Mohammad Imam. Inilah nama Mas Imam yang tertera pada ijazah, KTP, Paspor, dan lembaran-lembaran resmi yang dibuat negara. Namun, kita mengenalnya dengan nama M. Imam Aziz. Nama inilah yang populer, yang ditulis dan dicantumkan di mana-mana; di lembaran tulisannya, di kredit buku, name tag-nya dalam acara-acara, dan lain sebagainya.
Nama depan, Mohammad, disingkat jadi 'M', seperti kebanyakan nama di Indonesia. Nama belakang, Aziz, diambil dari nama orangtuanya. M. Imam Aziz memang terlihat mentereng, solid, tidak terkesan polos, dan yang lebih penting lagi adalah, pencantuman nama orangtuanya.
Dia lahir di Pati, 29 Maret 1962, menghembuskan nafas terakhir tanggal 12 Juli 2025, di Jogjakarta. Artinya, dia meninggalkan kita selama-lamanya di umur yang baru 63 tahun. Jelas, Mas Imam tidak muda lagi. Malah, kategorinya sudah lanjut usia. Namun, jika merujuk pada umur harapan hidup rata-rata orang Indonesia, yakni 72 tahun, kepergian Mas Imam begitu cepat. Setidaknya dia lebih cepat sekitar 9 tahun meninggal dari harapan hidup orang Indonesia.
Tidak hanya itu, guru-gurunya, senior-seniornya, banyak yang yang masih hidup. Kita masih bisa menyaksikan kiai-kiai pesantren dan aktivis NU yang berumur di atas 70 tahun masih aktif. Bahkan, Mas Imam sangat muda jika kita menghitung dari sudut ayahandanya Mas Imam, yaitu Kiai Abdul Aziz Yasin, yang, masya Allah, masih sugeng, masih kuat berjalan. Saya menemui Kiai Aziz Yasin di rumah duka. Dari sudut ini, kematian Mas Imam adalah kegetiran, apalagi jika mengingat putra-putri almarhum; anak pertama baru mahasiswa, anak kedua baru mau SMA, kakak kelas setahun dari anak saya yang sama-sama nyantri di BC. Anak ketiga tahun ini masuk SMP, dan bungsunya, baru mau masuk SD.
Tetapi dari sudut lain, jika menengok umur Kiai Abdul Wahid Hasyim wafat, umur Mas Imam lebih panjang. Dan Jika mengingat sekitar tahun 2017 Mas Imam Sakit berat, lalu sembuh seperti sedia kala, Mas Imam seperti ditambah umurnya oleh Sang Maha Kuasa. Ada secercah cahaya juga, dari sudut bahwa tiga orang teratas dalam buku karya Michael H. Hart berjudul 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah adalah anak yatim, tumbuh tanpa ayah. Nabi Muhammad yatim, Isaac Newton yatim, Nabi Isa atau Yesus yatim. Insya Allah, putra-putrinya almarhum akan baik-baik saja seperti tokoh-tokoh tersebut.
Mas Imam wafat umur 63 tahun, sudah pas, laksana umur Nabi Muhammad Saw. Dan, Mas Imam tidak sakit lama menjemput maut. Ia pulang begitu mudah, seperti pulang ke Pati saja. Enak sekali sampean, Mas…
Personal
Sabtu pagi tanggal 28 Juni 2025, sekitar pukul 6, saya tergopoh-gopoh pergi ke RS Dharmais Jakarta, takziah Bu Nyai Durrah Nafisah Ali. “Emang siapa yang meninggal. Kenapa ayah buru-buru?”
Itu pertanyaan anak saya kedua, Naafi Aly (10 tahun). Atas pertanyaan itu, saya menjawab singkat, kurang lebih begini, “Gurunya ayah, putri dan menantu yang meninggal guru ayah. Keluarga besarnya guru ayah. Ayah dari Bu Nafisah itu gurunya eyang bapak, Kiai Ali Maksum. Nama belakangmu Aly itu diambil dari Kiai Ali Maksum.” Si Naafi yang pasti belum paham betul jawabanku. Tetapi tidak apa-apa, yang penting dia ngerti bahwa saya merespons pertanyaannya.
