Kemenangan bersejarah Zohran Mamdani sebagai wali kota Muslim pertama di kota New York telah memicu kegembiraan dan harapan di kalangan Muslim Amerika. Banyak yang merasa lega dan bangga bahwa ujaran kebencian anti-Muslim yang ditujukan kepada Mamdani selama kampanye tidak menghentikan warga New York untuk memilihnya.
Seperti yang dikutip dari kantor berita Associated Press (AP), kemenangan itu menumbuhkan harapan akan pulihnya sikap kebencian warga AS di New York terhadap kaum Muslim pasca serangan 11 September 2001.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan AP, Mamdani memenangkan mayoritas besar pemilih Muslim; sekitar 9 dari 10 pemilih Muslim mendukungnya. Mereka merupakan kelompok pemilih yang sangat kecil di kota tersebut, jumlahnya sekitar 4%.
Mamdani, seorang sosialis demokrat, menggambarkan kemenangannya sebagai berkah bagi pekerja kelas buruh yang kesulitan bertahan hidup. Agenda kampanye yang diusungnya meliputi bus gratis, perawatan anak gratis, dan pembekuan sewa untuk apartemen yang diatur oleh sistem sewa.
Tidak hanya menjadi walikota Muslim pertama di kota New York, ia juga akan menjadi walikota pertama dengan warisan Asia Selatan, dan juga yang pertama lahir di Afrika.
Shamsi Ali, imam di Islamic Center of New York sekaligus direktur Jamaica Muslim Center, dalam wawancara tertulis kepada Alif.id, Kamis (6/11) mengatakan jalan panjang yang terjal dan penuh duri yang dilalui komunitas Muslim hingga terpilihnya Mamdani sebagai Wali Kota New York, tidak hanya mewakili kemenangan politik melainkan pula kemenangan sosial, budaya, moral dan segala aspek kehidupan publik di kota New York, bahkan Amerika.
“Ini adalah buah manis dari pergerakan atau aktivisme Islam yang telah dijalani selama beberapa dekade, khususnya pasca 9/11 itu. Selama bertahun-tahun, komunitas Muslim di New York menghadapi pengawasan, diskriminasi, dan narasi sosial yang menganggap mereka sebagai orang lain di rumah mereka sendiri. Mereka harus berhadapan dengan kesalahpahaman, pelabelan yang keji, dan dalam banyak kasus ditakuti hanya karena agama dan keyakinan mereka,” ujar Shamsi Ali, diaspora Indonesia asal Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Shamsi Ali menuturkan bagaimana masjid, pusat komunitas Islam, organisasi pemuda, organisasi sipil, kelompok mahasiswa, semua memainkan peranan masing-masing secara signifikan. Selama hampir 25 tahun usai 9/11, mereka berjuang untuk mendapatkan kembali martabat, kehormatan, kemuliaan, narasi, dan rasa kepemilikan di kota New York. Mereka berhasil membina dan mempersiapkan pemimpin yang mampu berbicara secara alami dan tidak apologetik.
Dari perjuangan penuh liku itu muncul satu suara yang paling kuat dari generasi muda, yaitu Zohran Kwame Mamdani. Apa yang membedakan Zohran Mamdani dari yang lain bukan hanya kecerdasan atau bakat politiknya, tetapi keterbukaan, otentisitas dan keberaniannya.
“Dia tidak menyembunyikan identitasnya. Dia tidak pernah mengecilkan kata "Muslim". Dia tidak menjauhkan diri dari komunitasnya untuk mendapatkan persetujuan warga mainstream. Dia berdiri dengan bangga, berpijak pada nilai-nilai moral Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan kemuliaan manusia. Ini semua nilai-nilai yang mengguncang dunia ketika disampaikan dengan ketulusan dan kejujuran,” ungkap Shamsi Ali.
Perang Israel-Hamas Menjadi Faktor Penentu
Posisi terkait Israel dan perang di Gaza menjadi poin perdebatan selama kampanye. Sejumlah lawan politik menyerang Mamdani atas kritik kerasnya terhadap aksi militer Israel dan posisi terkait lainnya. Kemenangan Mamdani kemungkinan berdampak besar dan tentu akan menghadapi tantangan politik ke depan.
Pada saat ia mengangkat isu Palestina, pria berusia 34 tahun itu menyampaikan penderitaan di Gaza dengan apa adanya. Mamdani mengingatkan Amerika bahwa manusia manapun tidak memiliki nilai yang lebih rendah hanya karena letak geografis, suku atau agama.
Kontra dengan kampanye pro-Israel di AS, Mamdani menegaskan bahwa pemimpin yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan harus bertanggung jawab di hadapan hukum internasional, siapapun mereka dan pemimpin negara manapun.
“Saya yakin kejujurannya pasti akan dilihat sebagai keberanian dan bagi sebagian lain itu menunjukkan kepemimpinan. Tapi khusus bagi orang Islam, itu adalah kehormatan dan kemuliaan yang terbangun kembali,” kata Shamsi Ali.