Kiai Ahmad Yazid adalah guru dari Mr. Kalend, pemilik lembaga kursus bahasa Inggris pertama di Pare Kediri, BEC. Bagaimana sosok beliau yang mencintai ilmu hingga mampu mengusasi sembilan macam bahasa dunia?
Foto: Woko Utoro
Tulisan ini sebenarnya telah tersimpan lama di note ponsel saya. Tulisan ini belum pernah diunggah di media mana pun dan hanya menjadi artefak jika tanpa pernah terpublikasikan. Saya menulis tentang beliau tak lain karena kekaguman akan sosok sederhana nan bertalenta luar biasa.
Tulisan ini lahir setelah 3 tahun saya mengunjungi perpustakaan Ahmad Yazid Center (sekitar tahun 2017). Tempat itu merupakan sebuah hunian tempat beliau tinggal sekaligus menyimpan berbagai macam koleksi buku. Perpustakaan yang diberi nama “Darul Falah”, yang tepatnya berada di lantai dua.
K.H. Ahmad Yazid sosok yang jarang diketahui banyak orang termasuk saya ini merupakan sosok yang istimewa. Pengalaman pertama saya mengenal nama beliau yaitu saat bertemu dengan Miss Iffa, beliau merupakan salah satu pengajar di EECC Pare Kediri asuhan Mr Akhlis (alm) yang juga murid dari Mr Kalend Osen pendiri BEC Kediri.
Sedangkan Mr Kalend sendiri tak lain adalah murid langsung dari K.H. Ahmad Yazid. Awalnya saya terkaget ketika di sms oleh Miss Iffa bahwa beliau bermimpi supaya berkunjung ke perpustakaan Ahmad Yazid Center dan meminta saya dan Gus Jaza untuk menemani beliau. Miss Iffa sendiri merasa aneh sudah hampir beberapa tahun tinggal dan bolak-balik Solo-Pare tapi beliau merasa ada yang kurang.
Mungkin mimpi itu adalah isyarat bahwa silaturahmi bisa terus bersambung walau sosok orangnya telah tiada. Saya sendiri tidak tau banyak hal, akan tetapi dari mimpi beliau saya meyakini bahwa antara beliau dan Mbah Yazid pasti memiliki hubungan emosional nasab yang entah bersambung di mana.
Singkat cerita kami pun ke sana dan mengutarakan keinginan untuk dapat masuk ke perpustakaan tersebut. Dengan bercerita kepada petugas perpus tersebut bahwa Miss Iffa bermimpi untuk sowan ke ndalemnya Mbah Yazid. Akhirnya kami pun diperbolehkan masuk ke sana.
Saat menginjakan kaki di lantai dua, di depan pintu kami masih terdiam belum beranjak masuk. Kami hanya terpaku sejenak sedikit gemetar melihat koleksi buku yang banyak dan terlihat lawas. Memang saat kami masuk dan melihat buku-buku tersebut telah usang dan berdebu. Kami pun berseloroh jangan-jangan pasca Mbah Yazid wafat semut, rayap dan kutu kayu lebih menyukai buku tersebut ketimbang kita.
Melihat koleksi buku yang banyak dan bervariatif itu seolah siapa saja yang pertama memasukinya akan mengatakan bahwa Mbah Yazid merupakan sosok yang rakus akan bacaan. Pasti beliau memiliki waktu khusus saat harus lebih intim dengan buku-bukunya. Diantara buku-buku beliau yang saya catat hanya Vocabularium of Botanicum, Das Kluge Alfhabet, The Gospel of Barnabas, al Qur'an dalam berbagai terjemahan bahasa dan masih banyak lagi lainya.
Saya tidak sempat mencatat keseluruhan buku karena saking banyaknya. Saya hanya iseng mencatat ada sekitar 19 bahasa dunia yang termuat dari banyaknya buku beliau di antaranya bahasa Ibrani, Tagalog, Mandarin, Arab, Inggris, Jepang, Korea, Belanda, serta bahasa daerah seperti Jawa, Sunda bahkan Madura.