Dua pekan berikutnya, pada hari yang sama, yaitu Sabtu pagi tanggal 12 Juli 2025, saya mendapat pertanyaan senada. Kali ini datang dari Nata Nawa Chaerany, anak pertama, 14 tahun, mau naik kelas 3. “Kenapa harus takziah Pak Imam sekarang? Kan minggu depan bisa, sekalian balik pesantren?” begitu Nawa bertanya kepada saya saat sedang cari-cari tiket untuk bisa segera takziah Mas Imam. Nawa santri di pesantren Bumi Cendekia yang didirikan Mas Imam dan sahabat-sahabatnya. Saya ajak dia takziah, wong santrinya. Wajar sih pertanyaannya, karena waktunya nanggung dan yang pasti tidak praktis, harus bolak-balik.
“Selain dia gurunya kamu, Nawa, Mas Imam gurunya ayah sejak awal tahun 2000-an,” itu jawabanku. Pasti dia tidak puas kalimat dengan kalimat pendekku. Tetapi Nawa yang biasanya cuwek, mau takziah ikut saya, Bekasi-Jogja. Dan malamnya dia langsung pulang lagi, sendirian untuk pertama kali perjalanan jauh. Sementara besoknya saya ke kudus.
Yang belum takziah cepat-cepat, saya kira bukan cuma Nawa, tetapi banyak teman dia pesantren atau anak-anak Gen Z. Nawa belum paham betul siapa guru sosok M. Imam Aziz yang sepekan sekali membacakan Tafsir Jalalain di depan santri-santri. Dan saya kira juga, tidak sedikit orang, termasuk dari tokoh NU atau kiai-kiai pesantren, bertanya-tanya: mengapa ucapan belasungkawa atas wafatnya M. Imam Aziz mengalir deras? Mengapa begitu banyak obituari di media sosial mengiringi kepergiannya?
Pertama, saya ingin menjawab pertanyaan anak saya si Nata Nawa. Pada acara 7 hari Mas Imam, nawa mengikuti via Zoom. Saya lihat, Nawa satu-satunya peserta remaja dalam tahlilan itu. Sepertinya, dia penasaran pada sosok ini. Saya sedikit menjelaskan hubungan saya dengan almarhum, melalui WA.
“He has been a figure in social movements since 1980 until he passed away, especially on humanitarian issues. Mas Imam pendiri utama Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Jogjakarta. Ini lembaga tempat ayah bekerja pertama kali, ayah mulai berjejaring luas secara nasional, tempat ayah diskusi, baca buku, baca buku, berkenalan dengan aktivis dan intelektual, tidak hanya orang-orang NU dan santri hingga pertama kali ayah naik pesawat, pergi ke Padang dan Aceh.”
Ketika saya di LKiS, sekitar 2003-2006, saya tidak merasa dekat dengan Mas Imam. Selain dia fokus di lembaga barunya yaitu Syarikat, dari segala aspek, saya jauh di bawah Mas Iman. Waktu itu dia sudah jarang di LKiS, kecuali rapat-rapat atau diskusi. Umur almarhum dan saya juga selisih lumayan jauh. Wong dia di Krapyak masih menangi bapak mertua saya. Mas Imam ke Jogja tahun 1979, ini saya baru lahir.
Yang saya ingat dari Mas Imam di LKiS adalah jaketnya yang berwarna krem, sandalnya, dan ketawanya yang berderai-derai susah berhenti, juga motor astrea starnya. Anehnya, banyak orang mengira saya adinya. Ada beberapa yang mirip memang, gigi dan badan kami yang sama-sama gemuk.
Saya baru punya kedekatan setelah muktamar NU di Makassar 2010; Mas Imam jadi ketua PBNU, saya masuk NU Online. Kami sama-sama orang 'baru' di PBNU. Dia awal-awal di PBNU, dia mengajak saya mengerjakan projek buku Ensiklopedia NU (4 jilid). Dari 2010-2015, saya bertemu dengannya nyaris tiap hari. Dari sekedar sarapan ketoprak atau soto mie bogor di samping PBNU hingga menemaninya ketemu banyak orang. Sampai di sini, saya baru merasakan pahit getirnya Mas Imam menjalani kerja-kerjanya.
“Ham, kalau ada di lantai 5 (NU Online) sini ke lantai 2 (ruangan dia sebagai ketua PBNU), atau saya ke situ aja, kalau ada gorengan.” Dia sering banget SMS (bukan WA) model begitu.
