Natal, yang hadir di ujung tahun itu, hampir selalu tampil dengan wajah yang seragam. Ada cahaya lampu, lagu-lagu sukacita, khotbah tentang cinta, serta pesan damai yang seperti senada dari tahun ke tahun.
Dalam budaya populer, Natal kerap menjadi ritual yang nyaman untuk dirayakan. Ia hangat, meriah, dan aman dari kegelisahan. Ia dirayakan, tetapi kerap terlewat kedalaman esensinya karena jarang dikontekstualisasi.
Sastra, khususnya puisi, justru menawarkan jalan lain untuk menamainya. Natal dibaca bukan sebagai pesta iman, melainkan sebagai peristiwa kemanusiaan yang getir, rapuh, dan penuh risiko.
Dalam puisi-puisi W.S. Rendra dan Joko Pinurbo, contoh yang bisa diambil dari dua gaya penulisan karya puisi, Natal didekonstruksi dari kemegahannya dan dikembalikan pada inti terdalam inkarnasi. Bahwa Tuhan yang memilih hadir sebagai tubuh manusia.
Ruang Sosial
Bagi Rendra, Natal adalah peristiwa yang tak bisa dipisahkan dari sejarah dan politik kehidupan. Yesus dalam imajinasi puitiknya bukan figur suci yang berdiam di altar, melainkan manusia yang berjalan di ruang sosial yang konkret. Dalam sajak “Sajak Orang Kepanasan” dari kumpulan Potret Pembangunan dalam Puisi (1979), Rendra menulis, “Aku melihat Yesus berjalan di jalanan”—sebuah gambaran yang dengan sengaja menempatkan Kristus di luar ruang liturgis,
Inkarnasi, dalam pembacaan Rendra, adalah sebuah tindakan radikal. Tuhan turun ke dunia bukan untuk menenangkan, melainkan untuk mengganggu. Kelahiran Kristus bukan sekadar kabar gembira, tetapi pada saat yang sama. juga menjadi tudingan moral terhadap sistem sosial yang membiarkan manusia hidup dalam penindasan.
Nada profetik Rendra menjadikan Natal sebagai cermin yang tidak nyaman. Ia menolak Natal sebagai nostalgia religius yang menenangkan. Kristus dalam puisinya selalu hadir di ruang konflik, “bersama orang-orang kecil”—mereka yang disingkirkan oleh kekuasaan dan dilupakan oleh sejarah.
Dengan cara ini, Natal menjadi panggilan etis untuk berpihak. Merayakan kelahiran Tuhan tanpa keberanian untuk menatap ketimpangan sosial, bagi Rendra, hanyalah kemunafikan rohani. Natal menuntut konsekuensi, yaitu keberanian untuk berdiri bersama yang tertindas.
Sikap ini memperlihatkan bahwa bagi Rendra, iman bukan urusan privat semata. Kristus adalah Tuhan yang masuk ke sejarah, dan sejarah selalu sarat kekerasan, kemiskinan, dan perebutan kuasa.
Karena itu, Natal tak pernah netral. Ia selalu politis, dalam arti paling manusiawi dengan berpihak pada kehidupan yang dirusak. Inkarnasi berarti Tuhan menolak jarak aman. Ia tidak mengamati dunia dari kejauhan, tetapi masuk ke dalamnya, dengan segala risikonya.
Ruang Sunyi
Berbeda dengan Rendra yang membawa Natal ke ruang publik dan sejarah, Joko Pinurbo justru menggesernya ke ruang paling sunyi: kamar, tubuh, dan batin manusia. Dalam puisi-puisi Jokpin, Natal berlangsung tanpa keramaian dan gegap gempita. Yesus hadir sebagai bayi kecil yang menggigil, sepenuhnya bergantung pada kehangatan orang lain.
Dalam sajak “Doa Malam Natal” dari kumpulan Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Jokpin menulis tentang Tuhan yang datang tanpa kemegahan, hadir dalam kesunyian malam dan keterbatasan manusia. Sajaknya serupa sebuah doa yang tidak berteriak, tetapi berbisik.
Inkarnasi dibaca sebagai kerapuhan ekstrem. Tuhan memilih menjadi lemah. Tidak ada aura heroik. Yang ada justru kesederhanaan yang nyaris banal. Dalam sajak “Yesus Kecil” dari buku Celana (1999), figur Kristus digambarkan sebagai bayi yang “kedinginan” dan membutuhkan pelukan—sebuah gambaran yang meruntuhkan imajinasi teologis tentang Tuhan yang perkasa.
