Dalam banyak kebudayaan Nusantara, pohon tidak pernah dipahami sekadar sebagai makhluk botani. Ia bukan hanya batang, daun, dan akar. Ia adalah poros kehidupan yang menghubungkan manusia dengan tanah tempat mereka berpijak dan langit tempat mereka memohonkan makna.
Pohon adalah ingatan kultural yang hidup, simbol relasi mendalam antara manusia dan alam yang lebih luas. Karena itu, ketika kita berbicara tentang krisis ekologis hari ini, sesungguhnya kita sedang berbicara tentang keretakan relasi yang jauh lebih tua. Keretakan antara manusia dan pengetahuan yang pernah menjadikan pohon sebagai pusat etika hidup.
Pohon adalah bagian penting peradaban manusia. Di banyak tradisi lokal, pohon dipahami sebagai axis mundi—poros kosmos—yang menjaga keseimbangan tiga dunia yaitu dunia bawah, dunia manusia, dan dunia para leluhur.
Bandung Mawardi (2010) menyebut kisah pohon terkait dengan mitologi-kultural, religiositas, hingga kosmos. Kisah Adam-Hawa terwakili lewat pohon, dan Sidharta memuncak di bawah pohon. Pohon bersimbiosis dengan kekuasaan lewat kehadiran sepasang pohon beringin di alun-alun kerajaan.
Kosmologi pohon dalam peradaban Jawa bisa ditemukan dalam relief candi, teks sastra Jawa kuno, folklore, tradisi pengobatan, atau ritus siklus kehidupan. Pohon dalam pertunjukan wayang tampil dalam kayon, gunungan atau tempat ksatria bertapa brata untuk memperoleh aji kesaktian dan senjata ampuh.
Pohon dalam teks sastra Jawa kuno termaktub dalam kitab Udyogaparwa, Brahmandapura, Ramayana, dan Arjunawiwaha. Kesadaran kosmologis tampak dalam pemaknaan pohon kalpataru, yang menyebar dalam ranah politik, ekonomi, gender, agama, seni, ekologi, dan kultural.
Dalam sufisme, pohon adalah wahana dan wacana kesatuan dengan Tuhan. Candra Malik (2015) menyebut pohon mengajarkan kepada manusia tentang hidup. Akar menyerap air sumber kehidupan. Kita harus kokoh laksana batang pokok, menjaga dahan-ranting tak mudah lapuk dan patah serta menyerap energi semesta seperti dedaunan terhadap sinar matahari.
Kita memberi yang terbaik sebagaimana bunga, tak hanya elok dipandang, tapi juga sedap aromanya. Seperti pohon berbuah, yang di dalamnya terkandung biji benih bagi kehidupan berikutnya.
Dari pohon kita belajar kapan pun kita pasti kembali ke tanah, gugur diterpa angin atau roboh karena usia. Maka jika pepohonan ditebang sembarangan dan tidak ada upaya menanam kembali pohon-pohon baru, sesungguhnya kita telah memadamkan pelita hidup.
Imajinasi ini sering dianggap sebagai mitos oleh pandangan modern. Padahal, ia adalah sistem ekologis yang dirumuskan jauh sebelum dunia mengenal istilah sustainability atau mitigasi perubahan iklim. Pohon ditempatkan sebagai penyangga moral sekaligus penyangga lanskap. Keduanya tidak pernah dipisahkan.
Di Jawa, beringin besar di alun-alun bukan hanya peneduh, melainkan pengingat bahwa kekuasaan seharusnya memayungi rakyatnya. Di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, pohon-pohon besar dianggap berpenghuni, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memastikan manusia tidak gegabah dalam mengeksploitasi hutan. Larangan menebang tanpa izin adat menjadi mekanisme ekologis yang memaksa orang menghitung dampak setiap tindakan. Dengan kata lain, pohon berfungsi sebagai batas moral—dan batas ekologis—sekali gus.
Relasi itu bersifat timbal balik. Pohon memberi naungan, kayu, pangan, penyangga air tanah; manusia membalas dengan penghormatan, perawatan, dan pembatasan eksploitasi. Upacara kecil sebelum menebang pohon menjadi proses etis yang membuat manusia sadar bahwa setiap penebangan adalah pilihan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Di banyak tempat, pengetahuan tentang alam diwariskan sambil menunjukkan jenis-jenis pohon yang menandai perubahan musim, keberadaan mata air, atau batas wilayah adat. Pohon menjadi “instrumen baca lingkungan”—alat deteksi dini bencana—yang digunakan jauh sebelum negara merumuskan sistem mitigasi.
