Jika biasanya setiap bulan Agustus, kita melihat merah-putih berkibar di mana-mana, kini delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, kita menyaksikan satu fenomena menarik sekaligus menggugah di mana sebagian anak muda di media sosial dan ruang-ruang komunitas justru mengibarkan panji bajak laut One Piece.
Mulanya hanya bagian dari fandom, tetapi lama-lama ia tampil sebagai ekspresi yang tak kalah serius dari perayaan kemerdekaan. Ini bukan sekadar sebagai budaya pop atau kenakalan anak muda, melainkan sebagai pergeseran bentuk nasionalisme dan religiositas dalam lanskap kultural yang berubah cepat. Ia menjadi tanda bahwa simbol negara yang selama ini dianggap sakral, kini berhadapan dengan “iman kolektif” yang tengah goyah.
Iman Kolektif
Bendera Merah Putih, dalam banyak penafsiran historis dan budaya, telah sejak lama mengandung muatan religiusitas sipil. Dalam kerangka civil religion (Robert Bellah, 1967), simbol negara seperti bendera, lagu kebangsaan, bahkan naskah proklamasi, memiliki fungsi mirip simbol agama: mengikat perasaan kolektif, mengandung narasi pengorbanan, dan menghidupkan transendensi sekuler dalam bentuk cita-cita bangsa. Seperti halnya agama, nasionalisme memerlukan ritus, liturgi, dan iman bersama.
Masalahnya, dalam banyak pengalaman generasi muda hari ini yang tumbuh dalam realitas digital, bentuk-bentuk “iman” seperti itu mulai goyah. Simbol Merah Putih kerap hadir tanpa ruh. Ia berkibar, tapi sering dikaitkan dengan seremoni tanpa substansi; dijaga secara administratif tapi tak dialami secara spiritual.
Ketika upacara bendera lebih ditekankan daripada keadilan sosial; ketika teks proklamasi dibaca tapi suara rakyat disumbat; maka simbol kehilangan kekuatan transendennya. Ketika korupsi, ketimpangan, dan represi menjadi realitas sehari-hari, iman itu terguncang. Generasi muda pun mencari tempat baru untuk mempercayakan harapannya.
Dalam istilah Emile Durkheim dalam Elementary Forms of Religious Life (1912), agama menjadi profan ketika ritusnya berjalan tanpa kesadaran kolektif yang menghidupkannya. Ini karena agama bukan hanya tentang Tuhan, melainkan konstruksi sosial yang menyatukan kelompok melalui simbol, narasi, dan ritus.
Di sinilah bendera bajak laut tidak bisa diremehkan. Ia bukan sekadar lelucon atau pelarian, melainkan bisa dibaca sebagai bentuk iman alternatif—simbol kesetiaan, solidaritas, dan semangat perlawanan terhadap kekuasaan yang dirasa korup dan jauh dari rakyat. Seperti agama sipil dalam makna klasik, simbol bajak laut mengandung narasi, pengorbanan, dan impian kolektif tentang keadilan dan kebebasan.
Di sinilah panji bajak laut dari One Piece menjadi menarik. Ia bukan simbol negara, tapi justru diresapi oleh sebagian generasi muda dengan cara seperti orang beriman: ada kesetiaan, pengorbanan, dan kepercayaan terhadap nilai-nilai luhur. Luffy dan krunya bukan warga negara resmi, tapi bagi banyak anak muda, mereka lebih representatif dalam mewujudkan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan perjuangan tanpa pamrih. Panji bajak laut menjadi bentuk “iman alternatif”, ketika civil religion gagal menjawab kerinduan akan makna dan keadilan.
Dalam konteks ini, pengibaran bendera bajak laut bukan penghinaan terhadap simbol negara, melainkan semacam doa, sebuah permohonan agar negara kembali menjadi tempat di mana iman kebangsaan dapat bertumbuh. Sebab dalam jiwa yang religius, baik dalam agama maupun nasionalisme, iman hanya tumbuh bila ada kepercayaan. Dan kepercayaan membutuhkan kejujuran, pengorbanan, dan konsistensi dari pemimpinnya.
Kuasa Simbol
Namun, kita tak bisa membahas soal religiositas tanpa membicarakan kuasa. Talal Asad dalam Genealogies of Religion (1993) mengingatkan bahwa “agama”—dan juga semua bentuk ekspresi iman, termasuk agama sipil—tidak pernah netral. Ia selalu dibentuk oleh institusi, kuasa, dan disiplin.