Bahasa puitik Jokpin yang liris, sederhana, dan kerap ironis menjadi kritik kultural yang halus. Ia menolak Natal yang terlalu berisik, terlalu penuh slogan, dan terlalu sibuk merayakan diri sendiri.
Dalam dunia yang dijejali distraksi dan euforia artifisial, Jokpin menghadirkan Natal sebagai peristiwa sunyi, bahwa Tuhan datang diam-diam, nyaris tak terdengar. Dan justru dalam kesunyian itulah manusia dipaksa berhadapan dengan dirinya sendiri—kesepian, ketakutan, dan keterbatasan yang sering disembunyikan di balik perayaan.
Natal menurut Jokpin adalah pengalaman batin, bukan pertunjukan iman. Ia tidak menuntut keyakinan yang diteriakkan, melainkan kejujuran eksistensial. Tubuh menjadi pusat pengalaman spiritual, sebagai tubuh yang letih, menua, dan rapuh.
Dalam perspektif ini, iman tidak lahir dari kepastian, melainkan dari kerelaan mengakui ketidakberdayaan. Tuhan hadir bukan untuk memamerkan kuasa, melainkan untuk berbagi nasib dengan manusia.
Membumikan Natal
Meski bergerak ke arah yang berbeda, Rendra dan Jokpin bertemu pada satu titik krusial, yaitu keduanya membumikan Natal. Mereka menolak Natal sebagai simbol kosong atau dekorasi religius.
Inkarnasi tidak dipahami sebagai konsep teologis yang mengawang, melainkan sebagai peristiwa tubuh. Tubuh yang lapar, dingin, berkeringat, dan terluka menjadi medan perjumpaan antara ilahi dan manusia. Di sinilah humanisme religius mereka menemukan bentuknya.
Keduanya juga sama-sama meruntuhkan gambaran Tuhan yang agung dan jauh. Natal, dalam puisi mereka, adalah dekonstruksi keagungan. Tuhan yang lahir di palungan adalah Tuhan yang menanggalkan kemapanan. Kelahiran bukan awal kemenangan, melainkan awal perjalanan di hadapan takdir kehidupan.
Dengan pembacaan ini, Natal menjadi respon sekaligus kritik terhadap agama yang terlalu nyaman dengan kekuasaan, simbol, dan legitimasi sosial. Tuhan tidak bersemayam di puncak hierarki, melainkan hadir di dasar kehidupan.
Pembacaan Natal ala Rendra dan Jokpin menjadi sangat relevan dalam konteks Indonesia hari ini. Ketika agama sering tampil sebagai identitas yang dipertontonkan, Natal berisiko kehilangan daya etiknya. Ia bisa terjebak dalam seremonialisme, konsumsi, dan slogan damai yang tidak menyentuh realitas.
Puisi-puisi ini mengingatkan bahwa inti Natal bukanlah perayaan, melainkan kehadiran – kehadiran di tengah ketimpangan sosial, atau kehadiran dalam sunyi batin yang sering dihindari.
Dalam sastra, Natal tidak menawarkan jawaban final, tapi pertanyaan yang terus mengusik. Di mana Tuhan hadir hari ini? Apakah di jalanan yang dipenuhi ketidakadilan, atau di kamar-kamar sunyi tempat manusia berhadapan dengan dirinya sendiri?
Pertanyaan ini tidak menuntut dogma, melainkan sikap hidup. Sastra menjadi ruang spiritualitas kritis di mana iman yang berpikir, iman yang gelisah, dan iman yang menolak tunduk pada kemapanan.
Pada akhirnya, Natal menurut Rendra dan Jokpin bukanlah peristiwa tahunan yang selesai dirayakan. Ia adalah sikap eksistensial yang harus terus dihidupi. Entah melalui keberpihakan sosial ala Rendra atau kejujuran batin ala Jokpin,
Natal menjadi panggilan untuk hadir sepenuhnya sebagai manusia. Manusia yang tidak bersembunyi di balik simbol, tetapi berani bersentuhan dengan debu sejarah dan kesunyian tubuh. Di sanalah Natal menemukan maknanya yang paling manusiawi, dan sekaligus paling spiritual.