Konflik politik di Libya memanas pada Maret 2011. Saat itu, pemerintah Indonesia terpaksa memulangkan sekitar 900 WNI dari ibu kota Tripoli dan wilayah sekitar. Maskapai Garuda Indonesia dan pesawat charter dikerahkan untuk memulangkan tenaga kerja sektor informal, mahasiswa, dan pekerja-pekerja di ladang minyak Pascakonflik, hubungan bilateral kedua negara diperkuat, termasuk pemulihan kerja sama dengan Pertamina.
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Anis Matta, berjalan dengan langkah tergesa menuju salah satu ruang pertemuan di Hotel Grand Hyatt Jakarta. Semula, Anis dan mitranya, Emhemed Saeed Ali Zidan, dijadwalkan untuk membuka sekaligus menutup Sidang Komite Bersama RI-Libya ke-2, pada Senin (15/12).
Apa daya, Presiden Prabowo Subianto pada hari dan waktu yang bersamaan menggelar Rapat Kabinet untuk membahas bencana banjir dan longsor di Sumatra. Seluruh jajaran Menteri dan Wakil Menteri diminta untuk hadir. Maka, pertemuan itu terpaksa diundur dan selepas Maghrib baru dapat dihadiri oleh kedua Wamenlu.
Emhemed Saeed Ali Zidan adalah Wakil Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Urusan Migrasi dan Warga Negara di Luar Negeri. Ia memimpin delegasi Libya ke Jakarta, termasuk sejumlah pengusaha.
Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, Sidang Komite Bersama RI-Libya yang pertama telah diselenggarakan pada 2009 atau 16 tahun silam. Pertemuan berikutnya terpaksa terus ditunda akibat perang dan transisi kekuasaan pasca-tewasnya pemimpin Libya, Muammar Ghaddafi, pada 20 Oktober 2011. Maka, Sidang Komite Bersama RI–Libya ke-2 bertujuan untuk memperkuat hubungan persahabatan dan kerja sama yang telah terjalin antara kedua negara.
“Pertemuan ini untuk menindaklanjuti hasil kunjungan saya ke Libya tiga bulan lalu. Sebenarnya hubungan RI-Libya itu tidak pernah putus sama sekali selama masa konflik, kita hanya mengurangi aktivitas kedutaan di sana termasuk tidak menempatkan Duta Besar Indonesia di Tripoli, hanya ada Kuasa Usaha. Setelahnya kita melihat bahwa kondisi Libya sekarang sudah jauh lebih baik. Pihak-pihak yang bertikai memiliki peluang untuk menemukan jalan damai untuk membangun pemerintahan bersama,” ungkap Anis Matta.
Komite Bersama telah meninjau perkembangan hubungan bilateral serta membahas langkah-langkah untuk meningkatkan dan mengembangkan kerja sama di sejumlah bidang prioritas, antara lain ekonomi dan perdagangan, koordinasi politik dan diplomatik, kesehatan, pendidikan teknis dan vokasional, serta investasi.
Wamenlu Anis Matta menyampaikan kata sambutannya dalam bahasa Arab yang fasih. Sementara Wamenlu Libya mengungkapkan dukacita atas ribuan korban bencana banjir dan longsor di Sumatera.
“Atas nama rakyat dan pemerintah Libya, kami menyampaikan belasungkawa. Kami berterima kasih atas sambutan yang hangat dan hubungan bilateral yang terjalin sejak lama antara Indonesia dan Libya. Semoga Allah memberkati kita,” ujar Ali Zidan.
Berikut wawancara singkat Alif.id dengan Wamenlu Anis Matta, setelah menutup pertemuan dan saling bertukar cinderamata dengan Wamenlu Libya.
Pemerintah Indonesia dulu sempat tidak mengakui pemerintah oposisi Libya, sekarang keadaannya seperti apa?
Pada dasarnya saat ini di Libya sudah tidak ada perang, tapi masih ada semacam status quo; artinya tidak ada perang tapi statusnya juga bukan damai. Kadang-kadang muncul konflik sporadis di sana sini, tapi saya kira secara psikologis semua pihak--terutama rakyat Libya, sudah lelah dalam konflik dan semua pihak sekarang menginginkan kedua pihak yang bertikai untuk menemukan jalan damai. Saya kira Indonesia juga sudah mengajak pihak internasional untuk memberikan dukungan kepada masyarakat Libya.
Saat ini Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Barat masih menilai Libya sebagai ancaman keamanan global, apakah ini akan berpengaruh pada hubungan RI-Libya masa kini?
Saya kira situasinya kini telah jauh berubah. Setelah tahun-tahun konflik yang panjang saya kira semua pihak akhirnya sadar bahwa perang bukanlah jalan penyelesaian bagi mereka. Sekarang waktunya mereka melakukan rekonsiliasi, berdamai kembali, dan membangun pemerintahan bersama. Tapi Indonesia menginginkan proses perdamaian itu ‘Libya-Libya’, artinya biarkan mereka yang menyelesaikan dan kita dari pihak internasional mendukung apa yang disepakati oleh mereka.