Simbol selalu hidup dalam konteks. Di masa awal kemerdekaan, Merah Putih hadir dengan kekuatan emosional karena ia lahir dari penderitaan kolektif dan pengorbanan para pejuang. Ia adalah lambang iman terhadap masa depan.
Namun ketika simbol itu direproduksi terus-menerus tanpa transformasi nilai dalam kebijakan dan ruang publik, maka ia mengalami kelelahan makna. Yang muncul adalah simbol yang berkibar, tapi tak lagi menggetarkan. Bentuk-bentuk perayaan nasional yang kian formal, seremonial, dan penuh pengawasan justru kehilangan vitalitasnya karena terlalu diregulasikan.
Sementara generasi muda hari ini tidak hidup dalam romantisme kemerdekaan. Mereka lahir dalam era disonansi: antara pidato nasionalisme dan kenyataan hukum yang timpang; antara slogan “berani dan suci” dan praktik kekuasaan yang korup.
Maka ketika mereka memilih panji bajak laut sebagai simbol yang lebih tulus dan jujur, bukan berarti mereka menolak nasionalisme. Mereka sedang merindukan nasionalisme yang spiritual, yang bermakna, membumi, dan terbukti dalam tindakan.
Ironisnya, negara bukannya menanggapi dengan refleksi, tetapi justru mengerahkan peringatan yang represif. Bendera Jolly Roger menjadi simbol yang dianggap lebih berbahaya daripada pembusukan moral dalam birokrasi. Ini mencerminkan rasa takut negara terhadap narasi tandingan—karena ia sadar bahwa bentuk-bentuk “iman alternatif” ini lebih hidup, lebih merakyat, dan lebih dipercaya.
Padahal yang dituntut bukan sekadar tegaknya aturan, melainkan hadirnya kepercayaan. Dan kepercayaan tidak lahir dari seremonial, melainkan dari keadilan, kesetiaan, dan pengorbanan nyata yang dirasakan rakyat. Inilah yang membuat simbol bajak laut begitu kuat: ia menghadirkan ilusi moralitas ketika negara kehilangan pijakan etiknya.
Spiritualitas Publik
Kita perlu belajar bahwa bendera negara, sebagaimana simbol agama, bukan semata soal bentuk dan aturan. Ia hidup bila menyentuh hati. Bila kita marah karena pengibaran panji bajak laut, seharusnya kita juga bertanya: apakah nasionalisme kita masih sanggup memberi ruang iman kolektif yang hidup? Ataukah ia hanya tinggal kerangka kosong yang diisi oleh protokol dan regulasi tanpa daya hidup?
Religiusitas sipil kita sedang diuji. Apakah kita masih percaya pada nilai-nilai yang dibawa oleh Merah Putih? Apakah negara masih menjadi “tanah suci” tempat iman kolektif rakyat dibangun? Jika tidak, maka kita harus segera menyusun kembali dasar-dasar spiritualitas publik kita: bukan sekadar lewat seremoni, tetapi melalui penataan ulang relasi antara simbol dan keadilan.
Merah Putih dan panji bajak laut hari ini bukan dua kutub yang saling meniadakan. Di antara keduanya terbentang ruang tafsir yang menantang kita untuk menyelami makna nasionalisme bukan sebagai ideologi kaku, melainkan sebagai iman yang terus diperbarui melalui keadilan, pengorbanan, dan keberanian etis.
Kita tak perlu takut pada bendera bajak laut. Yang perlu ditakutkan adalah jika nasionalisme kehilangan makna dan tak lagi dipercaya oleh mereka yang seharusnya menjadi pewarisnya.
Maka kita perlu merekonstruksi makna simbol negara agar kembali hidup, menyalakan ulang api kebangsaan bukan dengan doktrin dan pidato, tetapi dengan keadilan sosial, partisipasi nyata, dan ruang bagi ekspresi kultural yang jujur.
Nasionalisme harus dibela bukan hanya dengan aturan dan upacara, tapi dengan keteladanan dan kesediaan mendengar. Kita tidak sedang kehilangan generasi yang cinta tanah air. Kita hanya sedang dipanggil untuk menciptakan kembali tanah air yang layak dicintai.