Pengalaman adalah guru paling berharga. Begitulah yang dirasakan oleh peserta dalam program Girls Takeover 2025.
Pekerjaan sebagai Duta Besar (Dubes) sejak lama telah mengundang minat dan rasa penasaran dari para remaja. Retno Marsudi, mantan Menteri Luar Negeri RI di era Presiden Jokowi, sempat menjadi Dubes RI di Belanda dan Norwegia. Retno menjadi sorotan publik karena ketangguhannya dalam berdiplomasi. Banyak remaja putri yang mengidolakan Retno, ini bisa dilihat dari banyaknya respon mereka pada laman Instagram-nya.
Belum lama ini, Yayasan Plan Internasional Indonesia (Plan Indonesia) menggelar program bertajuk “Girls Takeover 2025”, untuk memberikan kesempatan kepada 12 remaja putri terpilih menjajal pekerjaan sebagai Dubes dan pimpinan lembaga PBB. Aktivitas ini melibatkan empat Kedutaan Besar (Australia, Kanada, Norwegia, dan Swedia) serta dua lembaga PBB (UNFPA dan UN Women), untuk memperingati Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada 11 Oktober.
“Sejak pertama kali diselenggarakan di Indonesia pada 2016, ratusan perempuan muda dari berbagai daerah telah membuktikan bahwa mereka mampu tampil sebagai pemimpin yang menginspirasi dan mendorong perubahan sosial berkelanjutan. Melalui “Girls Takeover kami mengajak institusi dan para pemangku kepentingan untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi perempuan,” ungkap Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia.
Jumlah total remaja putri yang terpilih dalam program ini mencapai 30 orang, termasuk 12 peserta utama dan 8 mentor. Seleksi ketat meliputi kreativitas membuat CV, ketrampilan dalam komunikasi, dan aktivitas di luar sekolah. Peserta termuda adalah Chloe M (15) dari Jakarta, sedangkan peserta paling jauh adalah Jenria (18) asal Sumba. Lucunya, keduanya mengaku tak bercita-cita menjadi dubes atau diplomat. Jadi, apa sebetulnya motivasi mereka?
“Kegiatan ini memberikan kami kesempatan menjadi pemimpin, seperti kemarin kami diberikan kesempatan untuk memimpin sebuah kegiatan. Kami juga mengalami sendiri bagaimana seorang dubes itu mencoba menyelesaikan masalah dalam program-program yang dijalankan di sini,” kata Jenria. Selama satu hari penuh, ia ‘menggantikan’ tugas Dubes Swedia untuk Indonesia, Daniel Blockert.
“Saya sempat ikut meeting di kantor AstraZeneca untuk membahas persoalan kesetaraan gender, pelecehan seksual, dan mendengarkan beberapa rekan yang berbagi tentang isu penyakit tidak menular,” lanjut Jenria. Pikirannya kini semakin terbuka atas isu-isu global yang jamak dialami anak-anak perempuan di dunia.
Sementara Chloe mengaku program ini menjadikannya bersemangat untuk mewujudkan rencana-rencananya di masa depan.
“Saya sebelumnya pernah ikut kegiatan yang sama di PBB dan belajar banyak mengenai peranan diplomasi. Kebetulan saya kebagian menjadi Dubes Kanada untuk ASEAN. Jadi, ketika seharian menggantikan Dubes Ambra Dickie (Dubes Kanada untuk ASEAN) pikiran saya semakin terbuka atas kekuatan ASEAN di dunia,” kata Chloe. Ia pelajar kelas 10 di Springfield School, sekolah berkurikulum Cambridge di Jakarta Barat.
Bahaya Cyber Bully pada Anak-anak Perempuan
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2024, ada 41 kasus anak menjadi korban pornografi dan kejahatan siber, termasuk cyberbullying. Kasus ini menempati peringkat ketiga pengaduan terbanyak dalam klaster Perlindungan Khusus Anak.
Sedangkan data Kementerian Kominfo menunjukkan hingga pertengahan 2025 sebanyak 48% anak Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan di ruang digital. Faktor penyebabnya bervariasi; mulai dari kurangnya kontrol diri dan pengawasan dari keluarga hingga kesenjangan antara perkembangan teknologi dan media sosial dengan rendahnya literasi digital pada anak-anak dan orang tua. Perilaku remaja yang suka meniru juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya cyberbullying.
Dubes Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste, Jess Dutton, mengatakan bahwa di Kanada korban cyberbullying bukan hanya anak-anak perempuan, tetapi juga tokoh-tokoh perempuan. Maka ia menilai persoalan ini harus diatasi dengan kerja sama yang kokoh antara pemerintah, masyarakat, dan parlemen.
“Cyberbullying adalah fenomena global. Saya kira penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus bekerja sama agar setiap anak, baik laki-laki dan perempuan itu dipastikan mendapat perlindungan yang setara dalam kasus-kasus cyberbullying,’ kata Dubes Dutton kepada Alif.
Kesetaraan gender sendiri menjadi salah satu isu yang dikampanyekan pemerintah Kanada, termasuk dalam program “Girls Takeover 2025”.
“Program ini tak hanya memberikan mereka pengalaman menjadi Duta Besar atau pemimpin organisasi PBB dalam satu hari. Para peserta juga diberikan pemahaman mengenai kesetaraan gender, sebab banyak persoalan yang kita hadapi saat ini membutuhkan partisipasi aktif dari laki-laki dan perempuan. Ini bukan hanya di Kanada tetapi juga secara global,” tambah Dutton.
Jurnalis kelahiran Jakarta 26 Oktober 1976. Saat ini sedang melanjutkan studi bidang Hubungan Internasional di Universitas Paramadina. Sangat tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, terutama resolusi konflik dan nasib pengungsi.