Bertemu belum, tahu iya. Barangkali itulah saya, pemuda kemarin sore yang lahir dua tahun sebelum krisis ekonomi menerpa, 1998. Ketika ditanya kapan saya bertemu Gus Dur tentu jawabannya belum. Jika secara dhohir tentu usia saya pada saat itu masih terbilang kanak-kanak dan belum tahu siapa K.H. Abdurrahman Wahid tersebut.
Singkat cerita ketika usia beranjak remaja saya masuk ke salah satu Madrasah Aliyah yang ada di Haurgeulis Indramayu pada tahun 2012. Di sanalah perjumpaan saya dengan Gus Dur, yaitu lewat sebuah foto. Selain dari cerita-cerita yang disampaikan bapak dalam sebuah diskusi malam bahwa Gus Dur adalah sosok kiai presiden sekaligus aktivis kemanusiaan yang pertemuannya lintas batas lintas agama.
Sebatas itulah bapak bercerita pada saya bahwa Gus Dur adalah sosok istimewa yang menjadi presiden seperti ujug-ujug simsalabim. Akhirnya saya pun semakin penasaran dengan sosok satu ini.
Sejak di bangku Tsanawiyah hingga Aliyah mata pelajaran ke-NU-an tidak pernah bosan menyebut Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy'ari dan keluarganya dan sudah pasti K.H. Wahid Hasyim sebagai menteri agama pertama serta Gus Dur cucu beliau yang nyentrik dan pemberani. Saya terbilang kaget sekaligus beruntung bisa sekolah di lembaga yang ternyata ketika peresmiannya langsung dihadiri oleh Gus Dur, pada saat itu beliau masih ketua umum PBNU.
Saya bisa menyaksikan dalam foto tersebut para masyayikh kami di antaranya; K.H. Mundzir Mahmud, K.H. Sutardjo, .KH. Damanhuri Ali, K.H. Hafidz Baehaqi, Kiai Nurul Huda, K.H. Ahmad Hudaefah (Anggota DPR) dan K.H. Fuad Hasyim (Buntet) berjajar berdiri dan di tengahnya Gus Dur.
Kata Pak Nurhidayat (kepala sekolah) kami dulu sewaktu Gus Dur datang sekitar tahun 1992 sebenarnya bukan termasuk agenda meresmikan sekolah akan tetapi ada acara di Cirebon yang pada akhirnya beberapa kiai kami memaksa K.H. Fuad Hasyim untuk membelokkan Gus Dur sejenak ke tempat kami. Demikianlah kisahnya jika mengingat cerita itu kami langsung tertawa seraya berseloroh, "Kok ada ulama kiai bahkan wali yang dipaksa meresmikan gedung sekolah," ya hanya di tempat kami.
Singkat kisah, Gus Dur menjadi presiden tahun 1999-2001. Setelah itu saya kehilangan jejak beliau sampai akhirnya tersiar kabar sosok panutan nan istimewa itu wafat di penghujung tahun pada 30 Desember 2009. Pada tahun 2015 saya berkesempatan masuk IAIN Tulungagung (sekarang UIN) untuk kuliah di jurusan Tasawuf Psikoterapi.
Di sanalah akhirnya saya ditempa oleh para senior di organisasi kampus baik intra maupun ekstra. Buku-buku dan klipingan majalah yang memuat tulisan Gus Dur menjadi sajian utama. Untung saja Gus Dur adalah sosok yang menulis dan ditulis sehingga perjumpaan saya dengan beliau terbilang tidak terlalu sulit karena sumber-sumber yang membincang Gus Dur sangat berlimpah.
Ziarah pemikiran Gus Dur lebih tepatnya saya lakukan selama kuliah 4 tahun tersebut. Buku-buku seperti Santri Par Excellence, Canda Gus Dur, Gus Dur Intelektual Organik, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Islamku Islam Kita Islam Anda, Islam Kosmopolitan, Biografi KH. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Sang Zahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Menggerakan Tradisi, Tabayyun Gus Dur, Menjawab Kegelisahan Rakyat, Menjerat Gus Dur, dan lainnya menjadi menu wajib lebih lagi ketika saya berproses di LPM. Buku-buku tersebut sebagai pengantar pembuka peta pemikiran khususnya tema-tema keislaman, sosial dan relasi agama negara.