Hal yang menarik dari semua koleksi buku-buku Mbah Yazid yaitu beliau sangat senang memberi syarah (catatan) pada tiap sudut buku atau di bawahnya percis seperti makna pegon dalam tradisi turats santri ala pesantren. Bahkan beliau menuliskanya dengan begitu rapih seperti apa yang di dawuhkan Syeikh az Zarnuji dalam kitab Ta'lim Mutaalim bi thariqi taalum.
Seperti kebanyakan penulis yang mengabarkan tentang sosok Mbah Yazid beliau adalah kiai yang mencintai bahasa. Menurut Mr Kalend beliau menguasai 9 bahasa asing bahkan lebih, hal itu bisa dilihat dari koleksi bukunya yang lintas keilmuan dan lintas bahasa. Saking alimnya beliau dalam penguasaan ilmu dan bahasa konon beliau pernah menjadi duta besar Indonesia di era pemerintahan Presiden Ir Soekarno bahkan konon juga Clifford Geertz antropolog asal Amerika yang mempopulerkan trikotomi orang Jawa: Priyayi, Santri dan Abangan pernah ikut juga bertanya pada K.H. Ahmad Yazid saat beliau meneliti Mojokuto Kediri. Akan tetapi hal ini saya dapat dari cerita lisan tentu perlu diverifikasi kebenarannya.
K.H. Ahmad Yazid sosok yang cinta ilmu dan bahasa itu merupakan putra pertama dari pasangan Siti Maimunah dan Kiai Muhammad Thahir (1882). Sedangkan ayah beliau Kiai Muhammad Thahir merupakan putra ke-6 dari Kiai Abdul Qahar dan Siti A'isiah. Dari jalur Kiai Abdul Qahar bersambung kepada Syeikh Jali dan Syeikh Abdurrahman Haryo Tedjo at Tubani, sedangkan dari jalur Siti A'isiah bersambung kepada Syeikh Nurhasan al Quddusi at-demai, Syeikh Nurhamid, Sultan Mukmin, Sultan Trenggono dan Sultan Abdul Hamid al Fatah (Raja Demak).
Tidak hanya itu istri KH Ahmad Yazid, Siti Maryam nasabnya pun bersambung sampai Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. KH Ahmad Yazid dikaruniai 6 orang anak di antaranya Drs Saifullah Yazid, Drs H. Nurhasan Yazid, MM, Muhammad Sholeh Thaher, SH, MH, Ir Machmud Syakir, M.sc, Dr Drh Siti Rahmah Umniyati, dan Ir Mochammad Thahiri, M.sc. (Sumber silsilah keluarga dokumen pribadi Ahmad Yazid Center). Sayang saat kami berkunjung ke sana tidak ada satupun anak turun beliau yang bisa kami temui. Walaupun begitu setidaknya kami tidak rugi bisa masuk dan diizinkan merapihkan buku-buku beliau.
Waktu pun beranjak sore tak terasa kami menghabiskan waktu berjam-jam dan bahkan aslinya pun kurang, akhirnya kami pun pamit pulang. Saya pribadi setidaknya memiliki banyak ilmu yang didapat dari sana bahwa Allah swt akan mengangkat derajat orang yang mencari ilmu dan bukti riilnya ada pada sosok K.H. Ahmad Yazid sang pecinta bahasa itu. Kini beliau telah tiada, namun telah banyak mewariskan segala kenangan dan kekaguman luar biasa bagi kita para pelajar dan pendidik.
Beliau di makamkan di belakang masjid Baiturrahman tepat di bawah pohon Nogosari bersemayam jasad orang besar dengan hanya ditandai batu bata sederhana lagi berlumut namun harum semerbak kebermanfaatan dan semangat keilmuanya masih tercium hingga kini. Lahul fatihah.
Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Siti Musdah Mulia, berkesempatan untuk menghadiri Konferensi Internasional tentang Perdamaian