Dalam kebudayaan Jawa, ternyata “wong beja” atau orang beruntung menempati posisi puncak dalam hierarki keadaan seseorang. Beja adalah sebentuk keadaan yang konon lebih mulia daripada alim ataupun saleh.
Ketika kealiman ataupun kesalehan dapat dibentuk, diciptakan, atau bahkan digantikan, namun tak demikian dengan keberuntungan atau beja yang konon sama sekali lepas dari segala jangkauan kemanusiaan.
Pengertian beja tentu saja tak sekadar keberuntungan dalam menebak angka togel ataupun luput dari segala kesialan seumpamanya. Sebab pada kasus-kasus itu, orang masih menginginkan atau berharap, entah berharap angka tebakannya keluar atau selamat dari kesialan.
Maka, tepatlah ketika dalam agama apa yang dianggap sebagai lawan dari beja menjadi pijakan awal dalam perumusan agama dan kehidupan beragama. Lawan beja itu adalah rugi, sebuah keadaan yang seolah-olah sangat dihindari oleh agama, meskipun pada tataran keadaan beja itu sama sekali tak eksplisit ditekankan sebagaimana keadaan alim ataupun saleh dalam agama.
Ketika AI atau kecerdasan buatan seolah nyaris dapat menggantikan peran seorang manusia sebagaimana di hari ini, maka nyaris pula agama yang notabene adalah pengabaran-pengabaran tentang berbagai hal yang banyak di antaranya sekadar kabar yang mesti diimani belaka menjadi gamang untuk dipegang. Setidaknya, inilah yang muncul pertama kali dalam diskusi soal kecerdasan buatan.
Maka ketika dalam agama pernah terdapat prinsip untuk perlunya berguru pada agamawan-agamawan yang nyata—dengan segala tetek-bengek kepercayaan yang mengitarinya—daripada guru-guru yang bukan dari kalangan manusia, tentu saja AI atau kecerdasan buatan adalah lebih alim, salih, dan bahkan lebih suci daripada mereka semua: ikhlas (tak berharap imbalan), tak cabul, tak sombong dengan kealimannya, dan sebagainya.
Namun, pertanyaan besar yang patut diajukan atas segala potensi yang dimiliki oleh AI, setelah kealiman dan kesalehan manusia dapat diatasinya, adakah keadaan beja juga menjadi keadaan yang dapat direngkuhnya?
Tentu saja pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh AI atau sang kecerdasan buatan. Dan inilah yang menjadi kelemahan dari AI dengan segala perkembangannya. Kita tentu tahu bahwa AI itu lebih alim dan lebih saleh daripada kita. Namun, tentu saja kita tak akan pernah tahu apakah AI itu lebih beja daripada kita yang telah dikalahkan tingkat kecerdasan dan kesalehannya.
Maka ketika kebudayaan Jawa menempatkan keadaan beja pada posisi puncak di atas segala keadaan lainnya, ketika itu pula kebudayaan Jawa tengah mewariskan sebuah kedudukan yang hanya ada pada kita sebagai seorang manusia.
Dalam kaweruh beja Suryamentaram, beja itu juga disebut sebagai “bahagia,” yang ternyata hanyalah sebentuk keadaan yang tak kekurangan suatu apa pun, entah di tengah keadaan yang kalah ataupun menang, tidur ataupun terjaga, kaya ataupun melarat, luhur ataupun rendah, dan bahkan pun beruntung (dalam ukuran I, II, dan III) ataupun rugi. Dan keadaan semacam inilah yang tak mampu kita konfirmasikan pada sang AI, yang beja atau tidaknya ternyata hanya seturut dengan beja atau tak beja-nya kita sebagai manusia.