarah, atau menyatakan bahwa klaim “kemajuan” (progres) sekadar ilusi, orang Jawa telah mendekati waktu sebagai sebentuk siklus.
Pemahaman semacam itu tentu saja menaruh apa yang lazim dicibir sebagai sebentuk “kekunoan” bukan lagi sekadar kondisi yang sama sekali lepas atau bisa lepas dari waktu kini, dan bahkan waktu depan. Bukan semata karena waktu kini juga dapat digantungkan pada waktu silam, namun pada kenyataannya, pada dimensi pengalaman, memang tak ada yang disebut sebagai waktu silam dan waktu kini.
Taruhlah postmodernitas, sebagai basis sosiologis dan kebudayaan dari postmodernisme, bukankah segala fenomena yang melekat dengannya sudah pernah terjadi di waktu silam, meskipun dengan media yang berbeda?
Maka, mengaitkan strategi—atau menyikapi kekhawatiran—tentang kenusantaraan di tengah gempuran globalitas dan transnasionalitas adalah hal yang tak penting sekaligus penting. Tak penting karena, ibarat mainan gangsingan, hakikat pergerakan ataupun perubahan yang entah dalam bentuk apa pun akan senantiasa bertumpu pada adanya sebuah sumbu.
Demikian pula keberlangsungan agama dimana salah satunya dapat dilihat dari berbagai dakwah yang dilakukannya.
Sejujurnya, saya pribadi cukup menyukai, gaya dakwah agama Islam dari beberapa Bu Nyai yang dilakukan di channel-channel Youtube, yang kadang berseliweran di beranda medsos tanpa saya bisa menolaknya.
Tema-tema yang didakwahkan cukup menarik, yang secara sekilas seturut dengan keterbukaan kehidupan digital abad ini: seksualitas dengan berbagai gaya dan pernak-pernik yang lazim menyertainya.
Barangkali, bagi kalangan yang memandang seksualitas sebagai bukan bagian dari agama, dan ini lazim terjadi di kalangan penganut Islam-Islam transnasional, dakwah-dakwah semacam itu terkesan rendah, sangat jauh dari kesan luhur sebuah agama. Namun, pada dasarnya, ketika keluhuran agama dirumuskan sebagai hal yang jauh dari “kenajisan” manusia, lalu untuk siapakah agama itu dikabarkan?
Taruhlah dakwah-dakwah semacam itu benar-benar rendah dan merendahkan agama, namun benarkah agama akan melorot derajatnya ketika ia sebenarnya tengah mengabarkan derajat luhur yang dimiliki seorang manusia yang bersifat jasmaniah, yang ketika manusia itu memahami kelengkapan dirinya sendiri, dengan segala prosesnya yang ada, akan juga memahami sifat ruhaniah dan bahkan sifat ilahiah yang dimilikinya.
Maka, ketika agama ataupun dakwah-dakwah agama seringkali terkesan membahas perkara yang dianggap rendah, pada dasarnya tetaplah ia mengabarkan sebuah pesan yang luhur dari zaman purba bagi orang-orang yang terbuka. Dan inilah sebenarnya arti “warisan” dalam ungkapan “warasatul anbiya’.” Bahwa senantiasa ada kelanggengan dalam kesementaraan, kedamaian dalam kekacauan, kekunoan dalam kemajuan.