Pertemuan ini juga membahas kerja sama investasi dan perdagangan dengan melibatkan Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Bidang-bidang apa saja yang potensial untuk dikembangkan dengan Libya?
Peluangnya sebetulnya sangat besar tapi volume perdagangan Indonesia-Libya masih kecil, baru sekitar 100an Juta US Dollar, ini tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki kedua negara. Libya adalah negara paling kaya di Afrika Utara, bahkan mungkin di seluruh Afrika. Konflik tidak akan mengganggu kerja sama RI-Libya karena kondisinya sudah jauh lebih bagus. Oleh karena itu saya kira kita perlu meningkatkan volume perdagangan dan investasi. Sementara ini turis dari Libya yang datang ke Indonesia lumayan banyak, jumlahnya mencapai 5000 orang dalam setahun. Ini jumlahnya lebih banyak dari turis Indonesia yang berkunjung ke sana.
Perjalanan Panjang Penuntasan Konflik Libya dan Dukungan Indonesia
Pada Maret 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerukan semua pihak untuk melakukan gencatan senjata dan duduk bersama demi mengakhiri konflik di Afrika Utara dan Timur Tengah. Pembicaraan tersebut diharapkan melibatkan seluruh organisasi di kawasan, seperti Liga Arab dan Uni Afrika.
SBY mendesak kekerasan harus dihentikan karena jumlah korban sipil terus meningkat. Pernyataan ini disampaikan sepekan setelah serangan udara dilancarkan pasukan koalisi internasional, yang kini dialihkan kepada NATO. Menurutnya, ada dua elemen dari Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 yang selama ini kurang sering diangkat. Salah satunya mengenai perlunya gencatan senjata. “Itu adalah amanah dari Resolusi 1973,” tegas SBY.
Pada Agustus 2011, sehari setelah Tripoli jatuh ke tangan oposisi, bendera resmi yang biasa dikibarkan di kantor Kedutaan Besar Libya di Jakarta berganti dengan bendera milik oposisi. Mereka mengibarkan bendera milik Dewan Transisi Nasional Republik Libya, yang berwarna merah, hitam, dan hijau, dengan bulan sabit dan bintang berwarna putih di tengahnya.
Pengamat Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hamdan Basyar, menilai wajar atas sikap berhati-hati yang dilakukan Kementerian Luar Negeri.
“Saya kira sikap Indonesia perlu berhati-hati karena (waktu itu) belum ada pernyataan resmi dari Dewan Transisi Nasional, dan itu urusan dalam negeri mereka. Kalau mereka memang mengganti pemerintahan kan Indonesia tinggal mengikuti saja, saya kira ini sikap yang cukup baik,” ujar Hamdan Basyar.
Basyar menambahkan, Libya adalah negara dengan pendapatan domestik brutto (PDB) yang sangat tinggi, sekitar 14 ribu Dollar Amerika –dan ini hanya bersandar dari produksi minyaknya saja. Secara ekonomi Libya memang sejahtera, namun tidak demikian halnya dengan di bidang politik.
“Secara ekonomi mereka relatif sejahtera dengan PDB sekitar 14 ribu Dollar Amerika, tetapi secara politik mereka dibungkam oleh rezim Gaddafi. Ada kelompok yang secara politik ingin berperan dan ini yang belakangan menjadi oposisi. Tetapi secara eksternal juga ada kepentingan untuk menyingkirkan Gaddafi yang sering seenaknya. Maka, rezim (Gaddafi) dipandang perlu dibubarkan.
Pemerintah Indonesia baru menyampaikan dukungan resmi terhadap proses transisi demokrasi damai di Libya, saat pimpinan Dewan Transisi Nasional Libya (NTC), Mustafa Abdel Jalil, menyampaikan komitmennya di Paris, pada 1 September 2011. Kala itu, Dewan Transisi Nasional Libya menyatakan akan menjunjung tinggi prinsip rekonsiliasi nasional, sekaligus penghormatan terhadap penegakkan hukum di Libya.
“Dukungan pemerintah Indonesia terhadap upaya Dewan Transisi Nasional Libya untuk melakukan proses transisi demokrasi damai ini sejalan dengan sikap Indonesia, yaitu perlindungan terhadap masyarakat sipil. Situasi di Libya hanya dapat diselesaikan melalui proses politik yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan masa depannya sendiri, dan peranan masyarakat internasional khususnya PBB menciptakan kondisi yang kondusif bagi upaya perlindungan masyarakat sipil dan proses politik tersebut,” ungkap Michael Tene, mantan Juru Bicara Kemlu RI.