Lewat buku, saya lebih mengenal Gus Dur walaupun kesannya berbeda ketika mengenal langsung dengan beliau. Bisa jadi mereka-mereka yang pernah terlibat langsung dalam sebuah video wawancara seperti Jaya Suprana, Kiai Maman Imanulhaq, Andy F Noya, Indy Rahmawati, Widya Saraswati, Greg Barton, dan lain sebagainya termasuk video Gus Dur ketika mengisi beberapa ceramah di daerah-daerah yang tentunya memiliki kesan tersendiri di mata pecintanya.
Tidak hanya orang kota, kalangan akademisi, politisi, pejabat tinggi, orang desa sekalipun sangat berkesan jika bertemu Gus Dur. Manusia multidimensi yang sampai hari ini kita meyakininya sebagai wali. Hal itu terbukti sampai hari ini makamnya tak sepi dikunjungi para peziarah.
Selanjutnya perkenalan saya dengan Gus Dur adalah ketika GUSDURian Tulungagung kedatangan tamu yaitu seorang aktivis sekaligus mantan asisten Gus Dur berasal Cirebon (saya lupa namanya). Beliau bercerita banyak hal mengenai Gus Dur tapi sayang yang masih saya ingat sampai hari ini hanya sebuah pesan, "bahwa satu-satunya hal yang tak akan bisa ditiru oleh kalangan aktivis muda GUSDURian hingga hari ini adalah soal kesufian Gus Dur".
Mungkin ketika banyak orang menjadi sisi aktivis, akademisi, politikus atau budayawan barangkali kesufian adalah sisi yang sangat sulit untuk ditiru. Gus Dur memang luar biasa bahkan sosok humorisnya pun belum ada duplikatnya.
Bagi kalangan pedesaan mungkin dari segi kesufian hanya tahu bahwa syair Tanpo Waton adalah gubahan asli Gus Dur. Padahal menurut salah satu riwayat kuat bahwa syair sufistik tersebut adalah karya K.H. Mohammad Nizam Ash Shofa cucu K.H. Sahlan Sepanjang Sidoarjo yang sengaja dinisbatkan kepada Gus Dur. Termasuk syair Al-I'tiraf Abu Nuwas jika disenandungkan oleh Gus Dur nampaknya sangat khas sekali. Hal itu pula yang dirasakan Emha Ainun Najib ketika Gus Dur melantunkan Shalawat Badar dalam sebuah pagelaran Maiyah bersama Kiai Kanjeng.
Walaupun kiwari saya mengenal Gus Dur setidaknya tidak terlalu buruk untuk ukuran orang seperti saya. Bahkan dari pembacaan melalui beberapa buku tersebut saya pernah mendapat berkah juara 3 lomba esai Piala Rektor yang tak lain tema Gus Dur-lah yang saya angkat dalam perlombaan tersebut.
Kini tidak terasa Gus Dur meninggalkan kita lebih dari satu dasawarsa akan tetapi jejak teladannya masih sangat terasa. Kata Gus Mus sahabat Gus Dur, sosoknya memang selalu dirindukan karena beliau sendiri telah melampaui pikirannya untuk terus memikirkan rakyat tidak hanya Islam, NU, PKB tapi Indonesia.
Tapi pada akhirnya walaupun saya belum sempat bersua Gus Dur setidaknya saya selalu sempatkan waktu untuk menghadiahkan fatihah kepada beliau serta jika memiliki waktu luang saya pasti ke Jombang sekadar berziarah di pusara sang idola. Menundukkan wajah seraya memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk terus berjuang di jalan kebenaran dan kemanusiaan.[]