Mencari apa,
manusia inginkan apa…
Sepenggal lirik menohok dari lagu berjudul “Mencari Apa” karya Iksan Skuter itu terdengar menusuk, menyimpan sebuah kebimbangan. Ia melempar sebuah kegelisahan yang sering kita pendam. Pertanyaan seperti, “apa sih yang kita cari di hidup ini?” tidak datang dari ruang kosong, melainkan dari kelelahan yang menumpuk, dari hasrat yang tak pernah benar-benar selesai, dan dari rasa tidak puas yang terus berulang meski tujuan demi tujuan telah tercapai.
Lirik itu terasa seperti cermin. Ia memantulkan wajah manusia modern yang sibuk berlari, tetapi lupa ke mana arah langkahnya. Kita mengejar sesuatu, tanpa pernah benar-benar merasa puas. Barangkali, kebingungan itulah yang coba dirangkum Iksan Skuter dalam lagu ini.
Iksan Skuter dikenal sebagai musisi yang konsisten menyentuh realitas sosial dengan cara yang jujur dan satir. Lagu-lagunya kerap berbicara tentang kegelisahan orang kecil, absurditas hidup, dan ironi modernitas. Dengan gaya musik folk, ia menghadirkan kritik yang mengendap pelan-pelan di kesadaran pendengarnya. Ciri khas aksi panggungnya dapat dikenali lewat penampilan nyentrik dengan membawa gitar dan harmonika.
Menilik di Wikipedia, Iksan Skuter lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 30 Agustus 1981. Ia aktif bermusik sejak awal 2000-an dan mulai mendapat perhatian luas ketika albumnya Gulali masuk nominasi album terbaik versi Tempo pada 2017. Namun, lebih dari sekadar pencapaian, kekuatan Iksan terletak pada kemampuannya membaca zaman—menangkap keresahan yang sering gagal kita rumuskan dengan kata-kata.
Untuk memahami lagu “Mencari Apa”, kiranya menarik melakukan pendekatan dengan teori verstehen dari Wilhelm Dilthey. Ia menekankan bahwa memahami karya manusia—termasuk teks, sastra, dan lagu—tidak cukup hanya dengan analisis struktural, tetapi harus masuk ke pengalaman hidup dan konteks batin penciptanya (Hardiman, 2018). Memahami di sini bukan sekadar menjelaskan, tetapi ikut merasakan. Lagu ini bukan laporan objektif tentang dunia, melainkan ekspresi pengalaman manusia yang gelisah menghadapi hidup.
Saat merangkak ingin berjalan,
Ketika berjalan ingin berlari,
Saat berlari bermimpi terbang,
Ketika terbang ingin menyelam…
Rangkaian kalimat ini menggambarkan dinamika keinginan manusia yang terus bergerak. Setiap tahap kehidupan selalu melahirkan hasrat baru. Tidak ada titik cukup. Ketika satu keinginan terpenuhi, keinginan lain segera muncul. Inilah wajah manusia yang selalu merasa kurang, meski secara material dan sosial telah melampaui banyak batas.
Lirik ini bukan sekadar kritik, melainkan pengakuan. Iksan tidak sedang menghakimi manusia, tetapi menunjukkan bahwa ketidakpuasan adalah bagian dari kondisi manusia itu sendiri. Kita bergerak bukan karena kebutuhan semata, tetapi karena dorongan untuk menjadi “lebih” dari hari ini.
Namun, di titik inilah persoalan muncul. Kita sering menghabiskan terlalu banyak energi hanya untuk menjadi “normal”—mengejar standar hidup yang ditentukan oleh masyarakat—padahal menjadi manusia saja seharusnya sudah cukup (Faiz, 2022). Kita lupa menikmati proses, lupa berhenti, lupa bertanya apakah semua keinginan itu benar-benar milik kita, atau hanya warisan dari tuntutan sosial.
Lirik berikutnya semakin mempertegas ironi itu:
Si anak kecil ingin dewasa,
Saat dewasa rindu masa lalunya,
Di saat miskin bermimpi kaya,
Ketika kaya ingin apa adanya…
Di sini, lagu ini bersinggungan dengan kritik Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumerisme. Baudrillard menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, keinginan manusia tidak lagi lahir dari kebutuhan nyata, melainkan dari sistem tanda dan simbol (Baudrillard, 2011). Kita menginginkan sesuatu bukan karena membutuhkannya, tetapi karena ia melambangkan status, kebahagiaan, atau keberhasilan.
Anak kecil ingin dewasa karena dewasa dianggap bebas. Orang dewasa rindu masa kecil karena masa itu terasa ringan. Orang miskin bermimpi kaya karena kaya bisa melakukan apa saja. Orang kaya justru ingin “apa adanya” karena kekayaan tidak membawa ketenangan seperti yang dibayangkan. Hasrat itu berputar tanpa henti, menciptakan siklus kelelahan yang tak disadari.
Dalam logika konsumerisme, manusia terus didorong untuk merasa kurang. Ketika satu keinginan terpenuhi, sistem segera menciptakan keinginan baru. Hedonisme tidak lagi soal kenikmatan, tetapi soal pengejaran tanpa akhir. Di titik ini, manusia kehilangan makna, karena hidup hanya diukur dari apa yang dimiliki, bukan dari apa yang dirasakan.
Lagu “Mencari Apa” menjadi kritik halus terhadap kondisi itu. Ia tidak menyuruh kita berhenti bermimpi atau berkeinginan, tetapi mengajak kita bercermin. Apakah semua yang kita kejar benar-benar membuat kita lebih hidup, atau justru menjauhkan kita dari diri sendiri?
Menjelang akhir, pertanyaan yang diajukan lagu ini semakin personal:
Apakah kamu begitu,
Dan apakah kita begitu…
Pertanyaan ini tidak menuntut jawaban. Ia dibiarkan menggantung, seperti jeda panjang dalam hidup yang jarang kita berikan pada diri sendiri. Barangkali, kita memang seperti itu—terus mencari, terus ingin, terus merasa kurang. Tetapi dengan menyadarinya, kita setidaknya diberi kesempatan untuk berhenti sejenak.
Lagu ini sederhana, tapi penuh makna. Refleksi dari lagu ini tidak menawarkan solusi instan. Ia justru mengingatkan bahwa kebahagiaan bukan terletak pada berhentinya keinginan, melainkan pada kesadaran akan batas. Bahwa hidup tidak harus selalu naik tingkat. Bahwa menjadi manusia—dengan segala keterbatasannya—sudah cukup layak untuk dijalani dengan jujur.
Pada akhirnya, “Mencari Apa” bukan sekadar lagu, melainkan ajakan untuk berdamai dengan diri sendiri. Di tengah dunia yang terus mendorong kita untuk lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih banyak, barangkali keberanian terbesar adalah berhenti bertanya “ingin jadi apa”, dan mulai bertanya “ingin hidup bagaimana.”