Jika sudah ketemu, tidak ada sesuatu yang penting. Sering kali saya yang memulai percakapan atau melontar pertanyaan-pertanyaan agar dia bicara. Mas Imam terbilang kurang komunikatif, juga teman-temannya aktivis-aktivis NU yang lahir tahun 1960-an. Entah kenapa, mungkin karakter personal saja, bisa juga cara dia selamat dari intel-intel Orde Baru, lalu keterusan meski rezim tersebut sudah tumbang. Jadi, waktu itu, saya sering diajaknya pergi bertemu orang yang obrolannya saya tidak paham, apa agendanya saya tidak paham. Mas Imam baru menjelaskan ketika ditanya.
Puncak intensitas saya bekerja dengan Mas Imam adalah saat dia jadi ketua panitia Muktamar NU di Jombang. Saya diminta jadi koordinator pameran seni. Terlalu banyak cerita tentang itu jika diceritakan di sini.
Tentang Ensiklopedia NU yang sudah dirintis, saya merasa harus meneruskan. Hampir setiap sowan KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus, saya selalu ditanya tentang revisi dan penambahan entri, “Kapan dimulai lagi, banyak tokoh penting yang belum masuk?”
Ini adalah PR, yang jika saya dan teman tidak mampu meneruskan rintisan itu, maka generasi setelah saya harus mengerjakanya.
Fardu Kifayah
Dalam gerakan sosial di NU dan lingkungan pesantren Mas Imam adalah generasi kesekian yang menjalankan kerja kesosialan hingga akar rumput (karena pesantren dan NU adalah institusi sosial, masyarakat. Jadi dengan sendiri, yang ada pekerja sosialnya). Di samping itu, rasa-rasanya, Mas Imam adalah hanya ‘penerus dari guru-guru dan seniornya, terutama Gus Dur.
Namun, saya berani menyimpulkan bahwa Mas Imam adalah satu-satunya dari generasinya, yang menjalankan tugas-tugas sosial hingga akhir hayatnya, dari semenjak mahasiswa hingga anaknya menjadi mahasiswa, dari umur 20-an hingga akhir hayatnya di usia 63 tahun. Sahabat-sahabat seangkatannya (saya sungkan menyebutkan nama, padahal tidak negatif juga) beralih profesi setelah kerja-kerja sosial 10, 20, maksimal 30 tahun. Aktivisme itu ada usianya, ada batasnya. Sekali lagi wajar jika orang berhenti dari kerja-kerja kesosialan. Sementara itu, dalam diri Mas Imam, aktivisme sepertinya jalan panjang, selagi hayat masih dikandung badan.
Sekitar tahun 2017, Mas Imam sakit berat dan komplikasi, diabetes dan lain-lain, termasuk penyakit kulit yang menyebabkan tidak bisa mengenakan celana. Dia hanya bisa sarungan. Itu pun harus dari kain dengan tekstur tertentu yang lembut sekali. Jika tidak, dia akan merasa sangat tidak nyaman.
Di tengah itu, dia menghadiri acara pertemuan penulis muda dari berbagai daerah. Suaranya pelan, gerak-geriknya pelan, wajahnya pucat, badannya kerempeng. Kurus sekali. Saya tidak kuat memandangi Mas Imam saat sakit. Materi yang dia sampaikan waktu itu pun jadi terasa wasiat pada kami. Makin tidak enak suasananya. “Sampean semua punya tugas menggali informasi dari para kiai. Beliau-beliau harus diwawancarai. Karena merekalah sumber informasi masyarakat,” begitu 'wasiatnya'. Sambil menceritakan mendiang Emmanuel Subangun, Mas Imam bicara masyarakat, kiai, dan pesantren dengan cukup jernih, seperti tidak sedang sakit berat.
Tidak hanya itu, di tengah rasa sakitnya, Mas imam masih melakukan kerja-kerja Advokasi. Saya, Saiful Huda Shodiq, dan teman-teman NU Kendal, berkoordinasi dengan pemerintah selama berhari-hari untuk membebaskan Kiai Nur Aziz Kendal dari penjara karena persoalan tanah, konflik dengan Semen Indonesia. Dan Mas Imam aktif berkomunikasi bahkan hadir saat menemui Menkumham Yasona di Jakarta. Alhamdulillah usaha ini berhasil. Kiai Nur Azis bebas dari penjara pada bulan Ramadan 1445 atau sekitar Mei 2019. Waktu itu saya berkata dalam hati, "Mas Imam memimpin kami menjalankan fardu kifayah." (Bersambung)