Pemahaman Nirmakna
Namun relasi yang kaya ini perlahan memudar. Kini, semua kisah pohon dalam peradaban tersebut mengalami tragedi akibat pemahaman nirmakna dan nilai-nilainya, pengalihan fungsi yang semena-mena demi kepentingan sepihak, hingga pemusnahan fisik dalam ekosistemnya yang berujung kerusakan lingkungan hidup.
Pembangunan modern mengambil alih cara kita memandang pohon. Ia tidak lagi dilihat sebagai entitas yang memiliki nilai religius, sosial, dan ekologis, tetapi dipersempit menjadi “komoditas”. Apa yang dahulu sakral berubah menjadi angka dalam laporan produksi. Kemajuan direduksi menjadi pembukaan lahan, penebangan hutan, penciptaan kawasan baru, tanpa mempertimbangkan pengetahuan yang akan ikut hilang ketika sebuah pohon tumbang.
Kerusakan ekologis hari ini adalah hasil langsung dari pergeseran tersebut. Banjir bandang, longsor, dan kekeringan bukan semata akibat cuaca ekstrem. Ia menunjukkan runtuhnya batas moral yang dahulu dijaga oleh relasi manusia-pohon.
Ketika hutan gundul, yang hilang bukan hanya vegetasinya, tetapi juga pengetahuan yang disandarkan pada keberadaannya. Masyarakat kehilangan kemampuan membaca tanda-tanda alam, mengenali bahaya, atau menakar risiko. Inilah titik ketika krisis ekologis berubah menjadi krisis spiritual.
Bagi banyak komunitas tradisional, pohon juga merupakan ruang sosial. Di bawah rindangannya orang bermusyawarah, menimbang keputusan, menyelesaikan sengketa. Ruang itu tumbuh bukan dari instruksi administratif, melainkan dari kebutuhan bertemu di tempat yang teduh dan netral. Kini musyawarah bergeser ke kantor-kantor desa yang formal dan kaku.
Pergeseran ini bukan persoalan buruk, tetapi ia menunjukkan sesuatu yang penting, yaitu cara masyarakat memaknai ruang sosial turut berubah—dari yang komunal menjadi administratif. Pohon, yang dulu menjadi simbol keterbukaan dan keakraban, menghilang dari lanskap sosial kita.
Krisis ekologis yang menimpa berbagai wilayah Nusantara hari ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem yang telah kehilangan fondasi kulturalnya. Ketika pohon tidak dihormati, tanah kehilangan penopangnya. Ketika pengetahuan tradisional ditinggalkan, peringatan alam tidak lagi terbaca. Kita membangun fasilitas penanganan bencana tanpa memahami akar bencana itu sendiri: hilangnya etika ekologis yang berabad-abad dijaga oleh relasi manusia dengan pohon.
Relevansi Tradisi
Relevansi tradisi justru terasa semakin penting. Ritus kecil seperti menanam kembali pohon yang ditebang, melindungi pohon besar sebagai penyangga ruang sakral, atau melarang penebangan di wilayah keramat bukan sekadar romantisme masa lalu. Itu adalah sistem pengaman ekologis yang dirumuskan oleh masyarakat adat, berbasis pengalaman panjang menghadapi risiko alam. Dalam konteks modern, praktik itu tidak harus dibaca sebagai mitos, tetapi sebagai prinsip keberlanjutan yang tertanam dalam budaya lokal.
Tantangan terbesar hari ini bukan hanya menanam pohon baru, tetapi memulihkan relasi lama yang pernah menjaga keutuhan ekosistem. Jika pembangunan terus melihat pohon sekadar elemen dalam perencanaan ruang, maka pohon hanya menjadi ornamen.
Kita membutuhkan cara pandang yang menempatkan pohon sebagai bagian dari pengetahuan kolektif, moralitas publik, dan spiritualitas Nusantara. Tanpa itu, reboisasi hanyalah tindakan teknis yang tidak menyentuh akar persoalan.
Memulihkan relasi ini bukan nostalgia. Ini adalah kerja masa depan. Ketahanan ekologis, kualitas hidup, dan kekuatan sosial kita sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan pohon—bukan sebagai objek produksi, tetapi sebagai mitra moral dalam merawat dunia. Jika pembangunan modern terus memutus manusia dari pengetahuan yang berakar pada pohon, maka yang hilang bukan hanya hutan, tetapi juga kemampuan kita sendiri membaca kehidupan.